Menaruh Kecurigaan

702 Words
Setiap hari Sabtu, Sinta dan ibunya mendatangi rumah kami dan membawakan sesuatu. Entah itu makanan, minuman, barang-barang dan lain sebagainya. Tentu saja dengan kehadiran mereka membuatku sedikit tak nyaman. Masalahnya mereka seperti sedang menjodohkan Mas Satria dengan Sinta. Rasanya seperti tidak mungkin, namun dari gelagat mereka bisa terlihat jelas. Seringnya membahas masalalu Sinta dan mas Satria membuatku semakin menciut. Apalagi keduanya juga meladeni. Malam ini aku ingin berbicara empat mata dengan suamiku. Meminta kejelasan dan keputusan yang harus diambil. Menurutku ini sudah tidak benar, dan akan semakin menjadi-jadi apabila aku membisu. "Ada apa dek?" Meski begitu, Mas Satria tetap berperilaku lembut terhadapku seolah-olah tak melakukan sebuah kesalahan "Jelaskan mas." "Jelaskan apa?" Alisnya terangkat, aku memanyunkan bibir "Kamu masih sayang sama Sinta kan?" Mas Satria justru tertawa, lalu mengelus puncak kepala. "Lucu kamu." "Mas aku serius!, Semenjak Sinta memberikanmu perlengkapan sholat, kalian jadi semakin dekat." "Ada-ada saja kamu ini," katanya mencoba mengalihkan pembicaraan. "Aku sudah gak ada perasaan dengan dia." Laki-laki sulit dipercaya ucapannya, lalu bagaimana aku harus percaya jika bukti-bukti sudah kupegang. Mulai dari mas Satria yang antusias sekali jika membahas Sinta dan mereka yang ahkir-ahkir ini sering dekat. Aku sebagai istri tak terima dengan apa yang suamiku lakukan, itu adalah perbuatan tak baik. "Mas, kamu masih ingatkan kalau dalam rumah tangga harus jujur? Jika pemimpinnya saja tidak peduli maka akan jadi apa rumah tangga ini." "Iya, Mas ingat kok. Aku juga seneng kamu cemburu sama Mas tapi jangan berlebihan ya." Dia menjawil ujung hidungku "Aku gak suka kalau mas dekat-dekat dengan Sinta, kalian bukan muhrim mas." Mas Satria mengangguk. "Iya mas tau kok, aku juga jaga pandangan ketika berbicara dengannya." "Tapi Mas janji, mulai besok akan menjauh dari Sinta. Tapi ada syaratnya." "Syarat?" kataku ulang, mas Satria mengangguk sembari tersenyum manis "Apa syaratnya?" "Cium dulu dong, dari pulang kerja sampai mau tidur gak dicium nih sama istri." Mas Satria memajukan wajahnya, membuatku tersenyum dan terkikik geli melihat tingkahnya. "Mas Satria ih.." "Loh kok ih sih?" "Paling bisa kamu." "Iya dong, jadi mau gak nih?. Kalau gak mau ya udah besok masih deket-deket sama Sinta ah." Aku melotot mendengarnya, lalu memberikan cubitan di perut membuatnya mengaduh. "Ampun dek, ampun.." Teriaknya, aku merasa menang. Sampai pada ahkirnya posisiku berada dibawahnya dan mas Satria mengkungkungku diantara tubuhnya. "Mau lari kemana kamu?" "Mas..." "Cium dulu, baru dilepasin." "Iya, iya." Dan begitulah seterusnya. Kini aku mengerti bahwa emosi dan rasa kekhawatiran serta cemas yang berlebihan harus dilawan dengan rasa sabar dan ketenangan. Mungkin aku terlalu cemas dan takut akan kehilangan suamiku sampai-sampai merasa tidak percaya dengannya. Padahal seharusnya aku menumbuhkan keyakinan ku bersama mas Satria agar rumah tangga kami selalu bahagia. Dan dengan hati yang tenang sebuah masalah justru dihadapi dan terselesaikan melalui canda tawa yang ada kami semakin dekat. Allhamdulillah ya Allah, caramu begitu luar biasa. ___________________________________________________________ Hari ini mas Satria libur dan dia berinisiatif mengajakku untuk berbelanja di pusat perbelanjaan mengingat aku yang jarang kesana. Tentu saja hal itu membuatku kegirangan, senang bukan kepalang. "Mas tunggu diluar ya dek?" Kepalaku mengangguk dan melanjutkan merias diri. Suami yang begitu pengertian, mas Satria bahkan bisa menerima segala kekuranganku dan Allah menghadirkannya dalam hidupku agar aku lebih bahagia lagi. Setelah selesai merias diri, kuputuskan untuk menyusul mas Satria. "Mau kemana Sat?" "Ke Mall Bu, mau belikan baju Widya." "Loh ibumu gak diajak Sat?" Bapak menimpali "Nanti Satria bawakan oleh-oleh saja ya?" "Ya sudah, jangan boros-boros. Beras dirumah sudah habis." "Dari kecil ibu rawat gedenya malah nyenengin anak orang." Meski ibu menggerutu, aku tetap bisa mendengar suaranya di ruang tamu. Sengaja berhenti sebentar untuk mendengarkan apa yang mereka katakan. "Bukan begitu Bu. Uang Satria juga gak cukup kalau harus ikut semua." "Ya, ibu ngerti." Ketus ibu. Tak sadar air mataku menetes, mendengar semuanya membuat kebahagiaan sirna. Namun tiba-tiba saja mas Satria menyusul ku "Dek?" "Kenapa menangis?" Tanyanya "Gak apa-apa mas." "Jangan dengerin omongan ibu ya?, Kamu kesayangannya mas. Cuma kamu semangat mas." Pria tersebut mengelus puncak rambutku lalu berganti mengelap air mata di pipi "Ayo." "Terima kasih mas." "Susah seneng kita harus sama-sama ya dek?, Mas janji akan melindungi kamu dari apapun." "Adek juga janji mas, akan selalu berusaha menjadi istri yang Sholeha." "Aamiiin."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD