2. Week In My Life

1747 Words
"Baiklah anak-anak. Ibu punya informasi buat kalian semua.", Helen berbisik pada Laurel ketika Mrs. Powell memberi pengumuman. "Sepertinya penguman kali ini tidak penting." Laurel terkikik pelan. "Sudah dengarkan dulu. Siapa tahu penting.", "Memperingati hari jadi Golden University Australia yang ke lima. Tiga bulan mulai hari ini, kampus akan mengadakan pesta dansa. Pesta nya akan diadakan di Victoria Ballroom. Untuk waktu akan diberitahukan lebih lanjut. Selain itu juga ada rangkaian acara lain yaitu penggalangan dana untuk anak yatim piatu. Penggalangan dana akan diadakan minggu depan dan dihadiri para pendiri, rektor, dan juga investor. Jadi apa ada yang mau ditanyakan?", Laurel melirik Helen, "Benar apa kataku bukan?", "Kebetulan saja.", balas Helen. Seorang laki-laki yang duduk tak jauh dihadapan Laurel dan Helen mengangkat tangan. "Apa kita boleh membawa pasangan saat pesta dansa, pasangan di luar kampus?", Mrs. Powell mengangguk mentap. "Tentu boleh Sean. Apa gunanya mengadakan pesta dansa bila kita tidak membawa pasangan?", Semua anak di dalam kelas bertepuk tangan karena senang. Tidak biasanya kampus mengadakan acara besar dan memperbolehkan para mahasiswanya membawa orang luar atau umum. "Jadi, kau membawa siapa?", tanya Helen membuat Laurel memutar matanya. "Tentu bukan Darren.", "Apa aku bertanya tentang Darren?", cibir Helen. Laurel mengangkat bahunya. "Entahlah. Kita bisa datang berdua.", "Tidak mau. Aku akan mengajak kekasihku.", "Apa?", Laurel melebarkan matanya. Ia tersenyum senang meski cukup terkejut mendengar pernyataan Helen. Sahabatnya itu akhir-akhir ini dekat dengan laki-laki setahun diatas mereka. Kalau Laurel tidak salah pikir, laki-laki itu sekarang sedang menyusun skripsi dan akan lulus. "Kau sudah berpacaran dengan Steven?", "Belum sih. Tapi aku akan mengajaknya.", Senyuman di wajah Laurel memudar di gantikan decakan lidah. Ia menyenggol lengan Helen. "Aku pikir kalian sudah resmi.", Helen menyengir pelan. "Secepatnya.", "Baiklah aku tunggu kabaramu.", "Aku juga menunggu kabarmu.", Laurel mengerutkan keningnya. Ia menoleh kearah Helen sambil membereskan buku-bukunya diatas meja. "Kabar apa?", "Kabar kau memiliki gebetan baru.", "Helen.", panggil Laurel. "Kau tahu aku selama ini tidak pernah menyukai pria lain selain Darren, aku juga tidak pernah berpacaran. Sekarang katakan padaku bagaimana aku bisa cepat menemukan gebetan baru? Ini baru tiga hari aku patah hati.", jelasnya. "Bukannya kau menyuruhku mempertahankan Darren?", Helen menepuk bahu Laurel. "Yah lupakan kata-kataku yang itu. Cari pria lain saja. Memang susah. Tapi kalau kau berusaha dan mulai berkenalan dengan laki-laki lain mungkin bisa membantumu cepat melupakan Darren. Dan percayalah, kau pasti akan menemukan orang lain.", "Yeah i wish.", jawab Laurel ragu. ... Darren terkejut mendapati seorang pria yang lama tidak ia jumpai muncul di ruangan kerjanya siang ini. Banyak hal yang ingin Darren tanyakan, tapi ia menahan diri dan merentangkan tangannya lebar. "Long time no see, bro", Pria itu tersenyum miring. Senyuman yang mampu membuat wanita mana saja takluk tanpa di minta. Ia menerima pelukan Darren singkat. "Nice to see you, Darren.", balas pria itu. "Selamat atas pertunanganmu.", tambahnya kemudian. Darren mengangguk dan terkekeh pelan. "Bagaimana denganmu? Kapan seorang Orlando Spencer akan menyusulku?", Orlando Spencer, pria dengan sejuta pesona itu mengangkat bahunya santai. Baginya, memiliki suatu hubungan terikat dengan manusia berjenis kelamin perempuan adalah satu hal yang tidak pernah terbesit di kepalanya sampai saat ini. Ia masih ingin merasakan kebebasan tanpa batas. "Aku rasa belum saatnya memikirkan hal itu.", "Kau sudah tertinggal oleh Daniel. Sekarang, Axel dan aku juga sudah bertunangan. Kau menunggu apa lagi?", tanya Darren. "Menunggu perempuan yang tepat?", Orland balik bertanya. Ia menggeleng pelan sambil melangkah menuju ruang tamu yang ada di dalam ruang kerja Darren. Ia duduk di sebuah sofa cokelat dan menyilangkan kakinya. "Entahlah aku hanya belum ingin memiliki hubungan percintaan dengan perempuan. Kecuali, hubungan...", ia menggantung kalimatnya dan mengedipkan matanya kearah Darren. Darren memutar matanya. Paham dengan apa yang dipikirkan Orland. "Yah, sex.", Sejak masa-masa sekolah menengah atas dulu. Orland memang terkenal sekali dengan sebutan bad boy. Sering bergonta-ganti pasangan bahkan tanpa perlu susah payah mencari perempuan. Apalagi dengan harta yang melimpah pasti mampu membuat banyak perempuan rela menyodorkan diri dan berharap bisa menjalin hubungan cinta. Tapi malang sekali para perempuan itu, Darren tahu jelas bahwa Orland pasti akan meninggalkan mereka dan tidak akan ada pertemuan yang kedua kalinya. "Itu kau tahu.", Darren berdecak beberapa kali. Ia duduk disebrang Orland. "Jadi, kenapa kau tiba-tiba bisa di Australia?", "Datang ke pertunanganmu.", jawab Orland singkat. Ia bersandar pada sandaran sofa. "Tapi aku tidak mengundangmu.", Orland mengangkat sudut bibirnya. Meninggalkan kesan nakal dan menggoda. "Kalian semua mengenalku dengan baik.", Darren membenarkan perkataan Orland dalam hati. Ia sengaja tidak mengundang Orland karena ia paham betul tingkah pria itu. Mungkin pria itu bisa dinobatkan sebagai pria stalker. Tanpa diberitahu, Orland bisa tahu tentang apapun dengan sendirinya. Seperti dulu, Daniel Harrison diam-diam membeli mobil baru, Orland menjadi orang yang tahu pertama kali. Atau saat Axel Evans ingin memesan makanan secara delivery, Orland sudah duluan memesankan dan mengantarkan secara pribadi. Menurut penjelasan Orland. Ia melakukan itu karena kebiasaannya entah dalam mengerjakan tugas sekolah ataupun berbisnis. Jika dalam bisnis, memang masuk akal, pria itu memang selalu melakukan penyelidikan terhadap saingan maupun yang diajak bekerjasama untuk menghindari kerugian atau tipuan. Darren bangkit dan mengibaskan tanganya. "Ya, ya, ya... memang kebiasaanmu tidak pernah berubah.", katanya. "Air mineral?", tanyanya menawari sambil membuka kulkas kecil yang tak jauh dari mereka duduk. "Bir?", Orland balik bertanya membuat Darren menatap malas kearah pria berambut hitam itu. "Tidak ada bir. Hanya air mineral disini.", Orland terkekeh dan tersenyum lebar. "Baiklah air mineral untuk saat ini.", Darren melemparkan botol kecil kearah Orland secara tiba-tiba. Untung saja Orland dengan sigap menangkapnya. "Sepertinya kau lupa betapa mahirnya aku memblok bola lawan saat kita bermain basket dulu?", ujarnya sakrastik. "Hanya tes. Siapa tahu ada sedikit yang berubah darimu.", Darren menanggapi santai. Ia mengangkat bahunya. Orland tertawa renyah. Ia menggeleng pelan. "Nice try. But, believe me. Kau akan kesulitan merubahku. Aku masih ingin menikmati hidup. Jadi, simpan saja angan-anganmu melihatku menikah dalam waktu dekat." ... "Tempat apa ini?", Laurel bertanya pada Stella ketika mobil gadis itu berhenti di depan sebuah tempat yang sedikit aneh. Biasanya bangunan restaurant atau kafe memiliki banyak jendela. Namun, bangunan yang tak jauh dari mereka parkir tampak hanya memiliki satu pintu. Di pintu itu terdapat lampu neon berwarna merah yang mengelilingi kusen dan ada seorang pria berbadan besar berdiri di depannya. Seolah pintu itu harus di jaga ketat, terlihat dari beberapa orang yang masuk harus menunjukan kartu identitas. "Klab malam.", jawab Stella santai. Laurel melebarkan matanya. Ia terkejut mendegar jawaban Stella dan hampir membuatnya tersedak salivanya sendiri. "Apa?", "Apa kau tidak pernah ke klab?", tanya Stella. Gadis itu kini turun dari dalam mobil membuat Laurel mengikuti gadis itu. Jika dipikir-pikir, benar perkataan Stella. Tempat ini memanglah klab malam. Kenapa ia tidak menyadarinya saat melihat orang-orang yang antre untuk masuk -terutama perempuan- memakai pakaian yang minim? "Tidak, Stella.", Laurel Anderson memanglah dikenal sebagai gadis yang diam dan tidak banyak tingkah. Bila gadis seumurannya menikmati hiruk pikuk kota dimalam hari, Laurel lebih memilih berada dikamarnya dan membaca novel atau menonton serial amerika kesukaannya. Stella mengernyitkan kedua alisnya. "Benarkah?", tanyanya. "Tapi aku tidak terlalu terkejut mengingat kau gadis yang naif.", tambahnya sambil menarik Laurel mengikutinya masuk kedalam antrean. "Untuk apa kita kemari?", "Membantumu. Aku mau membantumu.", Laurel sedikit bingung. Ia mengangkat sebelah alisnya. "Membantuku untuk?", Senyuman di wajah Stella kian merekah. Entah kenapa Laurel merasakan bahwa kali ini perkataan Helen ada benarnya. Stella memang memiliki niatan sesuatu. Tapi apa? "Percaya padaku.", Percaya? Batin Laurel. Menurutnya kata itu akhir-akhir ini menjadi masalah dalam dirinya. Tapi Laurel masih berusaha untuk tidak memperpanjang masalah ini dan berbaikan dengan Stella. Mungkin ajakan Stella malam ini ada gunanya untuk memperbaiki hubungan yang mungkin saat ini sedikit bermasalah. Dengan mudah Stella mengajak Laurel masuk karena gadis itu ternyata memiliki member di klab malam ini. Ketika masuk, sebuah lorong berdinding serba hitam, karpet abu, dan lampu yang minim menyambut mereka. Samar-samar terdengar musik beralunan cepat dari celah gorden merah yang kini semakin terlihat jelas di pandangan Laurel. Ketika gorden itu terbuka, Laurel takjub dengan apa yang dilihatnya. Selama ini ia hanya melihat klab malam dari tayangan film yang ia lihat. Tapi malam ini ia benar-benar melihatnya secara langsung. Lampu laser dan lampu disko memenuhi seluruh ruangan memang sedikit membuatnya pusing. Tapi rasa pusing itu lama-lama digantikan dengan euforia yang menyenangkan ketika berpadu dengan musik yang berdentum cepat. Mungkin terlihat norak bagi Stella. Tapi siapa yang peduli? Laurel hanya diam mengamati sekelilingnya hingga Stella menariknya dan mengajaknya duduk di bar. "Bagaimana?", Stella sedikit berteriak agar Laurel bisa mendengar. Laurel mencondongkan tubuynya kearah Stella. Ia mengangguk kecil. "Cukup aneh. Tapi aku bisa menyesuaikan diri.", Bukan berarti Laurel berubah dari good girl gone bad. Hanya saja, ia cukup menyukai musik, dan tak ada salahnya menikmati malam ini. Toh umurnya juga sudah lebih dari 21 tahun. "Good! Kau mau minum apa?", tawar Stella. "Jus jeruk.", Stella terbahak mendengar jawaban Laurel. Begitupula dengan bartender yang sejak tadi berdiri di dekat mereka sambil mempolish gelas crystal. "Maaf kita tidak menyajikan jus.", sahut sang bartender sambil menahan senyumnya. "Maafkan temanku. Ini pertama kalinya dia kemari.", ujar Stella dengan nada mencemooh. Laurel hanya bisa mengangkat sudut bibirnya. "Bagaimana dengan cola?", tawar bartender. Laurel mengangguk kecil. "Cola tak masalah.", Dengan cepat bartender itu mengambil sekaleng cola di sebuah box container stainlees di belakangnya. Membuka tutupnya dan menyodorkan kearah Laurel. Lalu ia menoleh kearah Stella. "Bagaimana denganmu?", "Karena aku ingin bersenang-senang. Jadi, vodka.", jawabnya sambil melirik Laurel yang memperhatikannya. Stella tersenyum. Ia menyiris rambut priangnya kebelakang. "Aku titip minumanku. Aku ingin ke kamar kecil. Kau boleh mencobanya.", ujarnya sambil mengedipkan mata. "No thanks", balas Laurel. "Aku punya cola.", tambahnya sambil mengangkat tangan kanannya yang menggenggam kaleng merah. "Oke, be right back.", Ponsel Laurel bergetar, beberapa detik setelah Stella pergi meninggalkannya. Laurel meletakkan colanya dan menarik sedikit tas selempangnya kedepan. Ia mengambil ponselnya dari dalam tas. Tertera notifikasi pesan dari Helen. Gadis itu bertanya dimanakah dirinya berada. Tentu Laurel menjawab Helen dengan jujur. Laurel mengatakan pada Helen bahwa dia berada di klab malam bersama Stella. Selang beberapa detik setelah Laurel membalas. Ponselnya bergetar panjang, tanda bahwa ada panggilan masuk. Ia melihat nama Helen lagi-lagi tertera. "Helen?", tanyanya berteriak. Jelas itu efek dari musik yang keras di dalam klab. "Kenapa kau pergi bersama Stella ke klab? Kau gila?!", Laurel paham akan ke khawatiran Helen padanya. "Tak apa Helen. Kau tidak perlu khawatir. Aku baik-baik saja. Percaya padaku", "I believe you. But not, Stella! She's like crazy! Share your location right now! I'll be there!", Panggilan langsung diputus sepihak membuat Laurel mengerutkan keningnya sambil menatap layar ponselnya. Tapi lebih baik ia mengikuti perkataan gadis itu. Lagi pula tak ada salahnya mengirimkan lokasinya. Siapa tahu ketika Helen berada disini bersamanya dan Stella, Laurel mungkin bisa membuat keduanya berdamai. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD