Melihat Langit Lagi?

1756 Words
Karena sudah baikan, pada akhirnya Haikal mengantar Richelle juga ke tempat kerja, ke rumah orang nomor satu Ellison Corp. Tak hanya Haikal dan Billy, karena Daniel dan Radit juga ikut mengantar. Mereka tiba dengan limousine milik Billy. Pria itu paling suka pamer. Tak ingin membuat Orang nomor satu Ellison Corp. itu jadi semena-mena. Ingin ia tunjukkan kepadanya, bahwa meskipun mereka masih muda, tapi mereka tak dapat dipandang enteng. Billy, dengan kekuasaannya di kepolisian. Haikal, dengan kekuasaanya di kejaksaan dan bidang hukum. Daniel, dengan kekuasannya di salah satu rumah sakit paling besar di kota tersebut. Dan Radit, dengan kekuasaannya di dunia entertainment. Cobalah bikin masalah, pasukan artis Radit beserta para penggemarnya bisa dipastikan akan turun tangan dan menggemparkan media sosial. Empat pria itu turun lebih dulu, sebelum tuan putri Richelle dipersilakan untuk ikut turun. “Besar juga rumahnya,” ucap Radit dengan pandangan matanya yang mengelilingi area perumahan elit itu. “Tapi, kok aku gak pernah denger soal Ellison Corporation ini sampai masalah ini terjadi. Setelah aku selidiki ternyata mereka memiliki perusahaan besar di Indonesia, Asia, bahkan sampai Eropa. Pemiliknya bahkan tak terkenal. Tak ada pemberitaan media yang meliputnya.” “Mungkin karena mereka melakukan jenis usaha yang ilegal,” jawab Billy. “Hutang piutang ilegal dengan bunganya yang selangit contohnya. Mungkin itulah yang membuat mereka kaya tapi dari hasil yang tidak sah secara hukum.” “Kalau begitu kenapa tidak kau penjarakan saja mereka, dan Richelle bebas.” “Jangan berpikir seperti anak kecil, Dit,” balas Haikal. “Kau pikir perusahaan sebesar itu tak punya backingan? Pasti backingannya di mana-mana, menteri bahkan bisa saja sampai istana negara.” “Sudahlah, ayo kita masuk,” ajak Richelle. Berlagak seolah ia adalah pemilik rumah megah itu. seolah mengajak tamu-tamunya untuk segera memasuki rumahnya, untuk ia tunjukkan seberapa megah rumah miliknya. “Berhentilah berlagak kuat, Syel. Aku tau kamu ketar-ketir ketakutan,” timpal Radit. “Setidaknya saat aku berpura-pura kuat begini, berupura-puralah tidak tahu.” Dua orang pria berjas menghampiri lima orang itu. Mereka tersenyum ramah, menyambut dengan tangan terbuka. Sangat berbeda dari apa yang dibayangkan oleh Richelle dan teman-temannya. Richelle kira ia akan diperlakukan sewenang-wenang karena datang untuk bekerja. Rupanya disambut layaknya tamu agung. Mungkin hanya kurang karpet merah untuk menyambut mereka. Begitu masuk ke rumah itu, mereka langsung menemukan pelayan dan beberapa pengawal yang sontak membungkuk tiap kali mereka melewatinya. “Sopan sekali orang-orang yang bekerja di sini.” Radit berbisik yang langsung disikut oleh Daniel, mengode agar ia tak usah berkomentar apapun. Tak enak kalau kedengaran, walau bisikannya itu adalah sebuah pujian. “Silakan menunggu di sini.” Pria yang berkaca mata itu menyilakan sambil menunjuk sofa-sofa yang tampak begitu nyaman. “Silakan duduk, Tuan kami akan turun sebentar lagi.” “Iya, terima kasih,” jawab Haikal dengan sopan. Karena disuruh duduk, makanya mereka pun duduk. Dan begitu mereka duduk, para pelayan silih berganti menyajikan minuman dan makanan. Luar biasa cara mereka menyambut. “Mereka tidak salah menyambut orang, ‘kan?” tanya Radit. “Kok berasa kita seperti tamu dari kerajaan mana gitu.” “Apa gara-gara kita naik limousine ke sini?” Billy berasumsi. “Makanya mereka memperlakukan kita layaknya orang penting.” Asumsi-asumsi mereka terhenti saat lima pasang mata itu dengan kompak menatap arah yang sama. Ke arah tangga utama di tengah-tengah ruangan. Satu persatu pengawal turun, menandakan jika sang pemilik rumah akan segera muncul di belakangnya. “Di rumah aja dikawal belasan orang,” bisik Radit. “Sshh, diem, Dit.” Haikal memperingatkan. Mereka berlima telah berdiri, siap untuk melihat pria yang akan menjadi bos Richelle. Di kepala mereka dipenuhi bayangan tentang pria tua yang mengerikan, yang sudah ubanan, yang perutnya membuncit karena kebanyakan makan uang haram, mungkin dengan tongkat di salah satu tangannya, serta tatapan matanya yang akan memangsa para wanita-wanita muda seperti Richelle. Ah, menakutkan. Satu persatu pengawal yang kini sudah berada di lantai dasar langsung mengambil posisi masing-masing, berbaris rapi dan berhadap-hadapan. Bahkan dua pria yang tadi menyambut kedatangan Richelle and the genk pun ikut berbaris rapi. Lima orang itu mencondongkan badan ke depan, untuk melihat bagaimana wujud pria yang akan menjadi bos Richelle itu. Mereka tak sabar untuk melihatnya. Ujung kakinya yang terbalut sepatu hitam mengkilap mulai terlihat. Ada yang kurang, tak ada tongkat seperti yang Richelle bayangkan. Berarti lebih muda dari yang kuperkirakan. Kakinya panjang, terbalut celana berbahan kain yang tersetrika dengan licin sudah mulai tampak. Tunggu dulu, kakinya panjang dan tak gemuk. Satu lagi perkiraan Richelle yang meleset. Langkah kakinya cepat dan lincah. Meleset lagi perkiraan Richelle. Jika ia masih selincah itu, artinya masih muda. Bukannya pria tua yang sudah bau tanah. Tubuh bagian atasnya mulai nampak dalam balutan jas dan kemeja berwarna putih sebagai lapisannya. Tunggu, kok badannya bagus? Perutnya kok kelihatan rata? Kok, dia tidak buncit. Cepat-cepat mata Richelle bergerak naik untuk melihat wajahnya. Dan … mengecewakan. “Mukanya kok kelihatan ramah yah, liat tuh dia senyum. Kok masih muda? Aku kira udah tua.” Terdengar bisikan lain dari mulut Radit. Benar-benar meleset semua yang mereka perkirakan. Tak ada pria tua, yang muncul justru masih muda. Mungkin masih seusia dengan Daniel, Billy, Haikal, dan Radit. Mungkin sekitaran awal tiga puluhan. Tak ada pria dengan tatapan mata m***m atau menakutkan, sebaliknya justru tatapan matanya teduh sekali. Senyumnya terbingkai indah. Sekali lihat langsung ketahuan jika pria itu adalah pria yang ramah. Sangat jelas dari senyum lebarnya itu. “Syel, mulutnya gak usah mangap gitu dong. Aku tau dia cakep,” ledek Daniel. Nah, itulah yang mengecewakan. Karena seluruh bayangan Richelle adalah pria tua yang jelek dan menakutkan. Tapi, yang muncul adalah yang tampan dan menawan. Kan jadi senang dia bisa bekerja di sana. Padahal sudah overthinking sepanjang malam memikirkan nasibnya bekerja pada pria tua yang menakutkan. Kalau bosnya begini sih, Richelle tak keberatan. “Richelle Alverina Abrisam,” panggil Radit seraya menaruh tangannya di bibir Richelle. “Mingkem, gak usah mangap-mangap gitu. Inget status kamu, kamu masih dalam masa iddah tau, kamu juga lagi hamil sekarang,” bisik pria itu. Richelle menepis tangan Radit. “Emangnya aku kenapa?” Haikal bahkan melongokkan kepala untuk memastikan sendiri bagaimana ekspresi Richelle. Untuk melihat dengan jelas bagaimana binar yang tampak dari kedua bola mata Richelle. “Sesenang itu liat cowok ganteng? Kayak gak pernah liat cowok ganteng aja.” Haikal menyindir, mungkin cemburu. “Dia bisa aja udah punya istri.” “Emangnya aku ke sini buat nyari suami? Aku ke sini cuma mau bayar hutang,” balas Richelle. “Baguslah kalo kamu masih inget tujuanmu,” bisik Haikal lagi. Pria nomor satu Ellison Corp. itu mendatangi tamu-tamunya, senyumnya belum juga terhenti. Ia masih menunjukkan keramahannya. “Selamat pagi,” ujarnya dengan suara baritone miliknya. Suaranya terdengar berat tapi nyaman di telinga Richelle. “Selamat pagi,” balas tamu-tamunya secara serempak, tak terkecuali Richelle. “Saya Manggala.” Pria itu memperkenalkan diri. “Manggala Alfio Ellison.” Pria itu mengulurkan tangannya, ia jabat satu persatu tamu-tamunya yang juga menyebut nama mereka masing-masing. Richelle adalah orang terakhir yang ia jabat tangannya. “Richelle.” “Ah, Ibu Richelle. Selamat datang, semoga Anda nyaman bekerja di sini.” “Iya, terima kasih, Pak Manggala.” “Silakan duduk, silakan menikmati makanan dan minumannya. Semoga sesuai dengan selera kalian.” Kini Manggala dan tamu-tamunya duduk berhadap-hadapan. Terlihat jelas jika tamu-tamunya agak canggung, terutama Billy yang merasa sangat tak nyaman dengan seragam kepolisian yang ia kenakan. Harusnya ia tak mendengar saran Haikal semalam. Karena ingin pamer bahwa ia punya jabatan, beginilah jadinya, kikuk sendiri. “Maaf, Pak Manggala, kalau kami boleh tahu, pekerjaan seperti apa yang akan dilakukan oleh Richelle di rumah Bapak?” Haikal memulai. “Sepertinya pegawai dari kantor saya tidak sempat menjelaskannya, mohon dimaafkan jika hal itu membuat kalian bingung.” Lihatlah cara bicaranya, kenapa pria itu sopan sekali? “Begini, terkait pekerjaan Ibu Richelle, saya dengar jika Ibu Richelle sebelumnya berprofesi sebagai pramugari.” “Benar, Pak,” jawab Richelle. “Kebetulan saya punya pesawat pribadi, posisi pramugarinya sedang kosong, jadi Ibu Richelle yang akan menjadi pramugari di pesawat tersebut.” Richelle tersenyum bangga, ia lirik satu persatu pria-pria yang sudah berpikiran negatif itu. Seolah dari matanya ia tengah mengatakan, Dengar, ‘kan? Kali ini aku tidak melakukan sesuatu yang bodoh. “Kalau boleh kami perjelas, jadi Richelle hanya akan masuk kerja jika pesawat Pak Manggala memiliki jadwal terbang?” tanya Haikal lagi. Manggala menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. “Sayangnya tidak, Pak Haikal. Ibu Richelle harus stand by di sini. Sesuai kontrak yang sudah ditandatangani, Ibu Richelle akan tetap berada di rumah ini seperti pegawai-pegawai saya yang lain dengan atau tanpa jadwal penerbangan.” “Berarti Richelle tidak diperbolehkan pulang sama sekali?” Kali ini Daniel yang bertanya. “Boleh, tapi tentunya dengan prosedur perizinan. Semua yang bekerja di sini juga seperti itu.” “Maaf, Pak Manggala, mungkin kami harus menginformasikan ini. Tapi, kondisi Richelle saat ini sedang mengandung. Usia kehamilannya memasuki pekan kelima.” Daniel memberitahu. “Terima kasih atas informasinya, dokter Daniel. Kami memiliki dokter di sini, jadi Ibu Richelle akan diperiksa secara teratur selama bekerja. Setiap kali akan terbang, dokter kami juga akan melakukan pemeriksaan. Saya pastikan ke kalian kalau setiap pegawai saya, terutama yang bekerja langsung dengan saya dan yang tinggal di rumah ini, kesehatannya akan kami jaga. Rumah ini dilengkapi dengan ruang kesehatan dan beberapa dokter beserta tenaga medis pendamping stand by di sini.” Wah, kaya sekali orang ini. Richelle berucap dalam hati. Kupikir kami-kamilah orang paling kaya di negeri ini, ternyata masih kalah jauh dari Pak Manggala. Mana orangnya murah senyum. Eh, loh … kenapa kalau dia murah senyum? “Apa masih ada yang mau ditanyakan?” tanya pria itu sambil melirik jam tangannya. Sepertinya sudah punya kegiatan lain untuk ia lakukan. “Kalau pun masih ada yang ingin ditanyakan, kalian bisa membicarakannya lebih lanjut dengan asisten saya.” Pria itu menolehkan kepalanya ke belakang. “Miss Yonna,” panggilnya dan wanita bernama Miss Yonna itu mendekat. “Tolong bantu mereka dan arahkan Bu Richelle mengenai pekerjaannya di sini.” “Baik, Pak.” “Saya mohon maaf, saya tidak bisa menjamu kalian lebih lama lagi, saya memiliki janji di luar rumah. Mohon maafkan saya.” “Tidak masalah, Pak,” jawab Richelle seraya ikut berdiri karena Manggala akan segera meninggalkan rumah tersebut ke tempat aktivitasnya selanjutnya. Pria itu menyalami kembali tamu-tamunya lalu berpamitan pergi. Benar-benar sopan. Seseorang, orang asing mengajakku untuk melihat langit lagi setelah aku dihancurkan oleh badai atas langit yang kupilih. Aku takut, tapi bahkan apakah aku punya hak untuk takut. Rupanya ini bukan ajakan, tapi kewajiban yang harus kutunaikan. Masih bisakah aku melihat langit lagi?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD