Main Cantik Dulu Ya

1027 Words
Aku pun menunggu di dalam mobil dengan sabar . Hingga waktu yang telah ditentukan telah tiba. Kubuka mataku lebar-lebar, agar aku tak kehilangan jejak. Lumayan lama menunggu, hingga akhirnya sebuah mobil Pajery berwarna putih s**u parkir tepat di depan rumah Raisa. Tak salah lagi, itu adalah mobil Mas Chandra, hadiah pernikahan dari almarhum papaku dulu. Aku pun mulai merekam apa yang ada di hadapanku. Dari dalam mobil itu turunlah Mas Chandra yang memakai pakaian batik rapi. Dengan diantar oleh laki-laki dan perempuan yang aku tak mengenalnya. Mereka membawa beberapa seserahan. Benar benar jahat kamu, Mas. Aku tak menyangka kamu yang selama ini sayang dan sangat baik padaku ternyata tega berbuat seperti ini. Namun saat ini aku dilema, haruskah sekarang juga kuhancurkan acara pertunangan itu? Ataukah aku harus main cantik saja menghadapi semua ini? Ah lebih baik aku diam saja dulu, dan memberi balasan yang setimpal dulu pada Mas Chandra. Rasanya juga terlalu kolokan jika aku sekarang langsung masuk dan mengacaukan acara ini. Rasanya, kalau aku sedikit membalas tak apalah, sebelum aku mengakhiri semua ini. Mas Chandra dan juga Raisa pantas untuk mendapatkan pelajaran karena sudah bermain api di belakangku. Aku pun menyudahi merekam video itu setelah mereka masuk kedalam, apa yang terjadi di dalam rumah warna oranye itu sudah bisa kuperkirakan. Berbahagialah dulu, Mas. Anggap saja kamu menang sekarang, tapi jangan sampai nanti kamu menyesal di kemudian hari. Sebelum pergi dari sini, aku mencoba menelepon Mas Chandra, ingin tahu saja kira-kira bagaimana responnya, saat aku menganggu acara pertunangannya itu. Dua kali aku menelepon, tak diacuhkannya. Namun pada panggilan ketiga, dia langsung mengangkat panggilan dariku itu. "Assalamualaikum. Ada apa, Dek?" katanya membuka obrolan. Dari tempatku parkir, terlihat Mas Chandra sedang keluar dan saat ini berdiri di teras. Eh ternyata dia takut ketahuan juga ya. "Waalaikumsalam. Lagi dimana, Mas?" tanyaku. "Ini, emmm, Mas lagi ada di kantor perumahan yang nantinya akan kita kerjakan, Dek," katanya. "Oww gitu. Jadi pulang kapan nih?" tanyaku. "Pulang agak larut kayaknya, soalnya perjalanan dari sini ke rumah kan masih sekitar dua jam-an," katanya sepertinya cemas. Nampak di sana dia mondar-mandir, sambil berkacak pinggang. "Ooo begitu ya. Oh iya, Mas. Lokasi proyek nya di mana sih? Aku lupa," kataku berbohong. "Di Malang, Dek. 'Kan tadi pagi Mas sudah bilang ke kamu. Sudah dulu ya, ini lagi meeting, nggak enak sama yang lain," katanya. "Iya deh iya, kalau begitu nanti kamu pulang wajib bawa Pia Mangkok dan Malang Strudle, masing-masing dua ya. Awas kalau nggak bawa, ini lagi pingin banget aku, hehehe," kataku. "Aduh, kamu ini ada-ada saja sih Dek. Kenapa nggak bilang dari tadi siang kalau kepingin itu? Sudah malam ini!" katanya. "Lha pinginnya kan baru sekarang. Lagian kan tadi aku lupa kalau kamu sekarang ada di Malang, Mas. Hah malam? Ini kan baru pukul setengah tujuh. Pokoknya pulang harus bawa itu! Atau aku bakal ngambek!" kataku. "Jurus andalan deh, pasti ngambek! Iya deh nanti aku beliin. Tapi ingat aku pulangnya agak maleman. Nggak usah nunggu, kamu langsung bobok saja nanti," katanya. "Lha gitu dong. Makin sayangg deh sama kamu Mas. Di Malang kan dingin banget, jangan macam-macam ya!" kataku. "Nggak bakal aku ini macam-macam Dek. Punya kamu saja itu sudah anugerah bagiku. Nggak usah mikir yang gitu ya, pamali. Udahan ya, ditungguin ini," katanya. Hemmm, mulutmu manis sekali Mas. Padahal dia sudah bermain api di belakangku, tapi masih saja sok alim dan setia. Memang perlu diberi sedikit pelajaran kamu ini. "Kamu ini, Mas. Ditelepon istri kok kayak ditelepon selingkuhannya saja sih, takut ketahuan! Ya sudah deh pokoknya malam ini pulang harus bawa dua macam pesananku tadi, jangan lupa struk pembeliannya ya. Soalnya aku nggak mau kalau bukan asli beli di Malang. Titik nggak pakai koma! Hati-hati ya nanti kalau pulang. Wassalamualaikum," kataku sambil nyengir. "Aduh, kamu ini apa-apaan sih, aneh-aneh saja. Ya sudah nanti Mas belikan. Assalamualaikum," katanya sambil memijit keningnya. Setelah panggilan telepon dariku diakhiri. Terlihat Mas Chandra masih di teras dan menghubungi seseorang. Kira-kira siapa ya yang dia hubungi? Setelah panggilan itu diakhiri, dia pun masuk kembali kedalam rumah, sambil tersenyum. Akupun kemudian memutuskan untuk pulang ke rumah. Sepertinya tadi dia bingung dengan permintaanku untuk membawa oleh-oleh khas kota Malang itu. Secara jarak kotaku dengan Malang adalah sekitar dua jam perjalanan. Kira -kira hal seperti apa sih yang akan dilakukannya untuk mengabulkan permintaanku itu? Mas Chandra sangatlah tahu, jika aku sangat keras kepala, apa yang kuminta harus kudapatkan. Jadi pasti dia akan berusaha mengabulkan semua permintaanku. Selama tiga tahun berumah tangga, dia selalu mencerminkan sosok suami yang penyayang dan setia pada istri, bahkan kadang dia seperti kalah denganku dan aku adalah bosnya dalam rumah tangga kami. Namun rupanya di luar dia adalah serigala berbulu domba, tapi eits jangan salah kalau aku adalah ratu dari para serigala, yang tak mudah kau bodohi. Aku sempat berfikir apa motivasinya sehingga menyelingkuhiku? Apa karena memang aku terlalu mengekangnya? Apa karena aku yang tak bisa merawat diri? Apa karena aku belum bisa memberikan dia anak? Atau banyak alasan alasan lainnya yang membuatnya menduakanku. Namun kurasa dia begitu teledor, kalau dia menduakanku seperti ini. Apa sih kurangnya aku? Aku dan almarhum papa telah mengangkat derajatnya, memberikan dia kemewahan dan kehormatan. Jika saja tak ada kami, maka aku yakin dia tetaplah akan menjadi karyawan rendahan sampai sekarang. Hanya karena dia pernah menolong papa saat akan ada mobil yang menyerempetnya saja-lah, yang membuat papa merasa berhutang budi sehingga menikahkan aku dengan Mas Chandra. Akhirnya sampai juga di depan rumah. Belum terlalu malam sih, masih pukul setengah delapan. "Pak Sigit, tolong ya mobilku yang ini taruh di bagian dalam lagi," kataku sambil menyerahkan kunci. "Siap, Non" kata satpamku itu. Kemudian akupun masuk dan pintu pun dibuka oleh Bi Sanah, asisten rumah tangga yang telah disini sejak almarhumah Mamaku dulu masih hidup, sekitar lima belas tahun yang lalu. "Non Dita mau makan malam sekarang?" tanyanya. "Nggak deh, Bik. Lagi malas makan. Aku mau langsung tidur saja," kataku sembari menaiki tangga. Akupun langsung menjatuhkan badanku di atas kasur springbed empukku. Kucoba memejamkan mata, namun nyatanya aku tak bisa. Bayangan Mas Chandra dan Raisa yang sedang berbahagia di sana, tak bisa luput dari pikiranku. Jadi begini ya rasanya sakit hati dan dikhianati? Sampai usia dua puluh lima tahun ini, baru kali ini aku merasakanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD