Tak akan menyerah

2281 Words
Bel pelajaran jam terakhir baru saja berbunyi. Randy dan kedua sahabatnya, tetap duduk di bangku mereka. Ketiga pemuda tampan itu, terpaksa mengikuti jam pelajaran terakhir, karena guru mata pelajaran itu terkenal galak dan keras dalam mendisiplinkan anak-anak didiknya. Meskipun mereka bertiga terkenal anak paling sering bolos, tapi untuk guru satu itu, mereka masih mempunyai rasa takut. Rio menatap anak lelaki yang duduk di sampingnya. “Kenapa lo gak keluar? Yang lain udah pada keluar dari tadi. Jangan bilang lo mau ikut gabung ama kita? Lo mau jadi salah satu dari kita?” Pemuda yang bernama Dino itu menggelengkan kepalanya. Ia mengambil tas yang disampirkan di sandaran bangkunya, lalu beranjak berdiri. Setelah memakai tas gendongnya, Dino melangkah keluar dari ruang kelas itu, yang saat ini masih dihuni oleh Randy dan kedua sahabatnya. “Jadi cabut gak nih?” tanya Satria sambil menatap ke arah Rio dan Randy secara bergantian. “Hem, lagian gue malas di rumah. Apalagi entar sore itu cewek sialan pasti datang lagi ke rumah gue,” decak Randy sambil memainkan benda pipih yang ada di tangannya. Rio dan Satria saling menatap satu sama lain sambil mengernyitkan dahinya. Mereka penasaran dengan apa yang baru saja Randy katakan. Cewek sialan? Siapa yang dimaksud Randy? Apa itu Riska? Atau ada cewek lain lagi? Baru juga putus dari Riska, sudah dapat penggantinya. Seperti itu lah yang ada di pikiran Satria sama Rio saat ini. “Ran, lo punya gebetan baru lagi?” tanya Rio penasaran. Kenapa sahabatnya itu sama sekali tak cerita padanya tentang gebetan barunya. Biasanya Randy selalu cerita padanya lebih dulu, ketimbang sama Satria. Apa takut ditikung ama gue? Emangnya gue tukang tikung temen? Rio menggeleng pelan. “Lo mau main raha-rahasian sama kita berdua?” tanyanya lagi. Randy mengambil tas gendongnya. “Entar gue cerita. Sekarang mendingan kita cabut. Lo mau nginep disini?” Randy lalu beranjak dari duduknya. “Lo aja kali! Gue mah ogah. Mending tidur di rumah, ada yang dikelonin,” ucap Satria sambil memakai tas gendongnya. Rio dan Randy sama-sama mengernyitkan dahinya. “Lo udah punya temen tidur yang bisa lo kelonin tiap malam?” Rio yang bertanya, Randy mah diam aja. Bukan urusannya juga. Randy malah berpikir, enak juga punya temen tidur yang bisa dikelonin tiap malam. Satria menoyor kening Rio. “Pikiran lo tu ya, ngeres!” “Lah ... lo tadi kan bilang ada yang dikelonin. Apa maksudnya coba kalau bukan teman tidur alias cewek?” “Lo pikir gue udah gila, sampai berani bawa pulang cewek ke rumah? Bisa-bisa gue langsung tak dianggap anak sama nyokap gue,” dengus Satria. “Maksud kata-kata gue tadi itu guling. Mendingan tidur di rumah, ada guling yang selalu setia menemani tidur nyenyak gue,” lanjutnya. “Sialan lo! Gue pikir lo udah lepas tu segel perjaka lo!” seru Rio kesal tentunya. Gak terima dong, kalau Satria sampai lepas segel duluan, sedangkan dirinya masih perjaka tong tong sampai sekarang. Beda lagi sama cecunguk di sebelahnya, yang sudah pernah merasakan indahnya terbang ke Nirwana. “Kalian masih mau debat soal guling atau mau cabut dari sini? Kalau kalian masih mau debat, gue tinggal.” Randy lalu melangkahkan kakinya keluar dari kelas. Satria merangkul bahu Rio. “Emangnya lo udah lepas segel perjaka lo? Gimana rasanya? Enak gak?” “Lo mau tau?” Satria menganggukkan kepalanya. “Rasanya pasti kayak terbang melayang,” ucapnya sambil menatap ke langit-langit kelasnya. Menghayal tingkat tinggi. Jangan sampai jatuh, entar malah gak bisa bangun lagi. Belum lagi kalau sampai patah tulang dan lebih parahnya gegar otak. Astaga! Amit-amit dah. Rio geleng kepala. “Kalau lo mau tau, lo tanya aja sama sahabat lo yang udah keluar dari tadi.” Rio lalu melepas rangkulan Satria di bahunya. Ia lalu melangkahkan kakinya meninggalkan Satria yang menghayal tingkat tinggi. Rio yang sudah sampai didepan pintu, membalikkan tubuhnya saat tak melihat Satria di belakangnya. “Lo jadi mau tidur disini? Apa lo gak kasihan ama guling lo yang ada di rumah? Ntar gak ada yang ngelonin lagi,” sindirnya. “Sialan lo! Tunggu gue woi!” teriaknya dan bergegas menyusul Rio dan Randy. “Ran, siapa cewek yang lo maksud tadi?” tanya Rio yang masih penasaran. Saat ini mereka bertiga sedang ada di basecamp. Tempat mereka ngumpul setelah pulang dari sekolah. Randy menghisap ujung rokok yang diselipkan di sela jarinya, lalu menghembuskan asap yang keluar dari kedua lobang hidung dan juga mulutnya. “Cewek yang mergoki gue sama Riska.” “Maksud lo, tuh cewek liat lo ama Riska lagi ....” Rio menggantungkan ucapannya. Randy menggelengkan kepalanya. “Belum sampai tahap itu. Riska baru melakukan pemanasan. Tapi tuh cewek tiba-tiba muncul dan mengganggu kesenangan gue,” kesalnya. Rio dan Satria tertawa terbahak-bahak. Mereka tak bisa membayangkan, bagaimana wajah sahabatnya waktu itu. Pasti malu banget, sampai ingin tuh nenggelamin tuh muka ke laut. “Ran, gue gak bisa bayangin muka lo waktu itu. Astaga ... pasti lo malu banget waktu ketemu sama tuh cewek lagi.” Satria memegangi perutnya yang mulai terasa sakit karena terus tertawa. “Cantik gak tuh cewek? Bisa lo jadikan gebetan baru. Pengganti Riska, karena lo gak mungkin betah ngejomblo.” Giliran Rio yang berbicara. Randy membuang puntung rokok yang masih bisa sekali hisap. “Cantik sih cantik. Dia bahkan seorang guru privat,” ucapnya menyunggingkan senyumannya. “Hah! Udah tua dong!” seru Satria terkejut. “Em ... gak juga sih. Kalau gue lihat, mungkin usianya sekitar dua tiga atau dua empat tahun lah,” ucap Randy sambil mengingat-ingat wajah Rayana. “Wah ... tante-tante dong. Pasti tuh cewek udah banyak pengalamannya,” celetuk Satria. “Pengalaman apa maksud lo?” tanya Rio sambil mengernyitkan dahinya. “Alah ... sok polos lo!” seru Satria sambil melempar kacang telur ke arah Rio. “Emang gue masih polos. Lo baru nyadar!” Rio lalu mengambil toples yang ada di tangan Satria, lalu mengambil kacang telur dan dimasukkan ke dalam mulutnya. “Ran, udah sore. Lo serius gak mau pulang ke rumah? Kalau sampai tuh cewek beneran datang ke rumah lo gimana? Lo gak kasihan sama dia?” Randy mengedikkan kedua bahunya. “Emangnya gue pikirin! Gue juga gak minta dia datang ke rumah gue. Bukan urusan gue. Lagian, gue udah bilang ama dia, kalau gue gak butuh bantuan bimbingan belajar dari dia. Tapi dia kayaknya gak peduli ama penolakan gue.” “Mungkin dia butuh duit kali. Sekarangkan cari pekerjaan susah,” ucap Satria sambil mengambil satu batang rokok dari bungkusnya. Satria mulai menyalakan ujung batang rokok itu, lalu mulai menghisapnya. Mulut dan kedua lubang hidungnya keluar kepulan asap. “Lo gak pernah merasakan hidup susah, jadi lo gak tau gimana susahnya nyari duit sekarang ini,” lanjutnya. “Lo tau apa yang gue sesali selama ini kan?” Randy menatap Satria dan Rio secara bergantian. Rio dan Satria menganggukkan kepalanya. Mereka berdua tau apa yang terjadi dengan keluarga Randy dan apa yang dirasakan sahabatnya itu. Tentu saja tumbuh tanpa kasih sayang kedua orang tuanya, karena sang ibu lebih memilih mencari uang ketimbang memberikan kasih sayangnya kepada Randy—anak semata wayangnya. “Kalian juga tau. Lebih baik gue hidup miskin, daripada hidup serba berkecukupan tapi selalu merasa sendirian.” Rio dan Satria hanya diam. Randy melihat jam di pergelangan tangannya. Waktu menunjukkan pukul empat sore. Pasti Rayana sudah balik. Gak mungkin ‘kan dia masih nunggu gue di rumah? Randy beranjak dari duduknya. “Lo mau kemana?” tanya Rio yang ikutan berdiri. “Baliklah, gak mungkin juga gue tidur di gudang ini,” celetuknya lalu melangkah keluar dari ruangan itu. “Gue juga mau balik.” Kini Satria yang berdiri. “Lo gak ikut cabut?” “Lo pikir gue mau tidur disini? Mendingan gue tidur di apartemen gue lebih nyaman.” Rio lalu melangkah keluar dari ruangan itu, mengikuti Randy yang sudah duduk di atas motor sportnya. “Gue cabut duluan!” seru Randy sambil memblayer motornya, melaju dengan kecepatan tinggi. Satria menepuk bahu Rio. “Gue yakin, Randy buru-buru pulang karena ingin ketemu sama tuh cewek. Siapa tadi namanya?” tanyanya sambil mengingat-ingat. “Rayana,” sahut Rio lalu naik ke atas motor sportnya. Satria membonceng motor Rio. “Entar kalau nyokap gue nanya sama lo, jawab aja kalau kita baru selesai belajar kelompok.” “Tenang aja, gue juga gak mungkin bikin lo dalam masalah.” Rio lalu mulai menstarter motornya, lalu mulai melajukannya meninggalkan basecamp. Randy lalu memasukkan motornya ke dalam garasi setelah sampai di rumahnya. Ia lalu melangkah masuk ke dalam rumahnya melalui pintu samping rumahnya. “Den Randy sudah pulang. Non Rayana sudah menunggu dari tadi,” ucap Bi Surti saat berpapasan dengan anak majikannya itu. “Dia masih disini, Bi?” tanya Randy tak percaya. Astaga! Kekeh juga dia ternyata. Gue jadi penasaran. Berapa sih Mama ngebayar tuh cewek buat ngasih bimbingan belajar sama gue? “Suruh pulang aja, Bi. Aku lagi malas belajar. Baru juga pulang sekolah. Sudah disuruh belajar lagi. Jangan ganggu aku ya, Bi. Bibi tau kan, aku paling gak suka diganggu.” “Tapi, Den. Kasihan Non Rayana. Dia sudah menunggu Den Randy dari tadi.” “Itu bukan urusan aku, Bi. Siapa juga yang nyuruh dia untuk datang kesini. Lagian aku sudah bilang sama dia, kalau aku gak mau les privat sama dia.” Randy tetap cuek dan melanjutkan langkahnya menuju tangga. Tiba-tiba Randy teringat sesuatu. Ia lalu menghentikan langkahnya. Membalikkan tubuhnya menatap ke arah asisten keluarganya. “O ya. Bi. Bilang juga sama dia, jangan datang kesini lagi. Kalau masih tetap nekat datang kesini, tanggung sendiri akibatnya. Bibik kenal aku kan? Aku gak akan main-main dengan ucapan aku,” lanjutnya lalu kembali melangkahkan kakinya menaiki tangga satu persatu-satu menuju kamarnya. Bi Surti menghela nafas panjang. “Kasihan Non Rayana. Padahal dia sudah menunggu dari tadi.” Wanita paruh baya itu langsung melangkah menuju ruang tamu. Ia melihat Rayana yang tengah duduk sambil meminum minuman yang tadi dibuatnya. “Maaf, Non. Den Randy bilang, Non Rayana diminta untuk pulang dan besok gak perlu datang kesini lagi,” ucapnya tak enak hati. Rayana beranjak dari duduknya. “Apa Randy nya sudah pulang, Bik?” Wanita paruh baya itu menganggukkan kepalanya. “Tadi Tante Mila menghubungi saya. Katanya, saya hari ini harus bisa membujuk Randy untuk mau menerima bimbingan belajar dari saya. Jadi, saya minta tolong sama Bibi untuk membantu saya membujuk Randy. Saya gak bisa pulang begitu saja, sebelum berhasil melakukan tugas yang diamanahkan sama saya.” “Tapi, Non. Den Randy bisa marah besar, kalau Non Rayana masih nekad berada disini.” Rayana tersenyum. “Itu sudah resiko saya. Saya sering mendapatkan penolakan seperti ini dari anak-anak didik saya. Tapi, setelah saya bujuk, lambat laun mereka mau menerima bimbingan belajar dari saya.” “Em ... gimana ya, Non. Bibik gak berani. Gimana kalau Non Rayana aja yang membujuk Den Randy?” Rayana menghela nafas panjang, ia lalu menganggukkan kepalanya. “Kalau begitu, dimana Randy sekarang, Bi?” “Ada di kamarnya, Non. Di lantai dua. Kamar paling ujung.” “Apa saya harus ke kamarnya, Bi?” tanya Rayana ragu-ragu. Astaga! Masa aku harus nyamperin dia ke kamarnya. Pasti nanti dia bakalan marah-marah lagi sama aku. “Bibi gak maksa kok, Non. Tapi Den Randy gak akan keluar dari kamar sampai jam makan malam.” Apa? gak mungkin kan aku harus nunggu dia sampai jam makan malam? Kalau bukan karena permintaan Tante Mila, ogah aku ngelakuin semua ini. Rayana kembali menghela nafas panjang. Ia sepertinya tak punya pilihan lain selain menghampiri Randy di kamarnya. “Maaf ya, Bi. Saya gak bermaksud untuk lancang. Tapi saya melakukan semua ini karena permintaan Tante Mila.” Wanita paruh baya itu mengangguk mengerti. “Bibi ngerti kok, Non. Silahkan, kalau Non Rayana mau menemui Den Randy,” ucapnya mempersilahkan Rayana untuk membujuk anak majikannya itu. “Terima kasih, Bi. Saya permisi mau ke atas dulu,” pamit Rayana lalu melangkah melewati Bik Surti. Rayana melangkahkan kakinya menaiki anak tangga dengan ragu-ragu. Ini pertama kalinya, ia menghampiri seorang pria ke kamarnya. Belum lagi tatapan elang Randy yang masih saja membuat Rayana gemetar ketakutan. Rayana sudah berdiri di depan pintu kamar Randy. Dengan tangan yang mulai gemetar, ia mulai mengetuk pintu itu sebanyak tiga kali. Tak ada sahutan dari dalam. Rayana kembali mengetuk pintu itu sebanyak tiga kali. “Masuk aja, Bi. Gak aku kunci kok,” sahutan dari dalam kamar Randy. Apa? masuk? Aku harus masuk ke kamarnya? Rayana menggelengkan kepalanya. Ia kembali mengetuk pintu itu. Ia tak akan berhenti sampai pintu itu terbuka. Randy mendengus kesal. “Astaga! Tadi aku sudah bilang, aku gak mau diganggu, Bi!” Randy melangkah menuju pintu dan membuka pintu kamarnya. Ia terkejut saat melihat Rayana yang berdiri di depan pintu kamarnya. Bukan hanya Randy. Rayana pun terkejut saat melihat Randy yang tubuhnya hanya terbalut oleh handuk yang melilit pinggangnya. Seketika Rayana langsung membalikkan tubuhnya membelakangi Randy. Randy menatap penampilannya. “Kenapa lo? Lo malu?” sindirnya. “Kenapa kamu gak pakai baju?” tanya Rayana terbata-bata. “Kenapa lo ada di depan kamar gue? Bukannya Bi Surti sudah minta lo untuk pergi dari rumah ini?” Randy melipat kedua tangannya didepan dadanya. “Aku gak akan pulang. Hari ini juga, kamu harus mulai menerima bimbingan belajar dari aku.” “Gue udah bilang sama lo kemarin. Gue gak mau dibimbing sama lo. Lebih baik sekarang lo pergi dari rumah gue, sebelum gue usir lo paksa!” “Aku gak peduli. Aku akan menunggu kamu sampai kamu turun ke bawah,” ucap Rayana lalu melangkahkan kakinya pergi dari depan kamar Randy. Astaga! Mata aku. Randy menutup pintu kamarnya dengan sangat keras. Rayana menghentikan langkahnya, membalikkan tubuhnya menatap pintu kamar Randy yang kembali tertutup. Dasar keras kepala! Aku juga gak akan menyerah begitu aja!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD