Bab 2

1066 Words
Esok harinya, seperti janjinya, Bella mengajak Thalia ke toko perabotan, dia telah terbiasa menggunakan kaki meski jalannya masih terasa aneh baginya. Biasanya Thalia merasakan gelombang air, kini dia hanya merasakan desiran halus angin yang menerpa kulitnya. “Ayo masuk sayang,” ucap Bella. Mulai hari ini Bella meminta Thalia memanggilnya dengan sebutan ibu. Dia ingin Thalia terbiasa menjalani hari-hari seperti anaknya. “Thalia, apa kamu suka meja belajar ini?” Bella menunjuk meja belajar dengan motif bunga lili ungu. Thalia tak mengerti sebenarnya apa fungsi meja itu, dia hanya mengangguk menyetujui. Bella dan Smith termasuk golongan orang yang mampu, mereka memiliki usaha bakery dan butik. Thalia berdecak kagum menatap pantulan bayangan dirinya di cermin. Benar kata orang, dia memang cantik. Bahkan sejak dia masuk ke mall, semua orang memandanginya. Kulit Thalia sangat putih bersinar, matanya berwarna coklat hazel, hidungnya mungil dan mancung, bibirnya kemerahan. Dia tersenyum senang menggunakan dress berwarna biru laut selutut. Sangat cantik, dia menjadi ingat warna siripnya, persis seperti ini. “Bagaimana Thalia, kamu suka?” tanya Bella. Thalia mengangguk senang dan tersenyum, tidak hanya satu dress, Bella juga memberikan Thalia beberapa baju lainnya, pakaian dalam, dan semuanya. “Woah, Bella. Siapa dia? Cantik sekali, apa dia keponakanmu?” tanya teman Bella di butik. Thalia menggeleng, dia tersenyum lembut menatap pramuniaga itu. “Dia ibuku,” jawab Thalia dengan bangga. Pertama kali di hidup Thalia dia merasakan kasih sayang orang tua yang begitu dalam, dia diperhatikan, disayangi dengan tulus. Betapa bahagianya menjadi manusia, pikir Thalia. Bella memeluk erat Thalia, dia sangat senang diakui sebagai ibu. Dia bersumpah dalam hatinya akan menjaga Thalia sepenuh hatinya. Thalia memiliki wajah cantik, wajahnya bak dewi yunani. Manis, menawan dan anggun. Tidak hanya itu, Thalia memiliki hati yang tulus dan penyanyang. Thalia pikir, dunia manusia sangat kejam, kenyataannya salah. Dia hanya mengenal lautan lepas yang dalam. Ternyata ada dunia yang indah membuat Thalia ingin menetap di sini, dia ingin dicintai, disayangi layaknya manusia. Setelah membeli perabotan dan beberapa baju untuk Thalia, Bella mengajaknya untuk makan. Awalnya Thalia terkejut bukan main saat di piring adalah ikan yang dibakar. Tidak hanya itu, ada cumi-cumi juga yang dimasak. Bagaimana mungkin dia memakan ini semua jika di lautan cumi, ikan, gurita dan semua hewan yang di laut adalah temannya. “Ayo sayang dimakan.” Thalia menatap Bella dengan melongo, begitu lahapnya Bella menikmati makananya. Berulang kali Thalia ingin mengambil sendok, namun tangannya bergetar karena terkejut melihat cumi di hadapannya. “Thalia, kenapa tidak memakannya?” tanya Bella “E ... aku tidak suka seafood.” Thalia mencoba menutupi ketakutannya. Bukan hanya takut, membayangkan semua hewan laut yang dimasak membuat dia ngeri. Tidak tega jika dia harus memakan seafood. Meski kini dia menjadi manusia, dia tidak terbiasa dengan ini. “Oh begitu, baiklah. Aku pesankan steak untukmu. Makanan ini biar untuk Smith saja.” Thalia mengangguk berterima kasih, setelah memakan steak, dia menatap Bella yang mengeluarkan lembaran uang, Thalia menyerngitkan dahinya, dia tak tau apa yang Bella pegang. Uang itu Bella letakkan di meja makan. “Itu apa?” tanya Thalia menunjuk uang yang diletakkan Bella. “Ini uang Thalia, tentu saja untuk membayar makanan.” Bella lalu menggandeng Thalia, mengajak Thalia berjalan lagi menuju sekolah. Sepanjang perjalanan, banyak hal yang Bella ajarkan kepada Thalia tentang kehidupan di daratan. Sedikit demi sedikit Thalia memahami bagaimana kehidupan manusia. Kini dia juga telah menggenggam smartphone, menggunakannya untuk menghubungi Smith atau Bella. Thalia terperangah saat Bella membawanya ke gedung tinggi yang menjulang. Dia sangat takjub melihatnya. Melihat Thalia yang sudah beranjak dewasa, setidaknya mungkin umur Thalia sekitar tujuh belas tahun. Dari sisi kiri Smith datang berlari menghampiri mereka berdua, membawa map coklat berisi berkas. “Ayah habis dari mana?” tanya Thalia. Mendengar Thalia memanggilnya ayah, Smith merasa terharu, inilah saatnya dia menjadi seorang ayah. Ternyata Tuhan masih memberinya kesempatan untuk memiliki anak. “Ayah sudah buatkan semua berkas untukmu Thalia, ini untuk keperluan sekolahmu.” Thalia lalu berjalan bersama kedua orang tua barunya menuju sekolah baru. Entah apa yang mereka bicarakan, Thalia tidak terlalu mengerti. Dia melihat sekeliling sekolah, ada banyak sekali para murid yang berlari ke sana kemari. Dia menatap para gadis yang tengah bersorak di pinggir lapangan, menyemangati para laki-laki yang bermain basket. Thalia menatap satu laki-laki yang menurutnya tampan dan memiliki aura berbeda dari yang lain. Lelaki itu tinggi, tubuhnya tegap, memiliki garis wajah yang sangat jelas dan hidungnya mancung. Sayangnya dalam pertandingan basket anak laki-laki itu selalu gagal melakukan shooting. Thalia lalu tersenyum, dia menggunakan kekuatan magicnya untuk membantu anak itu memasukkan bola. Pertama kali saat bola basket masuk, para murid wanita bersorak kesenangan, begitu juga dengan Thalia, dia melompat-lompat dan bertepuk tangan. Smith sedari tadi menatap Thalia, Smith tidak bisa melihat kekuatan sihirnya. Dia hanya melihat tangan Thalia yang mengayun, dan kini melihat Thalia yang melompat kesenangan saat bola basket memasuki ring, Smith ikut tersenyum senang melihatnya. Sepertinya dia mengetahui satu hal, Thalia sangat tertarik dengan permainan bola basket. “Kenapa kamu tidak bergabung dengan mereka dan mencobanya?” tanya Smith. Thalia tersenyum mengangguk, dia lalu berlari ke tengah lapangan. Pertandingan baru saja selesai, semua pemain sedang duduk. Thalia mengambil bola basket dan memasukkannya ke ring. Ternyata sangat mudah bagi Thalia. Dia bahkan bisa langsung memasukkan three poin. Semua murid yang ada di lapangan terperangah dengan Thalia, tidak hanya karena permainan basketnya, tapi dia juga terlihat cantik dan menawan. “Wah, kamu siapa? Aku belum pernah melihatmu di sini.” Kapten basket laki-laki menatap Thalia dengan tatapan kagum dan menjulurkan tangannya untuk berkenalan. “Aku Thalia, aku baru saja mau pindah di sini. Kamu siapa?” Thalia menjulurkan tangannya, dan mereka saling bersalaman. “Aku Steve, kapten basket di sini, mau bergabung dengan tim basket putri?” tanya Steve lembut. Thalia merasa kikuk dan canggung. Dia tak tau harus menjawab apa, bahkan dia tak tau apa maksud Steve. Basket? Apa itu? Dia baru saja mendengar kata itu. “Bola basket? Apa itu?” tanya Thalia dengan wajah polosnya yang membuat Steve gemas. “Bola yang kamu pegang, itu bola basket.” Thalia seketika memahami maksud Steve, dia meragu apakah dia mau bermain bola ini lagi, namun tatapannya beralih kepada anak laki-laki yang tadi dia lihat dari jauh. Kini jelas tertera namanya, Eric dengan angka punggung 09, dia terlihat cuek dan memiliki aura yang berbeda. Thalia lalu menjawab kepada Steve. “Iya tentu.” Sebenarnya dia bukan karena ingin bermain basket, tapi ingin menatap Eric lebih lama dan terus bertemu dengannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD