Satu

1086 Words
Aku tinggal hanya berdua dengan ibuku di rumah yang sederhana, kehidupan kami seperti kebanyakan orang lain. Walaupun tanpa figure ayah, aku tetap hidup dengan normal seperti anak seusiaku. Namun terkadang banyak orang yang bertanya tentang diriku, karena aku adalah anak adopsi. Aku mengetahuinya semenjak aku kecil, entah bagaimana aku tahu? Tetapi aku memang tahu bahwa aku adalah anak adopsi. Mungkin ibuku tidak ingin aku tahu dari orang lain, yang akan banyak menimbulkan pertanyaan. Bukan merasa tidak percaya diri atau merasa seperti orang terbuang, aku merasa bahwa aku adalah anak yang sangat beruntung bahkan tanpa orang tua kandungpun, aku masih bisa hidup bahagia bersama seorang ibu walaupun tanpa figur ayah. Ibu bekerja sebagai seorang guru, 3 tahun lagi beliau akan memasuki masa pensiun. Aku kini sudah duduk di bangku kelas 3 sekolah menengah umum (SMU). Hari ini adalah hari minggu, kebiasan setiap hari minggu kami membersihkan rumah secara menyeluruh, menjelang siang saat pekerjaan rumah sudah beres kami memiliki akan duduk di halaman belakang sambil menikmati camilan sambil menikmati warna warni kebun. “Vio, ada yang mau ibu bicarakan” beliau memulai dengan ragu, aku berputar dari tempat duduk sehingga menghadap beliau dan memandanginya dengan serius karena tidak biasanya suara ibu terdengar ragu seperti ini pasti ada hal yang sangat penting. “Ada apa, Bu? Sepertinya serius banget nih?” “Ibu harus mulai dari mana nih.....” “Dari awal aja, Bu. Biar ga muter-muter ceritanya.” Aku menyakinkan beliau dengan tersenyum menyemangati. Dan mulailah cerita beliau. Sebulan yang lalu ibu bertemu dengan teman lamanya, orang tersebut merupakan cinta pertama ibu. Pertemuan itu memang sengaja dilakukan oleh teman ibu tersebut.  Namanya Pak Hendra. Mereka tidak jadi menikah pada waktu itu karena lelaki itu dijodohkan oleh orangtuanya dengan sepupu jauhnya. Dia memiliki seorang anak lelaki yang sudah mampan. Keluarga Pak Hendra berasal dari keturunan oarang kaya, dan memiliki perusahaan yang sekarang Pimpinannya sudah diambil alih oleh anaknya. Sedangkan Pak Hendra, sebagai pemilik menjadi dewan direksi. “Pak Hendra meminta ibu untuk menikah dengan beliau. Bagaimana menurutmu Vio?” “Kalau maunya Ibu, bagaimana? Kalau Ibu mau, Vio senang aja. Selama itu bisa membuat ibu bahagia.” “Tetapi bagaimana dengan tanggapan jiran tetangga, Vio. Masa ibu menikah pada usia kepala lima hampir enam puluh lagi.” “Bu.... ibu bahagia tidak jika menikah dengan Pak Hendra ?” aku menarik nafas dalam sebelum melanjutkan “Jika ibu bahagia, omongan orang tidak usah ibu dengar. Apakah mereka merasakan bagaimana perasaan ibu? Tidak. Mereka hanya bisa ngomong, dan tidak punya andil dalam mengambil keputusan di sini. Jika kedua keluarga setuju, Vio rasa lebih baik ibu menikah saja.” “Kamu setuju! Kamu tidak merasa ganjil atau perasaan tidak enak begitu” “Iya.... Vio setuju. Kenapa mesti tidak enak. Vio akhirnya bisa punya ayah seperti anak yang lain. Bukan berarti Vio tidak senang dengan kehidupan kita sekarang, tidak. Vio bahkan sangat senang. Tetapi jika ibu menikah dan bisa bahagia, Vio akan lebih bahagia lagi.” Aku tersenyum senang “Jadi kapan acaranya, Bu?” “Kamu ini.... Pak Hendra nanti akan ke rumah kita untuk berkenalan denganmu. dan juga beliau akan memperkenalkan anaknya juga. Biar nanti, tidak terlalu canggung. Bagaimana?” “Ide bagus, jadi nanti Vio tidak bertanya-tanya yang mana orang yang akan menjadi ayah Vio.” __*__ Rumah kediaman Hendra, Adrian baru saja menginjakan kakinya memasuki mansion mereka. Saat mendengar suara ayahnya menyapanya dari ruang santai di sudut kanan rumah yang sedang menikmati kopi sorenya sambil melihat berita di televisi. “Sudah pulang nak? Kemari sebentar, temani ayah!” “Ada apa ayah? Tumben nih.” “Darimana tadi?” “Tadi memantau perkembangan proyek yang di Selatan Kota, biasa inspeksi rutin. Meninjau perkembangan pekerjaan di sana. Tidak ada masalah yang penting.” Adrian menjelaskan panjang lebar melihat alis ayahnya yang terangkat menandakan bahwa ada pertanyaan yang menyelidik pasti terjadi. Walaupun kepemimpinan perusahaan sudah pindah ke tangannya, tetapi ayahnya masih memantau jalannya perkembangan perusahaan. Mungkin, jika perusahaan dalam keadaa genting ayahnya akan turun tangan kembali. Tetapi Adrian memastikan bahwa perusahaan yang di pimpinnya akan berkembang, dan akan lebih maju saat di bawah kepemimpinan ayahnya. “hari libur begini masih saja ke proyek. Tidak menikmati waktu santaimu, ayah menjadikanmu pimpinan perusahaan bukan ingin melihatmu bekerja 24 jam sehari 7 minggu.” Ayahnya tersenyum melihat anaknya. “Adrian menikmatinya, jadi tidak terpaksa daripada di rumah bosan lebih baik melihat perkembangan pekerjaan sekalian bisa jalan keliling dengan mobil.” “Kamu ngebut lagi?” pertanyaan guyonan ayahnya hanya di jawab senyuman oleh Adrian. Dia tahu ayahnya tidak marah akan hobinya yang mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, karena dia tahu batasan dan kondisi jalanan yang dapat dipacu dengan batas maksimal. Adrian duduk disebelah ayahnya, setelah mengambil minuman dingin yang ada dipojokan ruangan. Karena ruangan santai ini, fasilitasnya dibuat dengan sangat nyaman sebagai ruang keluarga untuk bersantai dan berkumpul. “Adrian, ada yang mau ayah bicara.” “Bukannya dari tadi kita sudah bicara, Yah.” “Ini sedikit serius.” Ayahnya terlihat sangat serius, walaupun matanya masih melihat ke televisi. “Katakan saja, Yah. Ada apa, melihat ayah seperti itu Adri jadi cemas nih.” “em...bagamana ayah harus menjelaskannya.”ayahnya menyerumput kopinya baru melanjutkan. “Ayah mau menikah lagi.” Suara itu tidak kencang tetapi seperti ada petasan yang meledak di telinga Adrian, dia tidak pernah perpikir bahwa ayahnya akan mengucapkan kata tersebut. Karena selama ini sudah 15 tahun menduda, tidak sekalipun ayahnya memiliki hubungan dengan wanita manapun. “Ayah mau menikah kembali, kenapa tiba-tiba Yah?” “Tidak tiba-tiba juga, ayah sudah bertemu lebih dari sebulan ini. Dan akhirnya memutuskan untuk menikahinya.” “Dia tahu latar belakang ayah?” “Sangat tahu, malahan dia teman ayah saat sekolah dulu. Boleh di bilang cinta pertama ayah, sebelum bertemu dengan ibumu.” Melihat Adrian yang terlihat berpikir keras, membuat Pak Hendra menarik nafas lelah sebelum melanjutkan. “Kenapa, apa yang kamu pikirkan? Apakah kamu mengira dia mau menikah dengan ayah karena kekayaan, kamu tidak perlu khawatir. Dia malah mengajukan syarat, agar setelah menikah kami tinggal di rumahnya yang ada di pedesaan. Ke sini hanya sekali-kali aja untuk melihat dirimu.” Adrian terkejut mendengar penjelasan ayahnya, bagaimana tidak apa yang dijelaskan ayahnya sempat terlintas dibenaknya. Dia tidak tahu, bahwa ayahnya dapat menebak pikirannya yang baru saja terlintas bahkan belum menjadi keberatannya. “Apakah ayah akan bahagia?” “Iya, ayah akan sangat bahagia. Bukan berarti kalau selama ini ayah tidak bahagia, tetapi jika ayah menikah kembali. Ayah bisa punya teman di hari tua ayah ini.” Melihat keseriusan ayahnya, Adrian akhirnya menyetujui dan berjanji dalam hati bahwa ia akan memantau keluarga istri baru ayahnya itu. “Jika ayah bahagia dengan pernikahan ini, Adrian setuju. Kapan acaranya Yah?” Mendengar perkataan Adrian, ayahnya memeluk erat anaknya meluapkan kegembiraannya restu anaknya itu. “Minggu depan kita bertemu keluarga dulu, kita ke rumahnya untuk saling mengenal keluarga. Namanya Salma, dia memiliki seorang anak perempuan yang masih SMA sekarang, namanya Violet.” Adrian hanya mengangguk menyetujui dengan tersenyum.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD