Back to Reality-3.3

1537 Words
Lebam yang ada di pipi Kayana sudah membaik setelah dikompres oleh Kinara, meski belum bisa dikatakan sembuh total, setidaknya sudah tak se bengkak tadi. Sekarang saatnya Kinara untuk kembali ke sekolahannya, awalnya dia menyuruh Kayana untuk pulang saja, tapi gadis itu justru menolaknya. Dia tidak ingin membuat sang Mama khawatir saat tau keadaan nya sekarang. Kinara tak memaksa, dia mengiyakan saja keinginan Kayana meski dengan keraguan. “Lo yakin nggak mau pulang aja?” tanya Kinara memastikan sekali lagi, dan jawaban Kayana masih sama saja. Dia menggeleng tanda menolak. Kayana hanya takut, saat dirumah nanti banyak pertanyaan yang akan dilayangkan oleh Mama nya, bukan nya apa-apa, Kayana tidak suka berbohong kepada kedua orang tuanya. Demi menghindari hal itu, dia memilih untuk tetap stay di sekolah saja. “Udah lo nggak usah khawatir sama gue. Habis ini gue bakalan istirahat di UKS, Chelsea juga nggak bakalan gangguin gue lagi, lo tenang aja." Kayana mencoba meyakinkan Kinara kalau dia akan baik-baik saja. Meski semua perkataan Kayana hanyalah omong kosong, buktinya dia sedang tidak baik-baik saja sekarang. Kinara mengangguk, dia menaruh rasa percaya kepada saudaranya. “Hm, nanti kalo Chelsea sama temen-temen nya ngulah lagi, lo tinggal telpon gue" “Lo mau datang kesini lagi?” Kinara mencibir, “Ya nggak lah, kalo Chelsea berulah lagi dan lo hanya diem berarti lo emang udah siap mati.” Kayana mencubit pipi Kinara dengan gemas, bisa-bisanya adiknya berkata seperti itu. Kayana menoleh ke arah Danu, tersenyum tipis. “Kalian nggak papa kalo ketahuan bolos?” “Nanti kalo di hukum biar Kinara aja, Kay. Secara dia yang ajak gue kesini.” “Sialan lo!” Mereka terkekeh, “Yaudah gue masuk ke dalem dulu—“ “Eh, Kay” Kinara merogoh saku rok nya, dia mengeluarkan kunci gerbang “Nitip, nanti kasihkan ke Pak Suraya” “Kebiasaan banget” Kayana menerima kunci itu, dia melangkah masuk kembali ke dalam sekolahan. Sementara Danu dan Kinara langsung tancap gas menuju ke peradabannya kembali. Hukuman sudah menunggu mereka disana. Kayana berjalan melewati di koridor, matanya menyipit tak kala menatap anak-anak yang duduk atau entah berdiri menggerombol tengah berbisik seraya menatap dirinya dengan tajam. Ada apa ini? Apakah kekacauan yang terjadi tadi sudah diketahui oleh mereka? Ditatap sedemikian rupa membuat Kayana merasa tak senang dan tak nyaman. Dia mempercepat jalannya menuju UKS. "Kayana." Panggilan itu spontan menghentikan langkah kaki Kayana, dia mendongak, menatap lurus ke arah depan dimana Bu Merry berdiri seraya menatap dirinya dengan tajam juga. “Ikut saya ke ruang BK.” “Baik, bu” "Wah, udah pasti dia kena skorsing." "Gila! Gue nggak nyangka Kayana ternyata sejahat itu." "Ya ampun, pantes aja dia nggak punya temen." Kayana mencoba menulikan telinganya, dia mengepalkan tangannya kuat-kuat untuk menahan agar tidak terpancing emosi dan membalas perkataan mereka semua. Berjalan mengekor di belakang Bu Marry menuju ruang BK, sepertinya riwayat Kayana akan tamat sekarang. Memasuki ruangan BK, disana sudah ada Chelsea dan teman-temannya yang tengah duduk berjajar. Kayana menatap mereka satu persatu, mereka pun balas menatap Kayana dengan senyum licik yang tersungging di bibir masing-masing. Apalagi rencana mereka? Kenapa mereka tidak bisa membiarkan Kayana hidup tenang sekali saja. “Kayana, saya tidak tau apa alasan kamu melakukan ini semua. Menyerang mereka tanpa sebab? Membiarkan penyusup masuk ke dalam sekolah kita? Pelanggaran yang kamu buat sudah keterlaluan, Kayana. Jadi, dengan sangat terpaksa saya akan memanggil kedua orang tuamu untuk datang ke sekolah” Tanpa sebab? Oh for god's sake! Memangnya Kayana gila melakukan p*********n tanpa sebab? Lagian, itu bukan salah Kayana. Dia tidak menyerang Chelsea. Ingin sekali Kayana berteriak marah-marah dan menyangkal semua itu, tapi dia merasa akan percuma pembelaan, toh mereka tidak akan ada yang mau percaya. Kayana hanya diam, netranya melirik sekilas ke arah Chelsea dan teman-temannya yang nampaknya sangat puas. Bu Merry kembali berbicara. “Kamu bisa minta maaf kepada Chelsea dan yang lainnya sekarang” “Saya tidak akan meminta maaf kepada siapapun, Bu.” jawaban Kayana di luar dugaan Bu Merry maupun Chelsea. “Saya tidak salah, saya tidak menyerang mereka. Mereka duluan yang menyerang saya.” “Bohong, bu!” “Kalau ibu tidak percaya, ini buktinya.” Kayana memperlihatkan lebam di pipinya. “Ini karena ulah mereka. Mereka duluan yang menyerang saya. Saya tidak akan melakukan pembelaan disini karena saya yakin Ibu tidak akan percaya." Kayana berhenti sebentar, netra nya dan netra Bu Merry saling bertatapan dengan intens dan berani. "Dulu, ketika saya mengadu ke Ibu tentang perbuatan Chelsea, Ibu hanya bilang mereka hanya main-main. Tapi sekarang, ketika Chelsea yang mengadu kenapa Ibu tidak bilang kalau semuanya hanya main-main?" Skak mat. Bu Merry terdiam, dia menggertakan gigi-giginya yang putih bersih. “Cerita yang bagus gadis manis..” Mereka semua menoleh, mendapati Mama Chelsea masuk dengan setelan blazer abu-abu. “Mama!!” Chelsea langsung menghambur ke pelukan Mama nya. “Sakit, Ma” rengek gadis itu, sok kesakitan. Padahal siapapun yang melihat pasti tau kalau Chelsea hanya akting. Mama Chelsea mengamati wajah anaknya, dan seketika nampak sangat kaget. “Ya ampun, wajah anak Mama kenapa bisa sampai hancur seperti ini?? Siapa pelakunya sayang?? Siapa??" Sumpah demi apapun, Mama Chelsea itu berlebihan sekali. Pipi Chelsea hanya merah saja, bahkan kalau dibandingkan dengan Kayana, luka Chelsea tidak ada apa-apanya. Netra Mama Chelsea menyorot tajam ke arah Kayana. “Kamu, pasti kamu yang udah buat anak saya jadi seperti ini kan?!” Kayana diam, dia tak ingin menambah masalah lagi. Biarkan semua orang menuduhnya. “Saya nggak mau tau! Di sekolah ini tidak boleh ada seorang pembully! Dia harus dikeluarkan!” teriak Mama Chelsea penuh amarah. Hati Kayana mencelos mendengar itu semua, dia? dikeluarkan? “Tidak, saya nggak salah! saya bukan pembully!” “Masih mau mengelak, hah?!” “Kayana” panggil Bu Merry, “Kamu boleh keluar, nanti kedua orang tua kamu akan kami panggil.” Tanpa sepatah kata apapun lagi Kayana langsung berlari keluar. Dia merasa dunia tidak adil memperlakukannya. Dulu, Kayana sudah pernah melapor dan para guru hanya menanggapi dengan santai. Tapi sekarang, giliran Chelsea yang melapor mereka bereaksi terlalu berlebihan. Kayana berlari seraya menangis, entah, pikiran nya buntu sekarang. Hanya ada satu tempat yang ingin Kayana kunjungi. Gudang. Gadis itu lelah, dia lelah di bully, dia tidak ingin menempatkan Kinara pada masalah lagi, dan terakhir dia tidak ingin kedua orang tuanya marah sekaligus kecewa kalau tau anak mereka akan di depak dari sekolah. Kayana menerjang masuk ke dalam gudang, dia menatap cermin yang teronggok bisu disana. Sebelum mendekat, Kayana menoleh ke belakang tepat dimana pintu berada, gadis itu menghela nafas. “Gue harus pergi, persetan dengan dunia ini. Dunia yang nggak adil buat gue.” Dia berjalan tergesa, saat ini tubuhnya berada tepat di depan cermin. Bibir Kayana menggumam, dan tak lama kemudian gelombang itu muncul kembali, kuncinya hanya satu, Kayana harus fokus saat dia mengucapkan sebuah permintaan. “Selamat tinggal” gumam Kayana, dia melangkah masuk. Tubuhnya tersentak, gadis itu mulai bisa mengendalikan dirinya saat gelombang membuatnya berputar-putar. Perut Kayana serasa di kocok-kocok. Selang beberapa menit, Kayana merasa tubuhnya dihentakan. Pendaratannya kali ini lumayan bagus, tapi tempatnya yang kurang bagus. Kayana langsung tersadar saat mendengar suara sorakan demi sorakan yang menggema di tribun. Gadis itu menatap pakaiannya yang berubah jadi kaos jersey dengan amplop coklat yang ada di pangkuan gadis itu. Kayana langsung membukanya, kerutan di kening Kayana nampak. “Cuma ini?” tanya gadis itu pada dirinya sendiri. Tapi meskipun begitu, Kayana sudah paham secara garis besar. Dia memasukan kembali amplop itu, melipatnya dan memasukan nya ke dalam tas. Netra Kayana tercuri oleh seseorang yang ada di lapangan. Seseorang itu berambut panjang, di kuncir setengah pada bagian atasnya. Rambutnya berwarna merah menyala, senyum Kayana mengembang. Dia langsung berdiri dan iku bersorak serta menyanyikan lagu kebangsaan untuk menyemangati para pemain sepak bola yang tengah bertanding di lapangan. Pemuda bernomor punggung 26 itu terus berlari menggiring bola, dia salah satu pemain andalan club bola asal Jepang. Namanya Na Khasaki. “KHASAKI-san!! Ganbarou!!” Seharusnya Kayana memanggil dengan sebutan Kun, hanya saja saat ini dia tengah berada di antara lautan penonton. Tidak mungkin dia menggunakan panggilan tersebut karena bisa menimbulkan kecurigaan. Khasaki menggiring bola mendekati gawang lawan, Kayana sudah melupakan kejadian beberapa menit lalu di ruang BK, suasana hatinya yang buruk kini telah berganti dengan rasa bahagia dan semangat. Penyiar pertandingan terus mengucapkan kata-kata yang bisa menimbulkan semangat bagi para pendukung tim Khasaki sampai pada pemuda itu menendang bola membobol gawang lawan. “Wohooooowwww!!!! “Yeeeeyyyyy!!!!” “Anata wa saiko desu, Khasaki-san!!!” Teriak Kayana membahana, dia tadi bilang ‘Kamu sudah melakukan yang terbaik, Khasaki’ Khasaki berlari ke pinggir lapangan seraya mengangkat kedua tangannya, pemuda itu tersenyum selebar mungkin untuk mengekspresikan rasa bahagianya karena club nya memenangkan pertandingan, netranya menatap para penonton yang bersorak-sorai untuk kemenangan club nya. Pemuda itu masih belum menyudahi senyum manisnya, siapa yang tidak mengenal Khasaki? Pemuda berparas tampan yang punya senyum lebar, orang-orang memberikan sebutan untuk senyuman Khasaki, 'Healing smile' begitulah sebutannya. Dia juga menjadi MVP (Most Valuable Player) pada beberapa pertandingan dan sering di ikutkan untuk mengikuti turnamen ke luar negeri. Dari ribuan penonton yang ada, Khasaki bisa menemukan sosok Kayana. Pemuda itu berhenti berlari, perlahan tangannya ter gerak menyentuh bibirnya sendiri, dan kemudian melemparkannya ke arah Kayana. Mendapatkan flying kiss dari Khasaki, jantung Kayana menjerit-jerit. Dia berdebar tak karuan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD