PART-2. WHAT IS YOUR NAME?

1776 Words
PART-2. WHAT IS YOUR NAME? Sesampainya di kamar mandi, Sunday terduduk lesu. Ini adalah hari terburuk ke sekian yang pernah dia alami seumur hidupnya. Ya, saking banyaknya hari sial dalam hidupnya, Sunday sampai tidak bisa menghitung semua itu. Hidupnya memang dipenuhi dengan kesialan yang selalu membuatnya ingin menyerah. Untuk terakhir kali, bolehkah Sunday menyerah kali ini. Dia sudah tidak punya semangat untuk melanjutkan hidupnya lagi. Benar-benar tidak ada yang bisa dia banggakan dalam hidupnya. Tidak ada pula yang harus dia pertahankan. Semua sudah berakhir di sini. “Hei,” terdengar suara dari luar pintu. “Jangan terlalu lama di dalam. Aku juga harus memakai kamar mandinya.” Suara pria itu kembali menyadarkan Sunday bahwa dia tidak bisa berakhir sekarang. Ada seseorang yang telah membantunya. Jika Sunday mengakhiri hidupnya di sini, dia justru akan menjadi beban untuk pria itu. “Aku akan keluar satu jam dari sekarang.” “Apa kau gila? Aku bisa mati kedinginan.” Sunday menghela napas panjang. “Kau bisa memakai bathrobe atau baju seadanya.” “Tidak bisa.” Sahut pria itu lantang. “Aku harus mandi setelah menceburkan diri ke dalam air. Cepatlah! Kalau kau tidak keluar dalam lima belas menit aku akan memaksa membuka pintu ini.” “Sial! Apa dia tidak bisa sedikit bersabar? Apa dia selalu sekasar itu?” Gerutu Sunday sembari melepas kemeja dan celana dalamnya. “Ya aku akan segera keluar.” Awalnya Sunday berniat menangis di bawah pancuran air dari shower. Ia ingin melampiaskan kesedihannya dengan menghabiskan sisa air matanya di sana. Namun berkat pria asing yang bisa disebut dengan penolongnya itu, kini keinginannya untuk berlarut-larut dalam kesedihan mendadak musnah. Butuh sekitar sepuluh menit bagi Sunday untuk membersihkan sisa makeup dari wajahnya. Juga kotoran dari tubuhnya. Sunday memakai bathrobe bersih dari lemari penyimpanan di toilet. Ia memandangi celana dalam dan kemeja yang basah. Harusnya ia memakainya? Dia tidak punya sehelai pakaian pun untuk dipakai malam itu. Namun Sunday juga tidak bisa tidur dengan hanya memakai bathrobe. Dengan berat hati Sunday mengambil celana dalam basahnya lalu mencuci benda itu di wastafel. Sunday memeras celananya dengan sekuat tenaga. Ia lalu menggantungkan celana itu dengan hanger kemudian keluar dari kamar mandi secepatnya. Setibanya di luar, dia melihat pria yang tadi menolongnya sudah berpakaian rapi. Jauh dari kesan berantakan seperti yang ada di benaknya selama beberapa saat terakhir. Sunday memandangi pria itu sejenak. Bagaimana bisa ada pelayan setampan ini? Mungkinkah dia… Sunday menggeleng. Pria itu tidak mungkin orang penting, model atau bahkan selebritas. Sunday tidak pernah melihatnya di media mana pun. Orang-raong yang tidak terekspos media atau yang bekerja sebagai pelayan dan sejenisnya biasanya memang memiliki wajah yang rupawan. “Kau sudah mandi?” “Ya.” “Jadi kenapa kau menyuruhku cepat-cepat kalau kau sudah mandi?” “Aku takut kau menghabiskan selaman di sana. Mungkin saja kau menangis dan memutuskan untuk bunuh diri. Itu bisa menjadi petaka bagiku.” Sunday melirik pria itu dengan tajam. “Kau tahu apa yang kupikirkan. Aku tanpak bodoh di matamu, kan?” Pria itu mengedikkan bahu. “Sedikit.” “Katakan saja terus terang.” “Ada banyak orang sepertimu di dunia ini. Aku pernah mendapat pelatihan bagaimana menghadapi orang-orang sepertimu. Salah satunya dengan tidak membiarkan orang sepertimu sendirian. Itu yang baru saja kulakukan. Sejujurnya, kau tidak tampak bodoh. Itu wajar terjadi.” Entah bagaimana, Sunday kagum dengan kepribadian pria itu. “Kau mandi di mana?” “Toilet umum di dekat sini.” “Oh.” Sunday mengangguk dengan polosnya. “Sudah berapa lama kau bekerja di sini? Karena tempat ini sedang dikosongkan, kau bisa menikmati fasilitas mewah di sini. Betapa beruntungnya hidupmu.” “Majikanku menyewa rumah ini dan aku diperbolehkan memakainya selama dia berlibur.” “Begitu, ya?” “Begitulah.” Sahutnya datar. “Ada baju bersih dan baru di walk in closet. Kau mungkin membutuhkannya. Sudah kupastikan baju itu sudah dicuci. Jadi kau tidak perlu khawatir. Aku tidak tahu apakah pas di tubuhmu atau tidak. Setidaknya kau tidak harus memakai bathrobe sampai besok.” “Kau yakin pakaian itu boleh kupakai?” “Ya.” “Hmmbbb… baiklah.” “Keringkan rambutmu! Kau bisa terkena flu jika rambutmu dibiarkan basah semalaman. Aku tidak mau mengurus orang yang sedang sakit.” Sunday tersenyum penuh kepalsuan. “Tenang, aku tidak akan merepotkanmu. Jadi kau tidak perlu menceramahiku.” Pria itu memiringkan kepalanya. “Kau yakin tidak merepotkanku?” Sunday menghela napas pendek. “Aku akan ganti baju.” “Ya.” ** Brandon memandangi Sunday yang kini berjalan menuju walk in closet. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada wanita itu. Namun dari yang dilihatnya saat pertama kali mereka bertemu, wanita itu mungkin saja sedang dalam kondisi yang tidak baik. Dia mengenakan gaun pengantin seperti seorang mempelai pengantin. Brandon menduga mungkin seharusnya hari ini dia menikah. Namun entah apa yang terjadi, dia justru tersesat di pulau ini bersamanya. Saat wanita itu sedang mandi, Brandong menghubunyi Kale, asisten pribadinya. Kale mengatakan kalau orang-orang masih sibuk membereskan barang-barang milik tamu dan anggota keluarganya sehingga mereka tidak menyadari kalau ada pengunjung yang tidak diundang masuk ke wilayah itu. Untuk berjaga-jaga, Brandon memberi tahu Kale bahwa ada wanita yang diselamatkannya di pantai dan saat ini sedang bersamanya. Tak lupa, ia juga menjelaskan situasi mereka. Bahwa wanita itu menganggap dirinya sebagai ‘pelayan’’. Dia meminta Kale untuk tidak memperlakukannya dengan special saat mereka sedang bersama. Hanya dengan sedikit pengertian, Brandon yakin Kale bisa memahami perkataanya. Terakhir, Brandon meminta Kale untuk mencarikan baju ganti untuk wanita yang bersamanya. Beruntung Moonlight meninggalkan salah satu kopernya. Moonlight memiliki baju baru dan bersih yang bisa dipakai oleh wanita itu. Brandon yakin Moonlight tidak akan keberatan jika bajunya hilang beberapa potong. “Ngomong-ngomong, ini baju siapa?” Tiba-tiba terdengar suara dari pintu. Brandon berbalik dari posisinya. Ia tidak sadar jika selama ini masih berdiri memandangi pintu tempat wanita itu menghilang. “Itu…” “Mungkin pemiliknya memiliki tinggi badan yang sedikit lebih tinggi dariku tapi baju ini kurasa pas denganku.” “Pakailah yang ada! Kau beruntung bisa memakai baju di saat seperti ini.” “Ya… ya… ya… Aku mengerti.” Sunday berhenti tepat di sisi Brandon. “Aku belum berterima kasih padamu. Ngomong-ngomong, terima kasih untuk segalanya. Aku mungkin bisa tersesat jika kau tidak menolongku tadi.” “Sama-sama.” Brandon memandangi pemanpilan wanita itu. Dia memakai sweater berwarna hijau yang dipadukan dengan celana hitam yang sedikit panjang. Warna itu cocok untuknya. Dia bahkan terlihat jauh lebih baik setelah riasan wajahnya yang kacau itu hilang dari sana. Kulitnya jauh lebih bersinar tanpa makeup. “Ngomong-ngomong,” ucap wanita itu yang lagi-lagi mengejutkan Brandon. “Hanya ada satu tempat tidur di sini?” dia terlihat mencari-cari sesuatu. “Kalau begitu aku akan tidur-“ “Kau tidurlah di ranjang. Aku akan tidur di sofa.” “Tidak bisa begitu, aku sudah cukup merepotkanmu-“ “Aku tidak akan membiarkan wanita menderita hanya karena egoku. Menurutlah!” Sunday tersenyum tulus. “Baiklah kalau kau memaksa. Aku akan tidur sekarang.” Bertepatan dengan itu, terdengar suara yang berasal dari perut lawan bicara Brandon. Brandon ikut tersenyum. “Apa kau yakin bisa tidur dengan perut kosong?” Wanita itu hanya mengedikkan bahu. “Mau bagaimana lagi? Besok setelah aku pulang, aku bisa makan di rumah.” Namun Brandon tidak akan membiarkan tamu tak diundangnya kelaparan. Kebetulan dia belum makan malam. Brandon meminta Kale untuk menyiapkan makanan tambahan untuk dirinya dan tamu mereka. “Makanlah denganku. Itu pun jika kau mau.” Dengan wajah ditekuk, wanita itu memandangi perutnya yang rata. “Aku tidak bisa menolak permintaanmu karena aku sangat lapar. Kau mungkin berpikir aku bodoh, tidak tahu diri, tidak punya malu, tidak punya sopan santun tapi begitulah keadaanku sekarang. Aku pasti terlihat sangat menyedihkan di matamu.” “Benar.” Brandon membenarkan. “Maka dari itu aku tidak mau kau terlihat lebih menyedihkan. Kalau kau pingsan karena kelaparan, aku juga pasti tampak bodoh. Maka dari itu, makanlah bersamaku sekarang. Sebelum kau pergi tidur.” Keduanya lalu berjalan menuju meja yang berada di luar ruangan. Udara pantai bisa dirasakan dari tempat mereka duduk untuk makan malam. Wanita itu memeluk sendiri tubuh mungilnya. Helai-helai rambutnya berkibar saat terkena embusan angin. “Kau kedinginan? Mau kupindahkan makanannya ke meja?” “Tidak perlu,” katanya dengan suara tegas. “Sebaiknya kita makan di sini. Setelah makan kita bisa segera masuk. Itu akan lebih efisien.” “Baiklah kalau itu maumu.” Brandon mengambil duduk di kursi yang menghadap ke pantai, diikuti oleh wanita yang kini tengah memandangi langit yang penuh bintang. “Indah sekali.” Gumamnya. Keduanya makan dalam diam. Brandon seolah bisa merasakan kesedihan yang menggelayut di hati wanita yang kini duduk di hadapannya. Dia setengah melamun, setengah hati memasukkan makanan dan mengunyahnya, keduanya tangannya mencekeram alat makan dengan cukup kuat. Meski tidak mengucapkan sepatah kata pun, Brandon tau kalau wanita itu cukup tersiksa. Tak ada yang bisa dilakukannya saat ini. Brandon tidak punya hak untuk bertanya apa yang sebenarnya terjadi padanya. Dia tidak mau ikut campur dalam urusan orang yang bahkan tidak dikenalnya. Sesaat kemudian keduanya telah menyelesaikan makan malam mereka. Wanita itu memandangi Brandon sembari mengucapkan terima kasih. “Jika aku tidak bertemu denganmu hari ini, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku. Sekali lagi, terima kasih banyak.” “Kau mengatakan ini bukan untuk berpamitan padaku, kan? Kau tidak berniat untuk bunuh diri setelah ini?” “Tidak. Aku mengatakannya karena kau memang telah menyelamatkanku. Kau membantuku bahkan saat kau tidak tahu siapa aku. Bisa dibilang, bertemu denganmu adalah keberuntungan yang terbaik yang pernah aku dapatkan.” “Jika harimu melelahkan, setidaknya cobalah untuk makan dengan baik dan memikirkan hal-hal baik yang pernah kau lakukan sebelumnya. Jika kau masih tidak menemukan hal baik itu, cobalah memikirkan hal baik yang mungkin bisa kau lakukan di masa depan jika kau mau bertahan. Percayalah, dunia tidak selamanya gelap. Akan ada cahaya yang menyinari hidupmu dan mungkin aka nada kebahagiaan jika kau mau bertahan dan berusaha.” Wanita di hadapannya tersenyum tulus. “Aku terharu mendengarnya. Terima kasih.” “Jika harimu sulit, jangan makan terlalu banyak. Kau bisa obesitas.” “Aku akan mengingat itu. “Bagus.” “Jika kau butuh penyemangat, panggil aku. Aku akan merangkai kata-kata yang bisa membuatmu lebih baik. Dan jika itu tidak berhasil, aku akan mencarinya di internet.” “Bagaimana aku bisa memanggilmu jika aku saja tidak tahu namamu.” “Ah, iya. Aku lupa. Dimulai darimu. Jadi siapa namamu?” “Sunday.” “Aku akan mengingat namamu mulai sekarang.” “Kau?” “Panggil aku Brandon.” “Brandon.” Selamat berakhir pekan! Semoga kita semua sehat dan bahagia selalu :) with love, Eva ;)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD