Bab 4 Anne Barnett

1100 Words
"Apa ada yang sakit? Di mana? Katakan! Apa perlu ibu meniupnya agar sakitnya reda," tanya perempuan itu dengan nada yang begitu cepat dan khawatir, ia memeriksa sekujur tubuh perempuan yang dipeluknya tadi dengan wajah pucat. "Ma-maaf! Anda membuat saya tidak nyaman. Tolong hentikan!" Sayako melepas kedua tangan perempuan itu dari tubuhnya dengan agak kasar. Perempuan bergaun ungu itu terkesiap kaget, kedua tangannya menutupi mulutnya, ia cepat-cepat memandang lelaki yang datang bersamanya. Lelaki yang memakai pakaian tak kalah mewah itu hanya bisa membeku di pijakannya. "A-anne?" bisik perempuan tadi, tangan kanannya berusaha meraih pundak kiri Sayako dengan mata berkaca-kaca, akan tetapi gerakan itu dihindari secepat kilat, seolah jijik padanya. Lagi-lagi perempuan bergaun ungu itu terkesiap kaget, matanya terbelalak tak percaya. "Vester?" Lelaki yang datang bersama perempuan bergaun ungu tadi melempar tatapan penuh tanda tanya pada sosok yang berada di sisi ranjang, sang kepala pelayan berwajah tegas yang berusia di atas 35 tahun. "Mungkin ini yang dikatakan oleh dokter sebelumnya. Nona Anne bisa jadi akan mengalami efek samping." "Oh! Tidak! Anne-ku sayang!" perempuan bergaun ungu itu kini mulai melolong pedih dengan kedua telapak tangan menutupi wajahnya sendiri, tangisnya tersendat-sendat. "Apa? Efek samping? Efek samping apa? Dan siapa itu Anne?" ucap Sayako datar dengan sorot mata kebingungan, masih sulit memproses semuanya. "Anne, anakku! Aku tahu ini akan sangat membingungkan. Yang paling penting saat ini adalah kamu selamat!" sang lelaki berpakaian mewah berjalan cepat ke arahnya dengan tubuh menegang oleh kekalutan, tangan kanannya mengambang di udara. Melihat gerakan satu orang aneh menghampirinya dengan gerakan anehnya juga, perempuan berambut cokelat panjang itu beringsut jauh ke sisi atas tempat tidur "APA?! TUNGGU! INI DIMANA? SIAPA KALIAN? JANGAN DEKAT-DEKAT! APA AKU SUDAH MATI? APA INI SURGA?" Dada Sayako menyeruakkan rasa panas yang sulit dijelaskan. Pikirannya kacau! Entah kenapa ia mulai tak nyaman dengan keadaan sekitarnya. Sang kepala pelayan tampak pucat. "Nona belum mati. Aduh! Bagaimana ini? Apa ini efek dari racun yang diminumnya?! Panggilkan, dokter! Cepat!" teriaknya pada seorang pelayan perempuan muda yang sedang membawa nampan berisi sarapan pagi. "APA??? RA-RACUN???" seru Sayako gagap, reaksinya kini mulai waspada. Selimut ditarik menutupi tubuhnya, bersembunyi dari situasi ganjil itu "Vester, apa kau yakin ini efek samping karena racun itu? Bukan karena air memasuki telinganya dan memenuhi otaknya?" Lelaki berpakai mewah itu berjalan cepat menghampiri Vester Sang kepala pelayan yang kini terlihat terbebani dengan desakan tuannya, darah seolah surut dari wajahnya. "Tuan Barnett! Saya bukan dokternya! Kita tunggu saja hasil pemeriksaannya nanti!" ia melonggarkan kerah bajunya, merasa tak nyaman dan bingung harus berkata apa untuk memuaskannya. "Anne! Kau sungguh lupa kami siapa, nak? Aku adalah ayahmu!" lelaki berpakaian mewah itu meletakkan tangannya di d**a dengan khidmat, lalu dengan cepat menunjuk perempuan bergaun ungu yang masih larut dalam tangisnya, masih dalam posisi yang sama. "Dan dia adalah ibumu!" "Ayah? Ibu? Apa aku sedang dikerjai?" Sayako tertawa kering, tanpa sadar memainkan rambutnya, matanya melirik secara naluri pada keanehan yang ada dalam genggamannya. Halus seperti sutra dan berwarna cokelat? Keningnya bertaut. "Aku pasti sedang bermimpi! Mimpi sebelum mati! Jangan bilang aku seperti di komik-komik yang k****a selama ini? Pfft! Konyol!" ucapnya geli, berbisik pada dirinya sendiri seraya menggeleng pelan. Kali ini ia memeriksa pakaian tidur yang melekat di tubuhnya, sepertinya sebuah jenis kain yang mahal dan berkelas. Sayako mendengus geli dengan perasaan konyol, ia bergumam hal-hal yang tidak jelas diselingi kekehan aneh di hadapan orang-orang yang ada di ruangan itu. Kepalanya bergerak memeriksa isi ruangan itu dengan tatapan nyaris melongo. Seluruh gajinya dalam setahun tak akan sanggup membiayai semua hal yang ada di sekitarnya ini! "Suamiku! Ada apa dengan Anne kita? Lakukan sesuatu! Dia mulai berkata yang aneh-aneh! Seperti bukan Anne kita!" perempuan bergaun ungu berdiri tegap, melotot tajam pada sang suami, kedua tangannya mengepal kuat di kedua sisi tubuhnya. "Kita tunggu dokternya datang dulu. Sabar sedikit, istriku!" sang suami bergegas memeluk sang istri yang kini air matanya kembali tumpah seperti sumber air mengalir sampai jauh. "Aku dengar nona Anne sudah sadar? Bagaimana keadaannya sewaktu bangun?" lelaki yang Sayako duga adalah dokter, berjalan cepat dari arah pintu ke arah Vester. Kedatangannya seolah membelah angin dengan efek dramatis. Raut wajahnya meminta penjelasan singkat. Di tangan kanannya terlihat sebuah tas kulit cokelat yang cukup besar, stetoskop menggantung di lehernya. "Sewaktu bangun, nona meneriakkan..." Vester membisikkan sisa kalimatnya di telinga sang dokter dengan gerakan gelisah. "Apa?" mata sang dokter tertuju pada perempuan di atas tempat tidur yang kini mirip anak kecil yang baru melihat keindahan dunia untuk pertama kalinya. "Tolong periksa dia dokter! Dia sama sekali tak mengingat siapa kami! Bahkan aku ibunya yang paling dekat saja tak diingatnya! Hati ini sungguh sakit melihatnya!" "Nyonya Barnett! Tenanglah!" pekik sang dokter saat ia mendapat tatapan tajam dari sang suami ketika perempuan bergaun ungu itu menariknya kuat-kuat ke sisi tempat tidur. "Anne! Dokter Marvin akan menyembuhkanmu! Jangan cemas lagi, sayang!" ia meraih kedua tangan Sayako, menggenggamnya dengan kuat. Sayako kembali terkejut. "Kenapa Anda memanggil saya dengan nama Anne? Saya bukan Anne!" protes Sayako dengan nada suara yang dibuat sehalus mungkin mengingat kekhawatiran perempuan itu begitu memprihatinkan. "Oh! Anda dengar, dokter Marvin?!" ia memandang dengan tatapan iba pada sang dokter, "tolong sembuhkan dia! Berapa pun akan kami bayar!" "Saya tak bisa menjanjikan apa-apa, nyonya. Saya hanya berusaha semaksimal mungkin. Tolong lainnya segera meninggalkan ruangan ini. Saya ingin melakukan pemeriksaan dasar padanya, hanya sang ibu yang boleh tinggal di ruangan ini." Vester memberikan aba-aba dengan gerakan tangan pada pelayan yang ada untuk segera meninggalkan ruangan. Dan sang ayah yang tampak tak rela meninggalkan ruangan, terpaksa ditarik paksa olehnya. "Baiklah. Saya minta maaf sebelumnya telah lancang menyentuh nona." Itu sangat tidak nyaman bagi Sayako melihat seorang pria dengan julukan seorang dokter mengeluarkan beberapa alat yang sedikit asing dari dalam tasnya, "Mau apa Anda?" pekik Sayako, panik. "Nyonya Barnett?" dokter Marvin memberikan tatapan meminta tolong, stetoskopnya siap untuk beraksi. "Anne! Ibu mohon, biarkan dokter Marvin memeriksamu! Jangan malu! Ada ibu di sini! Beliau bisa dipercaya! Dia adalah dokter keluarga kita!" Sayako yang masih tak bisa menerima kenyataan bahwa sebenarnya telah berpindah dimensi, hanya bisa luluh dan pasrah dengan air mata dan rasa cemas terhadap wajah perempuan yang mengaku sebagai ibunya itu.  Pelan-pelan otaknya mulai mengamati dan menganalisis psikologi dan bahasa tubuh perempuan tersebut, benar-benar spontan! Sungguh aktor yang hebat jika dia sedang ditipu saat ini! "Tolong izinkan saya memegang pergelangan tangan Anda, nona," pinta dokter Marvin dengan raut wajah ragu-ragu, membuyarkan lamunan Sayako. Tatapan menusuk penuh permohonan dan mengiba begitu dalam dari perempuan bergaun ungu di depannya membuat d**a Sayako merasa sesak dan perih, perlahan kedua tangannya diulurkan ke depannya. Dokter Marvin tertawa kecil. "Satu saja, nona Anne." Dokter Marvin meraih tangan kanan Sayako dan memulai pemeriksaan dasarnya detik itu juga. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD