Episode 2

1682 Words
Baru saja duduk di kursiku, tiba-tiba ponselku berdering. George. Pacarku, ah bukan, mantan pacarku. Si b******k pengkhianat yang namanya sudah kuhapus dalam hidupku. Kutekan ‘menolak panggilan’. Sesaat kemudian ada panggilan lagi darinya. Kembali kutolak panggilan telepon tersebut, lalu segera ku-silent teleponku.  Kali berikutnya dia mengirimkan pesan. “Daphne, kita harus bicara. Kemarin tidak seperti yang kamu kira.” Berikutnya ada telepon dari Josie juga. Kutolak juga panggilan telepon itu. Josie terus menelepon berulang-ulang. Karena aku tidak kunjung mengangkat teleponnya, dia akhirnya mengirimkan sms berturut-turut. Sampai akhirnya satu sms-nya membuatku mual. “Aku hamil, Daphne. George ayahnya. Kami sudah berhubungan dari sejak 2 tahun lalu, tapi George tidak mau memutuskanmu. Kali ini aku hamil, dia harus memutuskanmu dan menikahiku.” Kumatikan ponselku. Pikiranku kalut. Dua tahun lalu? Jadi selama itu George menduakanku dengan Josie? Memang dari awal kami pacaran, George sering memintaku untuk melakukan itu. Kau tahu? Berhubungan badan. Kutolak. Berkali-kali, karena aku menganut prinsip untuk tidak melakukannya sebelum menikah. Pada akhir tahun pertama kami berpacaran, aku menemukan bukti bahwa George membayar seorang p*****r untuk berhubungan seks. Ketika kukonfrontasi, George malah menyalahkanku karena tidak mau melakukannya. Akhirnya karena merasa bersalah, kumaafkan dia, tapi tetap tidak mau berhubungan seks dengannya.  Sejak itu, George memperlakukanku dengan lebih baik, termasuk mau berteman baik dengan Josie yang awalnya tidak berteman dengan George. Anehnya dia berhenti memintaku untuk berhubungan seks. Kupikir dia sudah sadar. Siapa yang sangka bahwa George dan Josie bukan hanya berteman, tapi lebih dari itu. Terlebih Josie sampai hamil. Dua tahun merahasiakan perselingkuhan ini, kenapa mereka begitu tega?  Memang sempat ada saat-saat aku mempertanyakan diri. Apakah memang aku sudah yakin untuk menikah dengan George? Apakah aku siap menghadapi kemungkinan George ‘jajan’ lagi? Yah, hal yang k****a dan juga dari cerita beberapa orang rekan kerjaku, pernikahan tidaklah mengubah seseorang. Jadi karena sebelumnya George pernah melakukan ‘itu’, tidak menutup kemungkinan dia bisa melakukannya lagi sesudah menikah.  Pukul sepuluh, Jack mengetuk pintu ruanganku, lalu masuk. “Kau baik-baik saja, Daphne?” Aku mengangguk. “Iya, kenapa, Bos?” “Dari tadi kukirim sms tidak ada balasan. Kalau kau mau cuti dua setengah hari, ambil saja. Istirahat dan kembali ke kantor hari Kamis saat pikiranmu lebih tenang.” Aku menghela napas panjang. “Akan kupikirkan. Kalau sesudah makan siang pikiranku masih tidak menentu, aku akan memberitahumu untuk mengambil cuti sisa hari ini dan dua hari ke depan. Terima kasih, Jack.” Beberapa saat aku terdiam, lalu kutatap dia dengan penasaran. “Hmm...., mungkin ini bukan urusanku, tapi apa kau pernah mengalami dikhianati juga?” Jack duduk di kursi di depanku, lalu menatapku beberapa saat. “Yah, begitulah. Cerita 7 tahun lalu, saat aku masih muda dan bodoh.” “Kau tidak bodoh dan sekarang pun kau masih muda, Jack,” tukasku sambil tersenyum. Dia ikut tersenyum. “Yah, kau tahu maksudku. Hal yang kita alami sama persis. Tunanganku saat itu berselingkuh dengan sahabatku sendiri. Padahal sahabatku juga adalah salah seorang penanam modal di perusahaan ini. Kau pasti bisa membayangkan betapa runyamnya masalah itu.” Aku tertegun. “Siapa? Apa aku tahu orangnya? Lalu bagaimana kau mengatasi masalah di perusahaan?” Jack menggeleng. “Tidak, kau tidak tahu orangnya karena dia sudah hengkang jauh sebelum kau bekerja di sini. Aku sudah membeli mayoritas sahamnya sebulan sebelumnya waktu mulai mencurigai adanya hal yang tidak beres. Bukan perselingkuhan, tapi hal lain dalam perusahaan. Begitu menangkap basah mereka, hari itu juga kubeli habis sahamnya. Jadi setidaknya aku dapat dengan mudah menendangnya dari perusahaan.” “Begitu ternyata. Apa… apa itu juga alasannya kau tidak pernah berkencan, Jack?” Begitu sadar yang kuucapkan, segera kututup mulutku dengan tangan kananku. “Ma-maaf, bukan urusanku. Tidak usah menjawab kalau tidak mau.” “Tidak apa-apa. Itu bukan rahasia. Terlebih kau sudah bekerja untukku lima tahun. Salah satunya itu, tapi memang aku juga belum menemukan orang yang membuatku tertarik.” Jack terdiam sejenak. “Yah, mungkin tak lama lagi akan terdengar kabar mengenai kencanku.” “Oh, ya? Apa aku tahu orangnya?” Sebelum Jack menjawab, aku sudah memberondongnya dengan tebakanku. “Eksekutif dari kantor sebelah? Atau aktris cantik yang pernah bertemu denganmu di acara Broadway tahun lalu? Atau malah orang dari kantor kita?” Segera aku mengingat-ingat siapa saja kemungkinan calon yang potensial sebagai pasangan kencan bosku. Jack hanya tersenyum tipis. “Kau tahu orangnya. Bukan eksekutif dari kantor sebelah atau aktris. Ya, staf di kantor kita.” “Jennifer dari bagian perizinan, atau Edwinna dari bagian PR? Tunggu, ah, atau Emmanuela bagian marketing?” “Tebak terus,” sahut Jack sambil tersenyum-senyum, tampak menikmati sekali tebak nama ini. “Hei, ada yang benar atau tidak? Jangan-jangan nanti sesudah kusebut nama semua wanita lajang di kantor ini, ternyata malah salah satu dari tiga nama ini yang benar.” “Tidak ada dari tiga nama itu,” jawab Jack cepat. “Masa, sih? Mereka bertiga sangat cantik, terlebih Emmanuela sangat eksotis. Masa bukan mereka?” Emmanuela itu pekerja yang baru tiga bulan ini masuk jadi staf di kantor kami. Kabarnya dia berprofesi sebagai model sebelumnya. Jadi jelas dia sangat menarik, baik wajah maupun bentuk tubuhnya. Emmanuela juga beberapa kali terlihat seperti menggoda Jack, walau Jack sepertinya tidak pernah menanggapinya. “Wanita yang mau kukencani juga sangat cantik. Dia pekerja keras, rajin, dan tahan banting. Tidak pernah mengeluh walau diberi tugas banyak. Jadi kualitas dirinya memang luar biasa.” Pikiranku kembali menebak-nebak. Sangat cantik, pekerja keras, rajin, dan tahan banting, tidak pernah mengeluh. Siapa? Di kantor ini aku tidak terlalu dekat dengan staf wanita yang cocok dengan kualitas yang disebutkan bosku tadi. “Apa orang dari konsultan keuangan? Atau apa mungkin orang yang diperbantukan untuk mengurus perizinan?” Jack terkekeh. “Tebak terus.” Kusugar rambutku lalu kuikat ke belakang membentuk sanggul sambil berpikir. “Selain itu, apa ciri-ciri lain yang lebih bisa kukenali?” “Kalau sudah kuberi tahu, nanti tidak seru lagi,” sahut Jack sambil menatapku dalam-dalam. “Ayolah, sedikit saja.” “Apa imbalannya?” “Imbalan? Kenapa harus imbalan?” Bosku malah terbahak. “Dalam setiap permainan, kalau di satu babak mengalami kebuntuan, untuk setiap pertolongan yang diberikan selalu harus dibayar sesuatu.” “Kita sedang bermain?” Jack kembali terbahak. Diulurkannya tangannya, memasukkan helaian rambut pirangku yang tidak terbawa untuk kuikat tadi ke belakang telingaku.  Sentuhan jarinya menyentakkanku. Bisa dibilang ini kontak fisik kami yang paling intim selama lima tahun aku bekerja untuknya. “Jack?” Kutatap dia dengan heran.  Dia tersenyum kecil. “Wanita itu bermata abu-abu kebiruan. Itu saja petunjuk yang bisa kuberikan.” Aku tertegun. Bermata abu-abu kebiruan? Aku juga begitu. Masalah pekerja keras dan rajin, mungkin aku bisa dikategorikan begitu. Tahan banting? Tidak pernah mengeluh? Itu juga sepertinya cocok dengan diriku. Sangat cantik? Nah, yang ini tidak. Jadi sudah pasti bukan aku. Lalu siapa? “Aku masih tidak bisa menemukan calon kencanmu. Baiklah, akan kutunggu sampai waktunya kalian berkencan.” Tepat saat itu, waktu menunjukkan tengah hari. “Waktunya makan siang. Mau makan di kantor atau di luar, Bos?” “Di luar saja. Ayo ikut.”  “Baiklah. Di mana? Kalau mahal, kau yang traktir,” jawabku cepat. Jack tertawa. “Tidak masalah. Ayo!”  Segera aku mengambil ponsel dan dompetku. Kumasukkan ke tasku, lalu dengan langkah cepat kuikuti Jack yang sudah menungguku. Dia membukakan pintu untukku, lalu menawarkan tangannya untuk kugamit. Lagi-lagi aku tertegun. Kami sudah sering makan siang bersama, juga beberapa kali makan malam, tapi tidak pernah sekali pun Jack menawarkan tangannya untuk kugandeng. Walaupun begitu, tetap kuterima tangannya. Bisa saja dia bersimpati padaku karena mengalami hal yang persis seperti yang dialaminya dulu. Ya, sepertinya itu penjelasan yang masuk akal.  Kami turun dari lantai sepuluh ke tempat parkir. Begitu sampai di samping mobilnya, Porsche Panamera berwarna perak, Jack membukakan pintu mobil untukku. Sesuatu yang lagi-lagi baru pertama kali dilakukannya dalam lima tahun. Begitu duduk, segera kupakai sabuk pengaman. “Kita mau ke mana?” “Nanti juga kau akan tahu,” jawabnya singkat. Hanya sekitar 4 menit saja perjalanan, kami sampai di Central Park. “Apa kita akan menonton gerhana matahari?” tebakku dengan bersemangat.  Jack tersenyum lebar sambil menatapku. “Ya, benar. Kulihat kau mencari tahu info tentang hal itu sebelumnya. Jadi ide bagus bukan kita makan siang sambil menonton gerhana matahari?” “Sangat!” jawabku sambil bertepuk tangan. “Ayo, Jack! Jangan sampai kita melewatkan momen yang bersejarah ini.” Jack segera memarkirkan mobilnya, lalu lagi-lagi dengan cepat membukakan pintu mobil dan menggandeng tanganku. Ternyata Jack sudah memesan tempat piknik untuk kami di sana. Hamparan kain tebal seperti selimut di atas tanah dekat sebuah danau, dilengkapi dengan beberapa bantal. Tampak nyaman sekali sebagai lokasi untuk piknik, sekaligus untuk menyaksikan gerhana matahari. Selain itu tersedia keju, berbagai jenis daging, roti baguette yang sepertinya baru saja dipanggang, buah-buahan (apel, blackberry, strawberry), buah zaitun yang sudah direndam dengan minyak zaitun, cuka, dan berbagai bahan lainnya, selai, cupcake, choco chips cookie, sebungkus keripik kentang, dua botol air minum, dan dua gelas air jeruk. Juga tersedia peralatan makan seperti sendok, garpu, dan pisau, tak lupa piring untuk makan. Benar-benar lengkap! “Reservasi atas nama Jack Peterson,” kata Jack kepada salah seorang waiter yang menunggu di situ. “Silakan dinikmati, Pak. Pukul dua kami akan kembali untuk membereskan perlengkapan pikniknya, kecuali kalau Bapak mau menambah waktunya?” Jack menatapku. Aku menggeleng. Lalu dia menggeleng ke arah waiter yang bertanya tadi. “Tidak usah, dua jam cukup. Terima kasih.” Sesudah itu, Jack memberikan uang tip kepada dua orang waiter yang menunggui tempat piknik kami. Sesudah berterima kasih, kedua waiter itu pergi. Begitu duduk di atas selimut piknik, aku menatap makanan dan minuman yang ada, lalu ke arah bosku. “Jack, kenapa kau mempersiapkan piknik sehebat ini? Dari kapan? Padahal hari ini aku melakukan kesalahan fatal,” kataku sambil menutup wajahku dengan kedua tanganku.  “Karena hari ini tepat 5 tahun kau bekerja untukku. Sudah dari seminggu lalu aku mereservasi tempat piknik dan semua pesanan untuk piknik hari ini.” Sesudah itu, Jack meraih tanganku, lalu menepuk punggung tanganku dengan lembut. “Kesalahan hari ini pertama kali kau lakukan. Semoga yang terakhir kalinya, mengingat kau sudah putus dari pacarmu yang b******n itu. Sudahlah, kau sudah minta maaf tadi pagi, juga dokumennya sudah dikirim. Ayo kita makan dan nikmati siang ini.” Jack kemudian meraih kotak kecil yang ada di atas selimut piknik. “Lihat ini?” Aku memperhatikan kotak itu beberapa saat sambil mengernyit. Sesudah beberapa saat, tiba-tiba terpikir.  “Kacamata untuk melihat gerhana matahari?” “Tepat sekali!” Dibukanya kotak itu. Isinya sepasang kacamata hitam. “Wah, Jack, kau mewujudkan impianku menjadi kenyataan. Terima kasih!” Jack segera mengambil gelas air jeruk, lalu memberikan satu gelas lagi ke arahku. “Ayo bersulang untuk asisten pribadi terbaik di Manhattan, bahkan di Amerika!” Dengan tersipu, aku mendentingkan gelas ke gelasnya, lalu meminum air jeruk. “Itu terlalu berlebihan, tapi terima kasih.” “Tidak berlebihan, Daphne. Kau tahu? Sebelum ada kau, aku sudah berganti asisten pribadi sebelas kali. Baru kau yang tahan menghadapiku selama lima tahun. Itu sebabnya kau pantas untuk mendapat penghargaan ini.” Wajahku pasti semakin merona. “Terima kasih, Jack.” “Ayo kita mulai makan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD