Jam menunjukkan pukul setengah dua siang dan Orland sama sekali belum menunjukkan batang hidungnya. Padahal, pukul dua lebih lima belas nanti pria itu harus masuk kelas untuk mengajar.
Laurel tidak mungkin khawatir bila Orland bisa dihubungi. Namun sejak tadi pagi, pria itu tidak ada kabar dan cukup membuatnya berpikir.
"Dimana dia?", gumam Laurel. Ia mengirimkan kembali pesan pada Orland tapi masih belum ada tanggapan.
Bukan seperti Orland yang biasanya mendadak menghilang seperti ini. Pria itu jelas tidak mungkin membiarkannya menikmati kebebasan barang hanya lima menit. Pasti ada yang tidak beres.
Sebelum mencoba mencari keberadaan Orland. Laurel sebagai asisten dosen pria itu mau tidak mau harus memberikan materi setidaknya tugas. Ia tidak mau dirinya maupun Orland terkena masalah karena mangkir dari tugas. Ya meskipun hal buruk di pikirannya tidak mungkin terjadi. Toh Orland adalah pemilik kampus ini. Jadi, siapa yang berani melawan?
"Laurel! Mau kemana?", tanya Helen ketika tak sengaja sisipan dengan Laurel baru saja keluar dari dalam kelas.
"Pulang.", jawab Laurel cepat.
"Pulang?", Helen mencoba melihat kedalam kelas. "Bukankah seharusnya kalian ada kelas?",
Laurel mengangguk. "Sudah selesai.",
"That so fast...",
"Orland tidak masuk dan tidak memberitahuku. Jadi, aku hanya memberi mereka tugas.",
"Dan sekarang kau mau pulang?", pancing Helen.
"Tidak aku akan mencarinya.", Laurel yang tadinya mencari kunci mobil kini tersadar akan maksud pertanyaan Helen. Ia mendongak, menatap malas kearah sahabatnya yang kini tersenyum lebar. "Kau memulainya lagi.",
Helen terkekeh. "Kau khawatir dengannya?",
"Tidak.", elak Laurel.
"Jangan berbohong.", pancing Helen lagi.
Laurel menghela napasnya. "Sekarang kalau aku khawatirpun apa salah?",
"Tidak ada yang salah.", Helen menyeringai. "Kalau begitu aku duluan. Good luck!", pamitnya sambil mengedipkan sebelah mata.
...
Beruntung Laurel mengetahui kata sandi penthouse Orland. Jadi ia bisa menerobos masuk.
Memang terlihat tidak sopan. Tapi apa yang bisa ia lakukan setelah mendengar dari security dibawah mengatakan bahwa Orland belum terlihat sejak terakhir kali pria itu kembali tadi malam? Tidak ada pilihan lain.
Ketika Laurel masuk. Hanya satu kata yang terlintas dikepalanya detik itu. Sepi. Benar-benar tidak terdengar suara sedikitpun.
"Orland?", panggil Laurel sambil menutup pintu perlahan.
Tidak ada tanggapan. Laurel mencoba lagi. Kali ini sambil menyusuri penthouse mulai dari ruang kerja, tempat gym, dapur, ruang menyuci.
"Kemana dia?", gumam Laurel. Ia berdiri di ruang tamu sambil mengusap tengkuknya. "Apa masih tidur? Tapi ini sudah siang.", tanyanya entah pada siapa.
Laurel akhirnya memberanikan diri melangkah menuju lantai dua untuk mengecek keberadaan Orland di kamarnya. Sebelum masuk, Laurel mengetuk pintu beberapa kali. Tapi lagi-lagi tidak ada tanggapan membuatnya tanpa pikir panjang membuka pintu itu.
Ketika pintu terbuka. Laurel mengerutkan keningnya ketika melihat kearah ranjang. Selimut dan bantal sudah berserakan. Tapi tidak ada orang yang tidur diatasnya.
"Orland?", panggilnya.
Laurel melangkah masuk. Ia mengambil bantal yang jatuh ke lantai. Dan diletakannya kembali diatas ranjang. Gilir menarik selimut, tiba-tiba sebuah benda kecil berwarna hitam jatuh tepat di kakinya.
Laurel menunduk. Mengambil benda yang ternyata sebuah ponsel. Di layar ponsel itu, tertera banyak sekali notifikasi pesan dan panggilan darinya.
Kini Laurel semakin panik.
Pemikiran buruk mulai muncul dibenaknya. Apa Orland diculik?
Dengan cepat Laurel membereskan ranjang Orland sebelum keluar. Tapi saat ia hendak membuka kenop pintu, matanya menangkap pintu kamar mandi Orland yang sedikit terbuka.
Detik itu juga, Laurel meneguk salivanya dan jantungnya berdebar lebih cepat. Ia merasa ada yang aneh. Apalagi ketika Laurel melangkah mendekat dan berusaha membuka pintu. Pintu kamar mandi seperti terganjal sesuatu yang besar.
Laurel mengintip kedalam perlahan. Betapa terkejutnya ia melihat Orland tergeletak tak sadarkan diri di lantai kamar mandi.
...
Orland membuka mata. Samar-samar ia melihat sosok pria berdiri dihadapannya sembari melipat tangan di depan d**a.
"Akhirnya kau sadar.", ujar pria itu.
"Darren?",
Darren berdehem.
Orland memijit keningnya. "Berapa lama aku disini?",
"Cukup lama hingga aku sudah memiliki anak dengan Laurel.",
Pandangan Orland seketika seratus persen sadar dan matanya melebar. "What?!",
Darren mendengus. "Lebih baik kau buang saja predikat summa cumlaudemu.",
Orland menghela napasnya lega. Lalu melemparkan tatapan kesal pada Darren. "Aku serius. Berapa lama aku disini?",
"Dua hari.",
Orland meringis pelan. "Apa kata dokter?",
Darren menarik kursi beroda yang tak jauh dari posisinya berdiri. Lalu ia duduk. "Keracunan makanan.",
"Keracunan makanan?", Orland mencoba berpikir. Bagaimana bisa ia keracunan makanan? Perasaan semua bahan makanan di kulkas bahkan semua makanan yang ia beli selalu terkontrol dengan baik.
Tapi jika diingat lagi, dua hari yang lalu ia memakan makanan...
"Dimana Laurel?", tanya Orland.
"Membeli kopi.",
"Apa dia khawatir?",
"Tentu saja. Dia bahkan sampai menangis.",
Orland mengerutkan keningnya. "Benarkah?",
"Dia yang menemukanmu tergeletak di kamar mandi. Dia juga yang menunggumu selama di rumah sakit.", jawab Darren.
Orland tersenyum simpul. Ia tak menyangka Laurel mau melakukan semua itu. Terlebih bila mengingat dirinya yang menyebalkan.
Ya, Orland mengakui bahwa dirinya memang menyebalkan. Ia akan selalu mencari seribu satu cara untuk membuat Laurel kesal. Tapi tindakannya itu dilakukan bukan tanpa dasar.
"Jangan tersenyum dulu. Aku belum merestuimu meskipun Laurel menyukaimu.",
"Someday, you will.",
...
"Kenapa kau tersenyum seperti itu?", Laurel mengerutkan keningnya ketika baru saja masuk kedalam ruang rawat inap Orland.
Pria itu duduk sambil melipat tangannya diatas ranjang dan tersenyum lebar kearahnya.
"Apa aku tidak boleh tersenyum?",
"Sepertinya, keracunan makanan memiliki efek samping pada otakmu.", sindir Laurel.
Orland tidak tersinggung. Ia hanya mengangkat bahunya santai. "Otakku memang sedikit bermasalah kalau itu menyangkut dirimu.",
Laurel semakin bingung. Ia meletakkan kantung makanan di tangannya diatas meja sebelum menghampiri Orland dan menyentuh kening pria itu. "Kau rupanya benar-benar sudah gila.",
"Aku bukan gila. Hanya saja aku terlalu senang.",
"Senang? Karena masuk rumah sakit?", tanya Laurel. Ia melepaskan tangannya.
Orland mengangguk dan berdehem.
"Okay, that's really weird. Apa kau kehabisan akal untuk menghamburkan uangmu?",
"Nope.",
"Lalu?",
Orland menatap Laurel. "Aku hanya terlalu senang karena kekasihku akhirnya mengkhawatirkanku.",
Laurel mendengus geli. "Siapa yang mengkhawatirkanmu?",
Orland menyeringai. "Tentu kau. Siapa lagi?", ujarnya. Lalu ia memicingkan mata. "Dan, apa kau dengar barusan? Ini ketiga kalinya kau tidak menyangkal perkataanku kalau kau kekasihku.", tambahnya mengejek.
Dengan kesal Laurel mengambil posisi duduk di kursi beroda. "Aku terlalu lelah berdebat denganmu masalah itu. Dan kedua, sekali lagi kukatakan, aku tidak mengkhawatirkanmu.", bantahnya.
"Lalu, kenapa kau menjagaku?",
"Itu hanya karena aku punya sopan santun dan simpati.",
"Menangis?", desak Orland lagi.
Laurel mengangkat sebelah alisnya. Dalam hati ia sudah memaki entah pada siapa. "Aku menangis karena takut kredit poinku dikurangi.",
"Apa hubungannya?", Orland bingung. Memang tidak ada hubungannya, hanya sana Orland baru ingat bahwa ada satu alasan yang memang berhubungan. Lalu ia mendesah pelan.
"Apa?", Laurel bisa menebak ada sesuatu.
"Aku bisa saja mengurangi kredit poinmu.",
"Maksudmu?",
Orland tiba-tiba menunjuk Laurel. Sambil sedikit mendorong kening gadis itu dan mencondongkan tubuhnya. Ia berkata, "Aku keracunan makanan karenamu.", ujarnya setengah berbisik.
"Dokter bilang, ada racun didalamnya. Untung saja aku sayang padamu. Jadi aku memaafkanmu yang berusaha meracuniku.",
Laurel menurunkan tangan Orland. "Jangan menuduh sembarangan. Meskipun kau menyebalkan dan patut diracuni, tapi aku tidak mungkin melakukannya.",
"Terakhir kali aku memakan makanan yang kau masakkan.",
"Aku tidak memasak untukmu. Itu pembe-",
Orland mengangkat sebelah alisnya tak kala Laurel mendadak berhenti berkata. Ia bisa melihat ekspresi keterkejutan Laurel. "Ada apa?",
"Stella memberikan makanan itu untukku.",
"What?",
...
Malam ini Orland cukup sibuk. Terlihat dari ranjang rumah sakitnya yang mendadak menjadi meja kerjanya malam ini. Mendadak, sore tadi setelah Laurel pulang, sekretarisnya yang ada di Indonesia mengatakan bahwa uang perusahaan hilang sekitar dua ratus juta.
Jika dibandingkan dengan hasil yang diperoleh perusahaannya setiap hari. Dua ratus juta mungkin hanya beberapa persen saja dan mungkin bisa ia relakan. Toh uang bisa dicari kembali. Tapi kepercayaan?
Menurut Orland, kepercayaan itu bagaikan kertas. Sekali kertas itu di lipat, pasti meninggalkan bekas dan tak akan kembali mulus.
"Aku hanya keracunan makanan, kek Bukan lumpuh total.", ujar Orland pada ponsel yang ia loud speaker. Tangan dan matanya fokus pada macbook dihadapannya.
"Hmm aku sedang mencari jejak uang itu dibantu Chris.", bersamaan ketika Orland menjawab, ketukan pintu di ruangannya terdengar.
Ketika melihat siapa yang masuk. Orland menghela napas pendek, "Kek, nanti kuhubungi lagi. Ada sesuatu yang lebih penting yang harus kuurus. Ya, sampai jumpa.", Orland memutuskan panggilan sepihak.
"Sedang sibuk?",
Orland memutar matanya malas. Tanpa melihat orang itu, ia bertanya, "Apa yang kau lakukan disini?",
"Aku dengar dari Darren kau keracunan makanan. Jadi aku kemari menjengukmu sekaligus membawakanmu bubur.",
"Aku tidak lapar.", jawab Orland. Lalu ia mendongak, menatap orang itu dengan tatapan tak suka. "Lebih tepatnya aku tidak mau makan makanan darimu, Stella.",
Stella mengerutkan keningnya. Gadis itu sejak tadi berdiri di sebrang ranjang Orland sudah merasakan ada hal yang aneh. Tapi ia berusaha tetap tenang. "Kenapa? Apa karena kau dan Darren berselisih tegang?",
"Aku tidak suka padamu. Dan ini tak ada hubungannya antara masalahku dan Darren.",
Stella berusaha tersenyum. "Apa yang aku lakukan hingga kau tidak suka padaku? Aku sudah kemari menjengukmu.",
"Apa aku memintamu datang? Tidak kan? Dan kenapa kau masih bertanya apa alasanku tidak menyukaimu. Kau seharusnya sudah tahu.", nada bicara Orland mulai terdengar menyeramkan. Apalagi pria itu sejak tadi tidak menatap Stella dan sibuk mengerjakan sesuatu di macbooknya.
Stella berdehem pelan. "Baiklah, aku tidak peduli kau membenciku apa tidak.",
Orland mendengus. "Berhentilah bersikap seolah aku yang salah disini.",
"Maksudmu?",
Orland menutup macbooknya sedikit kasar membuat Stella sedikit berjingkat. "Jangan kau pikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan.",
"Memangnya apa yang aku lakukan?",
"Mau kujabarkan satu-satu?",
Stella meneguk salivanya. Ia tidak menjawab.
"Pertama, berhentilah menjadi gadis murahan. Kau sudah memiliki Darren tapi kau berusaha merayuku. Apa kau sadar apa yang kau lakukan itu bisa merusak semua hubungan baik antara kau, Darren, Laurel, dan aku?
Kedua, berhentilah mengganggu kekasihku.",
"Aku tidak merayumu.",
"Lalu jelaskan padaku tentang sikapmu saat makan malam waktu itu? Kedua, kau sering mengirim pesan padaku. Dan kenapa kau bisa memiliki nomorku? Ketiga, sekarang kau disini sendiri. Kenapa tidak bersama Darren? Pakaianmu juga sangat terbuka seolah kau mau menyodorkan diri pada orang.", sergah Orland. Selama ini ia diam dan tidak mengatakan pada siapapun karena masih ingin menemukan banyak bukti.
Tidak mungkin ia tiba-tiba mengatakan pada Laurel bahwa Stella mendekatinya bukan? Yah meskipun ia tahu jika Laurel dan Stella sedang mengalami keretakan hubungan. Ia tetap harus punya alasan yang kuat agar Laurel percaya. Terlebih lagi Darren.
"Kau temanku dan aku mengkhawatirkanmu. Apa salahnya?",
"Tapi kita tidak sedekat itu. Bahkan aku sendiri tak yakin bisa menyebutmu temanku setelah tahu kau berniat melukai orang yang kusayang.",
Stella mengangkat sudut bibirnya. Gadis itu tampak sedikit panik. Tapi ia mampu menyembunyikannya dengan air mata yang tiba-tiba menetes dari matanya. "Kenapa semua orang berpikir bahwa aku yang jahat disini?", jelas sekali ia seperti mengalihkan pembicaraan.
"Aku tidak bilang kau jahat. Aku hanya mengatakan aku tidak suka padamu.", jawabnya. Orland melipat tangannya. "Sekarang aku ingin istirahat. Kau boleh keluar.",
Stella tampak kesal. Gadis itu tidak mengucapkan sepatah kata pun dan beranjak pergi.
"Tunggu!",
Tangan Stella terhenti di kenop pintu. Ia tersenyum sebelum merubah ekspresinya dan kembali menoleh.
"Ya?", tanyanya.
Stella pikir, Orland berubah pikiran. Tapi ternyata,
"Ambil kembali bungkusan itu dan berikan pada orang yang lebih membutuhkan.",
...