Negligence-1st Our

2500 Words
"Jun, ayo bangun!" Aku menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuhku, hari ini entah kenapa rasanya sangat malas untuk pergi ke Kampus. Sedari kemarin pikiranku tersita oleh skripsi yang malah aku serahkan pada gadis berusia 18 tahun, atau.. 21 tahun. Jujur saja nih ya, kepercayaanku pada dia hanya 60% saja, dan kenapa aku tetap menyerahkan itu karena kalau aku mengerjakan sendiri belum tentu akan langsung lulus. Juga, sebagai pengalaman saja sih, haha. Canda sayang.. Ketukan pintu membuat kelopak ku mau tak mau harus terbuka, telingaku juga sudah risih karena suara bising yang Amma timbulkan. Apalagi dengan panggilan yang dilayangkan, kenapa sih Amma hanya memanggilku Jan Jun saja? Memangnya aku Jin apa? Canda, Ma. "Iya, Ma. Lima menit lagi!" "Bukankah hari ini kau ada bimbingan dengan dosen? Apa kau melupakannya?" Aku menoleh dan mendapati Amma yang tiba-tiba saja sudah berdiri di ambang pintu dengan kedua tangan yang terlipat di depan d**a. "Hm? Aku tidak ingat, Amma." Aku menguap lebar, rasanya masih begitu ngantuk. Amma menggeleng-gelengkan kepala, lantas berjalan mendekat ke arahku. Menyibakan selimut yang semalaman menghangatkan tubuhku dari dinginnya Air Conditioner a.k.a AC. Yah, aku kan masih bujang, jadi cukup selimut yang menghangatkan malamku, benar? "Sudah, sudah, kau harus segera bangun dan pergi ke kampus" kata wanita yang sudah merawat serta membahagiakanku itu, kenapa aku terus saja menggunakan perumpamaan itu? Se bangga itukah aku sudah dirawat dan dibesarkan oleh wanita sebaik dan secantik Amma ku? Setelah mengusik tidur nyenyakku, Amma lantas berjalan pergi begitu saja. Hari ini aku akan pergi ke rumah Kayana lagi lantaran semalam dia mengirimiku pesan agar datang karena dia membutuhkan bagian skripsiku yang lain. Tapi aku bilang ke Amma kalau hari ini aku akan ke kampus, berbohong dosa kan? jadi jangan di tiru. Dengan malas aku bangun dari posisiku, lantas masih dengan terhuyung-huyung aku berjalan menuju kamar mandi. "Tuhan, kenapa manusia harus mandi? Dan, kenapa Amma membangunkanku sepagi ini, ah, aku mengantuk sekali " aku menggerutu sembari mulai menyikat gigi. "Bbbrrr" aku menggigil di bawah guyuran air shower yang membuat kesadaranku langsung kembali sepenuhnya. Menggosok-gosok badan lantas menyabuni nya. Ash! Stop! Jangan berpikiran macam-macam, aku akan menyelesaikan mandiku dulu dan kalian tunggu di luar saja, oke?! AWAS SAJA KALAU KALIAN KETAHUAN MENGINTIP, AKAN AKU COLOK KEDUA MATA BATIN KALIAN! Canda, mata batin. Xixixi (^_^)(^_^) Masih dengan telanjang d**a aku berdiri di depan cermin seraya mengolesi rambut dengan minyak, bukan minyak goreng jadi kalian tidak usah khawatir, tadi sudah aku bilang kan kalau hari ini aku akan bertemu dengan Kayana jadi penampilanku harus maksimal. Memakai pelembab wajah jangan lupa, lantas menyemprotkan parfum pada titik-titik tertentu. "Tenang, tidak boleh gugup. Kau hanya akan bertemu dengan Kayana, gadis pembuat skripsi" ucapku pada cermin yang membisu, andaikan cermin bisa ngomong, pasti dia akan menjawab setiap ucapanku. Ah, bicara soal cermin.. lupakan. Aku tidak ingin membahas dan mengingat itu lagi. Sudah cukup. Ada rasa aneh yang tiba-tiba muncul, aku menatap pantulan wajahku dengan intens. Hanya beberapa detik, lantas menggeleng-gelengkan kepala. "Ya! Min Jun-a! Kenapa kau terus mengingat wajah cantiknya? Sadarlah, kau tak seharusnya bersikap seperti ini." lanjutku mencoba meyakinkan diri plus mengusir perasaan tidak enak yang sempat menyelimutiku tadi. Setelah puas dengan wajahku, sekarang aku berjalan menuju lemari untuk mencari pakaian mana yang hendak kupakai hari ini. Kalian tau prinsip orang tampan? Orang tampan itu memakai apa saja pasti tetap terlihat tampan, jadi aku tidak pusing-pusing memikirkan outfit mana yang hendak aku pakai hari ini. Cukup memakai sweatshirt polos berwarna abu-abu di padukan dengan celana jeans. Memakai jam tangan smartwatch berlogo apple pada pergelangan tangan kananku. "Perfect" "Jun! Cepat turun dan ayo sarapan!" Nah, nah, suara Amma kembali terdengar membuatku yang tengah mengagumi betapa tampan nya wajah seorang Moon Min Jun harus terhenti. Menyambar tas lantas berjalan keluar kamar. Langkah kakiku menuruni tangga, terlihat Amma-Appa tengah berbincang ringan di ruang makan. Aku segera bergabung dengan mereka. "Selamat pagi, Amma, Appa" Aku menyapa mereka, lantas menarik kursi yang ada di depan Mama dan menduduki nya. "Selamat pagi juga, Min Jun" Appa menjawab dengan suara beratnya yang santai. "Wow, penampilanmu sangat rapi" lanjut pria yang sudah membesarkan ku itu. Mengembangkan sedikit senyum aku menjawab, "Bukankah setiap hari aku selalu rapi, Appa? Ah, Appa memang tidak pernah perhatian denganku, 'kan?" "Begitukah?" Aku dan Appa saling melempar senyum jenaka, Amma mengambilkan nasi dan menaruhnya di depanku, netraku menyapu pada makanan yang ada di atas meja, "Kenapa Amma memasak sebanyak ini hanya untuk tiga orang saja?" "Amma sengaja memasak banyak makanan, hari ini bawakan bekal untuk Herrin-ie ya?" Tangan yang hendak mengambil makanan kini terhenti di udara, netraku menatap Amma yang memasukan nasi ke dalam mulut lantas beliau bertanya, "Ada apa? Kenapa kau memasang ekspresi terkejut seperti itu?" Aku menggeleng, mengerjap beberapa kali sebelum melanjutkan acara mengambil lauk yang sempat tertunda. Jadi, semalam saat aku hendak main ke rumah Herrin aku mendengar adanya pertengkaran. Maka dari itu aku memutuskan untuk kembali ke rumah dan menceritakan nya kepada Amma, mungkin karena itulah beliau hari ini memasak banyak. Dan kalau kalian tau, hampir semua makanan yang ada di meja adalah kesukaan Herrin. Dasar Amma ku! Kenapa dia bisa begitu sayang pada Herrin ya? Sebenarnya bukan hanya Amma, aku pun sama, sayang kepada Herrin. Lagi-lagi sebagai teman, tidak lebih. Mumpung topiknya sudah menyinggung gadis itu, aku akan melanjutkan ceritaku soal Herrin kepada kalian. Akan kuberitahu sedikit lagi soal Herrin, semenjak cerainya kedua orang tua Herrin, gadis itu jadi lebih pendiam dari biasanya. Kehilangan semangat hidup dan hobinya, aku bisa tau meski dia jarang bercerita. Kalau kalian melihat dia sekilas, gadis berambut hitam panjang itu pasti akan terkesan ceria seperti anak-anak normal lainnya. Tapi saat kalian mulai menyelami hidup Herrin, kalian pasti akan tau sehancur apa gadis itu sebenarnya. Apa aku terlalu banyak mengoceh soal Herrin sampai lupa pada makanan yang ada di depanku ini? Kalian tidak bosan kan mendengarnya? "Kenapa harus repot-repot membawakannya bekal kalau Amma bisa mengundang Herrin untuk datang langsung kemari?" tanyaku, disusul suapan pertama. Parah! Masakan Amma adalah yang terbaik. "Kau pikir Amma belum mencobanya? Amma sudah menawarinya untuk sarapan dirumah, tapi Herrin menolak. Sepertinya, dia bertengkar lagi dengan Ibunya" jawab Amma, jemari lentiknya tergerak untuk mengambil sayur yang ada di piring. "Kau mau ini?" Mama menawari ku, aku menggeleng menolak lantaran lauk yang ada di piring ku saja masih banyak. "Amma tidak suka penolakan, kau harus membawakan Herrin-ie bekal nanti" lanjut Amma, tak mau dibantah lagi. Beberapa menit lenggang, kita bertiga sibuk menghabiskan sarapan masing-masing hingga Appa menyambung obrolan pagi ini. "Min Jun-a, bagaimana dengan proses skripsimu?" Duar! Aku tersedak dan terbatuk-batuk. Papa menatapku dengan bingung, sementara Mama yang khawatir langsung mengulurkan segelas air putih. Aku meneguk isinya hingga tandas, lantas menatap Papa yang menunggu jawaban "Tahap revisi, aku akan berusaha agar bisa lulus secepatnya, Appa" Fyi, jika kalian mendengar namaku dipanggil dengan lengkap ‘Min Jun’ itu berarti Appa yang memanggil atau orang-orang normal pada umumnya. Tapi ketika kalian mendengar namaku dipotong jadi ‘Jun’ saja, itu Amma yang manggil. Eh, bukan berarti aku mengatai Amma ku sendiri tidak normal loh ya. Kan, aku jadi mengoceh yang tidak-tidak. Aku punya firasat tidak enak setelah ini. Dari pada di tanyai yang macam-macam apalagi kalau ujung-ujungnya dibanding-bandingkan dengan anak kolega Papa, lebih baik aku kabur sekarang juga. "Aku sudah selesai sarapan, aku akan pergi ke kampus sekarang. Bye, Amma, Appa" aku menyambar tas dan langsung berlari keluar rumah tanpa mempedulikan panggilan Amma lagi, tapi saat aku hendak keluar pagar suara Amma yang mengejarku semakin dekat membuat langkah kakiku spontan terhenti. "Juuunnn berhenti! Makanan buat Herrin ketinggalan!" Aku menepuk jidat, meringis seraya kembali ke dalam rumah. Mama menatapku dengan galak, lantas mengangsurkan kotak makan berwarna pink itu. Kotak makan yang Mama beli beberapa bulan lalu memang dikhususkan untuk Herrin. "Hehe, maaf, Amma. Aku lupa" ucapku sembari nyengir lebar agar Mama jadi gemas dan tidak jadi memarahiku. "Yasudah, hati-hati. Sampaikan salam Amma untuk Herrin" "Ne, bye Amma" kata ku, menyusul satu kecupan di pipi Mama dengan singkat. Dengan langkah panjang aku berjalan menuju halte bus, memasukan kotak bekal kedalam tas. Tujuanku adalah rumah Kayana, gara-gara percakapan pagi dengan kedua orang tuaku, aku sampai melupakan janji untuk datang kerumah gadis cantik berambut panjang itu. Kali ini perjalanan nya membutuhkan waktu sedikit lebih lama lantaran jaraknya yang lumayan jauh. Tak lama bus datang dan aku langsung naik, masuk ke dalamnya. Saat aku sibuk mencari tempat duduk netraku tak sengaja menatap sosok yang duduk sendiri seraya menatap ke arah jendela. Tanpa berfikir dua kali aku langsung menghampiri sosok itu. "Hei" sapaku, dia menoleh. "Amma bilang kau sudah berangkat ke kampus sejak tadi, tapi kenapa masih disini?" tanyaku penasaran. "Seperti biasa, aku suka suasana bus ini. Jadi, aku berkeliling dua kali" senyum itu, senyum itu tidak mencapai matanya, Herrin, kenapa kau menyembunyikan luka itu sendirian. Aku mengeluarkan kotak bekal, "Biar aku tebak, kau pasti belum sarapan. Amma menitipkan bekal ini untukmu, makanlah" Herrin terkekeh, lantas menerima kotak bekal yang aku ulurkan. Kalian bingung tidak akan jawaban nya tadi? Yaps, salah satu kebiasaan aneh Herrin adalah, dia sengaja berangkat pagi agar bisa melamun di dalam bus, apalagi semalam dia habis bertengkar dengan Mama nya. Jadi setelah sampai di kampus gadis itu tidak akan langsung turun, dia akan stay sampai bus kembali ke kampus satu putaran lagi. "Seharusnya Ahjumma tidak perlu memberi ku bekal lagi, aku bisa membeli makanan ku sendiri. Tolong sampaikan itu kepada Ahjumma" Kita berdua saling melempar tatapan, "Amma begitu tulus perhatian, jangan menolak pemberiannya atau kau akan membuat Amma sedih" "Baiklah, aku mengerti. Ahjumma begitu menyayangiku" "Ya, Amma memang menyayangimu, Herrin" "Bagaimana denganmu?" tanya dia tiba-tiba. "Aku? Tentu saja aku juga menyayangimu, kamu sahabatku" "Hm, sahabat" Herrin tersenyum, lagi-lagi senyum itu tidak mencapai matanya. Satu pemikiran melintas, aku yang biasanya tidak pernah mau mengusik kehidupan pribadi Herrin kini mendadak jadi ingin tau. Eh, sejak kapan aku jadi kepo tentang prahara rumah tangga Herrin dan keluarganya? Tapi kalau di pikir-pikir, aku tidak ada gunanya sama sekali jadi sahabat kalau Herrin belum bisa terbuka dan berbagi keluhnya kepadaku. Seharusnya dia bisa mengandalkanku, yah paling tidak dia bisa meminjam pundak milikku sebagai sandaran, dan aku akan langsung memberikannya kok. “Em, Herrin, semalam aku mendengar sesuatu.. em.. sepertinya kau bertengkar lagi dengan Ahjumma" Herrin menoleh, menatapku dengan datar. Aku sudah was-was kalau Herrin akan marah saat kutanya seperti itu. “Bukan masalah besar, dan aku sudah terbiasa dengan pertengkaran semacam itu.” “Kau baik-baik saja, 'kan?" Herrin tak menjawab, dia membuang muka, kembali menatap ke arah jendela. "Herrin-ie, bukankah kita sahabat? lantas, kenapa kau selalu menyembunyikan semua masalah dariku? Apa kau tidak nyaman bercerita denganku? Kalau begitu, kau bisa membagi luka itu dengan Amma, Amma ku pasti mau mendengarkan semua keluh kesahmu" Gadis itu kembali menatapku dengan tatapan yang sulit ku deskripsikan. Aku tak lagi berbicara karena Herrin juga tidak menjawab ucapanku. Tak ada pembicaraan apapun setelah itu, suasana hening menyelimuti, aku juga tidak ingin memaksanya untuk bercerita lebih banyak lagi. Herrin sibuk dengan pikirannya sedangkan aku sibuk memikirkan bagaimana caranya agar tidak gugup saat bertemu dengan Kayana nanti. Entah kenapa aku merasa bus yang tengah ku tumpangi berjalan begitu cepat, tak sadar sudah sampai di halte dekat kampus. Aku menggeser duduk agar Herrin bisa lewat untuk turun. Dia tak langsung berjalan pergi.. "Kau tidak mau turun?" tanya Herrin dengan wajah keheranan. Aku tersenyum, menggeleng. "Tidak, aku ada urusan. Sebaiknya kau turun duluan" "Oh, oke" Punggung Herrin perlahan menjauh dan hilang dari pandanganku saat dia sudah turun. Bus kembali berjalan, masih dua puluh menit lagi. Ponsel ku bergetar, sepertinya ada pesan masuk. '"Aku sedang memasak, tebak, makanan apa yang tengah aku masak hari ini"-Kay Senyum di bibirku terbit begitu saja saat membaca pesan singkat yang dikirimkan Kay kepadaku. Entah kenapa rasanya seperti ada kupu-kupu yang berterbangan di perut, efek kelamaan menjomblo, mudah baper. Tanpa membalas aku memasukan ponsel ke dalam saku celana. Tak lama benda pipih itu kembali bergetar, dengan semangat 45 aku mencabutnya lagi untuk melihat pesan apalagi yang di kirim oleh Kayana. Tapi dugaanku salah, ternyata bukan Kay yang mengirimiku pesan melainkan.. "Min Jun-a, Pak Yuno mencarimu. Apa yang harus ku katakan? Apa kau ada bimbingan hari ini?"-Herrin DEMI TUHAN! APA PAK YUNO TIDAK BISA MEMBERIKU WAKTU SEDIKIT LEBIH LAMA LAGI?? Kalau membalas pesan kurang efektif maka aku langsung mendial nomor ponsel Herrin, tak lama suara gadis berambut panjang yang menjadi temanku itu terdengar. "Ya! Herrin-ie, sampaikan ke Pak Yuno, aku sedang perjalanan ke--" "Kemana?" "Lupakan. Katakan saja kau tidak tau kemana aku akan pergi, dan hari ini aku tidak ada jadwal bimbingan." Herrin terdiam beberapa saat, aku kira sambungan teleponnya yang putus. "Herrin-ie, kau masih disana?" "Min Jun-a, apa kau tau aku tidak suka dibohongi?" Kali ini aku terdiam, "Ya, tentu saja aku tau." "Yasudah, akan ku katakan seperti apa yang kau minta tadi, Min Jun. Tapi, bisakah kau memberitahuku kemana kau akan pergi?" "Maaf, Herrin. Aku tidak bisa memberitahumu sekarang, tapi aku akan memberitahumu nanti setelah semuanya selesai. Kalau begitu akan ku tutup teleponnya" Sambungan telepon aku putuskan, mengatur nafas. Kalian tau kan kalau perasaan saat tengah berbohong itu pasti deg-degan, jantung berdebar dan sesak nafas? Nah itulah yang aku rasakan sekarang. Bus yang aku tumpangi berhenti di halte, aku segera turun. Berjalan beberapa meter lantas masuk ke dalam sebuah gang, tujuanku rumah bercat biru dan berpagar putih. Memejamkan mata seraya mengatur nafas lagi agar tidak gugup, lantas mengetuk pintu. "Annyeong haseyo" sapaku sopan. "Annyeong haseyo" balas dia dengan ceria, "Aku pikir kau akan terlambat datang kemari, masuklah" celetuk gadis berambut panjang coklat itu setelah melebarkan daun pintu. Senyum manis langsung disuguhkan, aku tak akan bisa hidup bersama dengan gadis semanis Kayana lebih lama lantaran takut kena diabetes karena kebanyakan melihat yang manis-manis. Serius, dia sangat manis dan imut. Rasanya pengen aku uyel-uyel pipinya yang gemoy itu. "Aku tidak akan terlambat. Ah, dan satu lagi, bukankah kau lebih muda dariku? sebaiknya kau gunakan panggilan formal saat berbicara denganku. Bagaimana dengan panggilan Oppa?" Kayana mempersilahkanku masuk, saat kami berdua sudah ada didalam dia kembali menutup pintunya. "Oppa? Sedikit asing, tapi kedengarannya tidak buruk juga, Oppa?" "Begitu lebih baik" jawabku, duduk di sofa yang sama dengan kemarin. Masih tidak ada yang berubah dengan dekorasi rumah Kayana. Aku mengeluarkan beberapa tumpukan kertas skripsi bab 1 sampai bab 3, menyerahkannya kepada Kayana. “Hanya ini yang kau butuhkan?" tanyaku memastikan. Kay menaruh gelas berisi air di depanku. Gadis cantik berbola mata hitam itu mengerjap beberapa saat, jemari lentiknya meraih kertas yang tergeletak di meja. "Aku mau Oppa isi ini juga, semua yang aku butuhkan ada disitu." Ada lima pertanyaan yang diajukan oleh Kayana. Aku membaca sekilas pertanyaan itu. "Bisa Oppa bawa pulang, nanti malam kirimkan fotonya padaku karena besok Skripsi nya harus sudah jadi kan?" "Baiklah" jawabku singkat, "Ada yang lain?" tanyaku lagi. Kayana tersenyum, dia mengangguk dengan ragu sembari menatapku. "Ada apa?" tanyaku, sok peka. Padahal aku hanya tau dia ingin mengatakan sesuatu tapi masih ragu, dan aku yang tidak sabaran langsung saja bertanya. "Hari ini aku libur kerja, dan aku ingin pergi ke Han. Maukah Oppa pergi bersamaku?" Tunggu, apa dia mengajakku pergi kesana?? Apakah ini semacam kencan?? Lantas, aku harus menjawab apa?? Kalian, tolong bantu aku untuk menjawab pertanyaan itu!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD