1. Kenangan

1521 Words
Kenangan itu, kenangan itu kembali ia ingat begitu alam mimpi menghampirinya. Seorang wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu langsung terduduk begitu mimpi sekaligus kenangan pahit yang menghantuinya itu kembali hadir di alam bawah sadarnya, wanita itu memegangi dadanya yang berdetak jauh lebih cepat dari biasanya. Isakan tangisnya memenuhi ruangan kamarnya begitu mengingat kenangan pahit itu, kenangan di mana ia ditinggalkan oleh sang kekasih. Kenangan pahit yang tak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya, tangisnya begitu memilukan. Beruntunglah kamarnya ini kedap suara sehingga tangisnya tak terdengar ke luar, ia tidak akan bisa menjawab pertanyaan ibunya mengenai tangisnya jika terdengar nanti. Rossalina Anne Prabudya, nama itu yang diberikan ibunya untuknya. Ada nama mendiang ayahnya di tiga kata namanya, Prabudya adalah nama sang ayah. Putri satu-satunya dari keluarga Prabudya itu mendudukkan dirinya di tepi ranjang sambil memegangi dadanya yang masih berdenyut. Rasa itu antara sakit ketika kembali mengingat masa-masa menyakitkan itu dan juga rasa deg-degan karena baru saja bangun dari alam mimpi. Wanita itu menghela napasnya, di tatapnya jam dinding yang menunjukkan pukil lima pagi. Akhirnya ia memutuskan untuk membersihkan diri dan juga mengambil air wudhu untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang umat Tuhan. Setelah selesai, ia segera bersiap-siap. Aroma masakan begitu tercium ketika ia telah berada di dapur, di sana ada ibunya yang sepertinya tengah memasak nasi goreng. Ia mengetahui itu karena aroma bawang goreng perpaduan dengan bawang putih yang tercium begitu tajam, wanita itu menghampiri ibunya kemudian memeluk tubuh wanita yang tak lagi muda itu dengan erat. Hingga membuat si empunya begitu terkejut mendapat pelukan secara tiba-tiba. "Eh? Kesayangannya Bunda udah bangun," ucap wanita kisaran umur lima puluh tahunan itu sambil membalikkan tubuhnya. "Pagi, Bunda! Masak nasi goreng, ya? Waah Oca mau dong, Bun. Eh iya maaf ya tadi Oca enggak bantuin Bunda buatin sarapan, Oca bangunnya agak sedikit telat." Wanita itu menyengir hingga memperlihatkan gigi putihnya yang tersusun rapi. "Pagi juga, Sayang. Enggak bantuin Bunda juga enggak apa-apa kok, Bunda 'kan bisa masak sendiri. Menu simpel gini kok," balas sang bunda kemudian memasukkan nasi goreng yang telah matang ke dalam piring. "Nih, kamu sarapan. Kamu harus berangkat pagi, kan? Hari ini tahun ajaran baru di sekolah kamu." Rossa menerima sepiring nasi goreng itu dengan senyum cerahnya. "Makasih, Bunda! Bunda juga ikut makan dong. Nyuci piringnya nanti aja," ucap Rossa sambil mengajak bundanya agar mau duduk di bangku meja makan bersamanya. Rini–bunda Rossa tersenyum ketika melihat putrinya begitu lahap menikmati nasi goreng buatannya, Bunda Rini selalu suka melihat senyum putrinya. Ia tahu dibalik wajah penuh senyum milik putrinya terselip luka di hatinya dan hanya ia yang mengetahui itu, karena setiap ada masalah maka Rossa akan langsung menceritakan padanya. "Ini pertama kalinya kamu masuk setelah libur panjang, gimana perasaanmu, Nak?" tanya Bunda Rini setelah mereka menandaskan sarapan. "Oca senang banget, Bun! Apalagi hari ini ada anak-anak baru yang akan Oca ajar. Bunda 'kan tahu sendiri kalau Oca suka anak-anak, rasanya begitu membahagiakan begitu melihat mereka." Senyum Rossa mengembang ketika ia membayangkan wajah anak-anak didiknya yang menyapanya dengan wajah polos dan ceria khas anak-anak. "Kalau kamu suka anak-anak kenapa kamu enggak menikah aja? Punya suami pasti juga punya anak, kan?" Sepertinya Bunda Rini salah bicara karena begitu kata-kata itu terlontar senyum di wajah Rossa memudar, tergantikan dengan wajah sedikit sedihnya. "Eh, Bun. Kayaknya Oca telat nih kalau enggak segera berangkat." Rossa pura-pura melihat jam di pergelangan tangannya. "Oca berangkat, ya, Bun? Bunda hati-hati di rumah. Kalau ada apa-apa hubungi Oca, ya?" Rossa menghabiskan susunya kemudian menyalami tangan bundanya. "Harusnya yang bilang begitu Bunda, kamu hati-hati di jalan, ya, Nak? Kalau ada apa-apa telepon Bunda," ucap Bunda Rini membuat Rossa tertawa kemudian mencium kedua pipinya. "Oca udah gede, Bun. Pasti enggak kenapa-napa, jangan khawatir. Ya udah Oca berangkat, Bun! Bye ...." Rossa melambaikan tangannya kemudian mengenakan helm. Sekali lagi wanita itu melambaikan tangannya pada sang bunda sebelum menjalankan motor maticnya. Motor matic yang ia kendarai tiba di sebuah sekolah bercat merah putih, sebuah sekolah dasar tempat di mana ia bekerja. Rossa memarkirkan motornya di antara jejeran motor milik guru lain, tepatnya di sebelah parkiran mobil. Wanita itu tersenyum ketika ia turun dari motor langsung banyak anak-anak berseragam merah putih itu menghampirinya, anak-anak itu langsung mengerubunginya setelah satu persatu menyalami tangannya. "Pagi, Bu guru!" sapa anak-anak dengan riang gembira. "Pagi juga anak-anak, udah pada sarapan?" tanya Rossa. "Udah, Bu!" "Ibu, Fira senang banget bisa masuk sekolah. Fira bisa ketemu sama Bu guru lagi," ucap seorang anak yang rambutnya dikepang itu. "Nila juga senang banget bisa ketemu sama Bu guru!" "Farhan juga, Bu!" "Mita juga!" "Sifa juga!" Rossa tersenyum mendengar ucapan penuh keceriaan dari anak-anak didiknya itu, anak-anak yang kini tengah mengerubunginya ini adalah anak-anak kelas satu yang kini sudah naik ke kelas dua. Rossa memang mengajar di kelas satu dan dua, selebihnya ada guru lain yang akan mengajari. Menatap anak-anak yang begitu ceria pagi ini berhasil membuat Rossa kembali pada kenangan beberapa tahun silam, di mana ia dan juga pria yang sudah meninggalkannya itu pernah berada di posisi ini. "Sayang, lihat deh mereka yang lagi main bola," ucap Rossa pada pria yang tak lain adalah Samuel sambil menunjuk beberapa anak-anak yang berlarian sambil mengejar benda bulat itu. "Iya, keliatannya seru banget, ya." Samuel membalas perkataan sang kekasih dengan perasaan bahagia. "Nanti kalau kita punya anak, aku mau buat yang kesebelasan, ya." Rossa melongo ketika mendengar lanjutan perkataan Samuel. "Enak aja! Dikira aku kucing apa? Lagian gimana mau buat anak kalau kita nikah aja belum!?" ucap Rossa membuat Samuel terkekeh. "Sebentar lagi kita akan nikah kok, aku yakin itu." Rossa mencibir mendengarnya. "Kayak yakin aja kalau kita akan nikah," cibirnya yang dibalas tawa renyah Samuel. "Yakin dong, orang kita udah lama pacaran gini masa enggak nikah? Rugi di aku karena cuma jagain jodoh orang, lagian hari gini nyari cewek yang masih virgin itu susah. Eh kamu masih virgin 'kan, Sayang?" Rossa langsung melayangkan cubitannya di perut Samuel begitu perkataan v****r itu keluar dari mulut sang kekasih. "Ngomongnya bisa difilter dikit enggak, sih? v****r banget!" ucap Rossa ketus. "Ya maaf, aku 'kan cuma bercanda. Malah dicubit beneran, sakit tahu." Samuel mengusap bekas cubitan Rossa di perutnya. "Emangnya kalau nyubit bisa bercanda juga!?" Nada suaranya masih ketus dan hal itu membuat Samuel terkekeh singkat kemudian merangkul bahu Rossa. "Jangan galak-galak gitu dong, Sayang. Nanti kalau kita punya anak terus anaknya mirip kamu semua aku yang kelimpungan ngadepin galaknya istri sama anak." Lagi, Rossa kembali melayangkan cubitan mautnya di perut Samuel. "Ngomongin anak mulu! Nikah dulu baru ngomong anak!" Rossa bangkit untuk meninggalkan Samuel yang berteriak memanggil namanya, Rossa hanya mengulum senyum dan tetap melanjutkan langkahnya. Rossa tersadar dari lamunannya ketika sebuah tangan kecil menyentuh lengannya, wanita itu menatap ke arah bawah dan ada anak didiknya yang menatapnya dengan penuh tanda tanya. Selama itukah ia melamun? Dan juga untuk apa ia kembali mengingat masa-masa itu? Masa-masa yang seharusnya Rossa lupakan seumur hidupnya, untuk apa ia harus mengingat kenangan itu lagi? Toh pria yang menjadi kenangannya itu kini sudah bahagia bersama istri dan mungkin anak mereka. "Bu guru kenapa?" tanya salah seorang anak membuat Rossa kembali tersadar. "Bu guru enggak apa-apa kok, Sayang. Yuk kalian semua pada masuk ke kelas, ya! Sebentar lagi 'kan masuk," ucap Rossa pada semua anak didiknya. "Baik, Bu guru!" Anak-anak yang tadi mengerubungi Rossa pun berlarian untuk memasuki kelasnya, Rossa yang melihat itu hanya menggeleng pelan kemudian berjalan menuju kantor guru yang letaknya tak jauh dari area parkir. "Oca! Akhirnya lo datang juga!" teriak seorang wanita bertubuh sedikit tambun ketika melihat kedatangan Rossa. "Eh Winny, lo bisa enggak kalau enggak teriak!? Pengang nih telinga gue!" celetuk salah satu guru berpenampilan seksi pada wanita bertubuh tambun yang bernama Winny itu. "Bodo, kenapa lo enggak dengerin aja tuh musik korengan lo biar enggak dengar suara gue?" balas Winny membuat wanita itu berdecak. "Woy Winny the pooh! Namanya tuh K-pop bukan musik korengan, sembarangan aja kalau ngomong!" ucap wanita yang tak lain adalah Dewi itu kesal. Winny mengabaikan Dewi dan lebih memilih menghampiri Rossa yang bingung karena ia yang baru datang harus mendengarkan teriakan dua orang yang suaranya dikenal sangat toa, Rossa bertambah bingung ketika Winny mengajaknya keluar dari ruang guru. Padahal dirinya baru saja akan masuk, akan dibawa ke mana ia oleh Winny? "Eh gue mau dibawa ke mana ini, Win?" tanya Rossa sambil menghentikan paksa langkah mereka. "Bantuin gue, Ca! Ini tuh gawat! Ada anak kecil cewek, dia anak baru dan dia tuh nakal banget! Enggak bisa diatur! Dari tadi bikin rusuh di kelas satu. Gue udah berusaha buat dia berhenti, tapi dia enggak mau dengerin omongan gue. Lo 'kan udah biasa tuh, Ca ngadepin anak-anak kecil-kecil imut cute tapi bandel. Jadi lo aja, ya? Takutnya nanti kalau kita enggak segera nenangin tuh anak nakal, nanti kepala sekolah negur kita loh. Lo enggak mau kalau sampai kita di cap guru yang enggak becus, kan?" tanya Winny sambil mengedipkan matanya. "Hmmm ... bilang aja kalau lo enggak mau repot, Win." Winny menyengir kemudian mengikuti langkah Rossa yang akan menuju ruangan kelas satu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD