Dendam Langit

1000 Words
Richelle menerima uang santunan dari pihak maskapai penerbangan, sebagai ungkapan belangsungka. Tak hanya itu, dana asuransi jiwa mendiang suaminya pun sudah dicairkan. Singkat cerita, ia menerima banyak uang dari kematian suaminya. Kalau dihitung-hitung, tiap lembaran uang itu bisa ia nikmati untuk menghibur diri. Sayangnya itu hanya ilusi semata, karena di hari yang sama di saat Richelle menerima uang tersebut, para penagih hutang pun berdatangan. Siapa yang menyangka jika ternyata pria b******n itu meninggalkan hutang milyaran. Ah, bahkan Richelle sudah mulai menyebut pria itu b******n. Bagaimana tak b******n kalau Ronald tak pernah memberitahu jika ia teryata punya banyak hutang. Kini tiba-tiba Richelle yang ditodong untuk mengembalikannya. Uang santunan ditambah semua dana asuransi jiwa milik Ronald telah ia serahkan, tapi bahkan itu pun belum membayar setengah dari hutang pria b******n itu. Mata Richelle menatap nyalang kepada beberapa pria berbadan besar—debt collector itu—ia pun berdiri, hendak protes setelah ia diberitahu jika ia masih harus membayar lebih banyak. “Kenapa kalian menagihku? Aku tidak tahu apa-apa soal hutangnya.” “Entah Anda tau atau tidak, tapi Anda adalah ahli waris dari Pak Ronald. Buktinya, dana asuransi jiwanya dicairkan atas nama Bu Richelle, begitupun santunan dari maskapai penerbangan, diberikan kepada Bu Richelle. Jadi ….” Pria itu tersenyum mengejek, ia menggantung kalimatnya. “Jadi, Bu Richelle yang harus membayar hutang-hutang Pak Ronald.” Pria lain menyambung. “Saya tidak memiliki uang lagi.” Tiga pria itu tertawa bersamaan. Ketiganya sontak melihat ke sekeliling rumah megah peninggalan kedua orang tua Richelle. Bahkan kata megah tak cukup untuk mendeskripsikan bagaimana wujud rumah itu, bak istana rumah itu. Dan tentulah para penagih hutang itu tak akan percaya jika seorang Richelle yang tinggal di rumah sebesar dan semewah itu tak lagi memiliki uang. “Apa yang kalian tertawakan?” “Kebohongan Anda.” “Dengan rumah seperti istana begini, mana mungkin Anda tidak memiliki uang.” “Ini bukan rumah saya. Ini rumah orang tua saya.” “Setahu kami, orang tua Anda sudah meninggal puluhan tahun yang lalu, bukankah rumah ini diwariskan untuk Anda?” Salah seorang pria melangkah mendekat, membuat Richelle bergerak mundur sebagai bentuk pertahanan dirinya. Wanita itu melirik ke samping, merasa bingung untuk sesaat, sejak kapan rumahnya ini mulai terasa sepi. Biasanya banyak pengawal yang berjaga. Tapi, kok hari ini atau ia yang baru sadar kalau para pengawal-pengawal yang dulu sering ia rutuki karena terlalu membatasi geraknya mulai tak terlihat lagi. Ke mana Om Ferdinand, kenapa ia membiarkanku sendiri? Richelle bertanya-tanya dalam benaknya. Biasanya pria itu selalu paling heboh kalau soal penjagaan Richelle. Selalu harus memastikan jika Richelle akan baik-baik saja. Tunggu, kapan terakhir kali aku melihat Om Ferdinand? “Biar kami beri saran,” ucap pria yang sudah berdiri tepat di depan Richelle. Wajahnya tampak maju, membuat Richelle lagi-lagi mundur. “Begini saja, kalau benar Anda sudah tak punya uang lagi, jual saja rumah ini.” Rumahnya dijual? Rumah itu adalah satu-satunya saksi atau kenangan yang tertinggal tentang kedua orang tuanya. Hanya dua tahun ia tinggal bersama orang tuanya di rumah itu sebelum keduanya meninggalkan Richelle untuk selamanya. “Jangan seenaknya, ini rumah orang tua saya!” teriak Richelle. “Rumah ini tidak akan pernah saya jual.” “Oh, santai saja Bu Richelle. Tak perlu teriak-teriak. Kami hanya memberi saran. Kalau sarannya tak diterima tak masalah. Yang kami inginkan hanyalah uang kami kembali.” “Benar,” pria lain menambahkan. “Tidak penting apa yang Bu Richelle jual, selama hutang-hutang dari mendiang suami Anda terbayar lunas beserta bunganya.” Di atas meja telah diletakkan rincian hutang beserta bunga yang harus dibayarkan oleh Richelle. Kepalanya berdenyut cepat melihat deretan angka itu. Kenapa banyak sekali? “Sejak kapan Ronald meminjam uang dari kalian?” “Ini kontrak perjanjian hutang piutang antara Pak Ronald dengan bos kami. Di sini ada tanggal dan jumlah awal dari pinjamannya.” Sebuah map diletakkan tepat di samping rincian jumlah hutang Ronald. “Sejak 2013?” “Benar, sudah 9 tahun lebih.” Richelle memijat kepalanya, bagaimana mungkin ia tak tahu apa-apa. Melihat Richelle mulai frustasi, ketiga pria itu saling pandang sesaat sebelum mereka menganggukkan kepala tanda telah menyepakati sesuatu. “Walau belum seluruhnya, setidaknya kami sudah mendapatkan sesuatu untuk diserahkan kepada bos kami.” “Kami akan kembali lagi untuk uang-uang berikutnya,” ucap pria paling besar di antara yang lain. Ada senyum miring setelah ucapannya. “Kami akan membiarkan Bu Richelle menenangkan diri dulu, bagaimanapun kami juga mengerti kalau Bu Richelle masih berduka.” Richelle mengangkat kepalanya, bertemu tatap dengan pria itu. “Kami adalah debt collector yang manusiawi, Bu,” ujarnya dengan menyunggingkan senyum. Bukan menunjukkan seberapa ramah ia, hanya senyum ejekan. “Kami akan meninggalkan salinan kontrak hutang piutang Pak Ronald di sini, mungkin Bu Richelle butuh untuk mempelajarinya.” “Ah, kami juga akan mengirimkan rincian pembayaran yang baru setelah dipotong dengan pembayaran hari ini,” ucap yang lain. “Kami adalah debt collector yang jujur, Bu,” tambahnya dengan seringaian kecil. “Cukup untuk hari ini, sampai jumpa lagi, Wassalamualaikum.” Richelle bahkan melongo. Mana ada debt collector memberi salam? “Kaget ya, Bu?” tanya pria yang habis mengucap salam sebelum pergi itu. “Meskipun kami debt collector, tapi kami orang Islam juga, Bu. Bu Richelle orang Islam juga, ‘kan?” “I-iya,” jawab Richelle tergagap antara bingung sekaligus masih shock dengan keberadaan debt collector yang katanya manusiawi, jujur, dan beragama Islam di rumahnya. “Waalaikumsalam.” Nikah baru sebulan, ditinggal mati. Rupanya tak hanya ditinggal mati, ternyata ditinggalkan dengan hutang belasan Milyaran. b******n sekali pria itu. Richelle menghempaskan tubuh di atas kasur di kamarnya. Foto-foto pernikahannya dengan Ronald terpanjang dengan kokoh di dinding kamar. Mempertontonkan kembali bagaimana bahagianya Richelle di hari pernikahannya. Kalau sekarang? “b******n, kau harus hidup kembali, bukan untukku, tapi untuk membayar hutang-hutangmu. Setelah itu, terserah kau, mau mati lagi atau tetap hidup, terserah!” Dalam kelamnya langit yang menghitam, kupikir sudah cukup dengan merenggutmu. Rupanya langit masih menaruh dendam padaku, ia membawamu pergi lantas menyeretku dalam badai. Mengepungku agar tak bisa membebaskan diri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD