"Mrs Powell...", panggil Orland sambil melirik sesaat kearah Laurel yang sedang serius mengerjakan tugas dan sesekali mengobrol dengan teman perempuan disisinya.
"Ya?",
"Bolehkah aku mengambil alih kelasmu selain mata kuliah ini selama kau cuti?",
Mrs. Powell terlihat terkejut mendengar perkataan Orland. "Mr. Spencer, maaf, bukan apa. Saya merasa sungkan saat anda mau mengambil alih kelas ini. Dan sekarang anda mau ambil semuanya? Maksud saya, anda kan-",
"Ya aku paham maksudmu.", balas Orland. "Ah berhentilah menggunakan kalimat formal.",
Mrs. Powell mengangguk paham. "Masih ada dosen lain yang bisa menggantikanku mengajar.",
Orland tersenyum simpul. Melipat tangannya di depan d**a. "Kau tidak perlu merasa sungkan padaku hanya karena kau mengenalku. Aku memang sedang ingin mengajar karena aku pikir aku bisa membantu mahasiswa untuk bisa sukses sepertiku.", terdengar sedikit nada sombong di kalimatnya.
Tapi Mrs. Powell masih merasa tidak enak dan tidak menyetujui ide Orland yang menurutnya sedikit gila. Jika saja posisi Orland adalah Mrs. Powell, tentu ia lebih memilih tinggal di rumah bersama suami dan dua anaknya, membiarkan uang yang bekerja untuk mereka.
Orland menatap Mrs. Powell menunggu jawaban. "Bagaimana?",
Mrs. Powell menghela napasnya. Ia bingung harus menjawab apa. Rasanya berat sekali meninggalkan pekerjaan untuk atasannya dibandingkan ke orang lain yang jabatannya sebanding dengannya.
"Apa kau butuh alasan yang lebih meyakinkan Mrs. Powell?", tanya Orland. "Agar kau tak perlu merasa sungkan padaku.", tambahnya kemudian.
"Jadi ada alasan lain?",
Orland mengangguk. Ia kembali melirik Laurel membuat Mrs. Powell mengikuti arah pandanganya. "Aku ingin mendekati seseorang.",
"Maaf?", Mrs. Powell mendengar perkataan Orland. Hanya saja ia merasa terkejut mengetahui kenyataan dan alasan kenapa diawal kelas Orland dan Laurel tampak aneh. Lalu ia tersenyum geli, "Ah begitu rupanya. Baiklah, kau boleh mengambil seluruh kelasku.",
"Terima kasih",
"Sama-sama.",
"Oh ya Mrs. Powell.",
"Ya?",
Orland masih belum bisa melepaskan senyuman di wajahnya. "Aku harap, kau bisa merahasiakan ini semua.",
...
"Apa maksudnya ini semua?",
Orland terlihat seperti berusaha mencerna maksud pembicaraan Laurel sambil membereskan meja. Kebetulan kelas telah usai dan menyisakan beberapa orang. "Oh, maksudmu kenapa aku disini?", ia mengangkat alisnya.
"Kau mengikutiku?",
"Untuk apa aku mengikutimu?", Orland balik bertanya.
Laurel geram. Ia menatap Orland kesal. "Mana aku tahu? Itulah kenapa aku bertanya. Dan kau malah balik bertanya padaku!", serunya menggebu-gebu. Beberapa orang melirik kearah mereka sesaat.
"Jangan terlalu percaya diri. Aku memang menyukaimu. Tapi aku tidak mengikutimu.", balas Orland santai dan tenang. Berbanding terbalik dengan ekspresi Laurel. Tapi, apa yang ia katakan memang benar. Mungkin ini gila, tapi ia menyukai, ah ralat Laurel menarik perhatiannya. Gadis itu adalah perempuan pertama yang terang-terangan menamparnya, meneriakinya, dan sekarang?
Padahal perempuan lain tidak akan mungkin melakukan hal itu pada Orland. Hanya akan ada tatapan memuja, pujian, dan rayuan.
"Dua hari bertemu denganmu membuatku gila!",
"Jadi kau masih kesal karena aku menciummu?",
Laurel tercenga. Bagaimana bisa Orland masih santai?
"Tentu saja!", jawab Laurel sedikit berteriak. Tak peduli bahwa Orland adalah dosennya. Berbicara mengenai dosen? Jadi, dia pernah berciuman dengan dosennya? Mengetahui kenyataan itu benar membuat Laurel frustasi. "Astaga, bagaimana bisa ada manusia sepe-",
"So?.", Orland menyela perkataan Laurel. "Aku sudah terlanjur menciummu. Kau tidak bisa menariknya lagi.", tambahnya. "Lagi pula dari awal. Kau yang menciumku terlebih dahulu.",
Laurel mengambil napasnya dalam-dalam. Ia hendak mengatakan sesuatu tapi lagi-lagi Orland tak membiarkannya berbicara.
"Apa kau kesal karena kau ketagihan? Dan kau menginginkan lagi tapi malu meminta?", Orland menyeringai membuat Laurel melototinya tajam. Tangannya terkepal kuat seperti hendak memukulnya tapi tidak bisa. Orland tahu benar Laurel menahan diri.
"You such a jerk!", serunya. Ia melangkah pergi membuat Orland terkekeh. Melihat Laurel kesal entah kenapa membuatnya senang. Terkesan jahat, tapi jujur, Orland sendiri merasa tidak bisa jauh dari gadis itu meski baru bertemu.
Ia juga tidak mengerti kenapa dirinya juga seperti ini, melakukan ini semua sampai ia mau menggantikan Mrs. Powell selama tiga bulan. Padahal, dalan tiga bulan ia bisa saja menikmati hidupnya seperti biasa tanpa harus mengecek tugas-tugas dan mengajar.
Sangat bukan Orlando Spencer sekali.
...
"Kenapa Mrs. Powell harus cuti?", geram Laurel sambil membuka pintu ruangan dosen lebar-lebar tanpa peduli bahwa ruangan itu disebut sebagai neraka dan menyebabkan iblis di dalam sana mengamuk. Yang jelas ia harus mencari cara lain agar bisa memenuhi poin nya tanpa harus berususan dengan seorang pria menyebalkan bernama Orlando Spencer.
Ia melangkah menuju meja administrasi. Ia kembali dihadapkan dengan pegawai pria berkacamata yang sama seperti tadi pagi.
"Mr. Sherman, apa ada dosen lain selain Mrs. Powell yang membutuhkan asisten?",
"Ada.",
"Baiklah. Aku mau dengan dosen siapapun selain Mrs. Powell.",
Mr. Sherman menggeleng. "Tidak bisa.",
"Kenapa?", Laurel sedikit ngotot. "Bukankah tadi anda bilang masih ada posisi asisten dosen yang kosong?",
"Memang. Tapi kau terlambat lima menit. Baru saja posisi itu diambil anak laki-laki dari fakultas pariwisata.",
Laurel hampir saja membenturkan kepalanya di meja tinggi di hadapannya. Jika saja Mr. Sherman bukan pegawai di kampus ini, mungkin ia sudah berteriak. "Kalau begitu kenapa anda tidak langsung mengatakan di awal kalau ada yang kosong?", ia berusaha menahan emosi.
"Kenapa kau tidak mau bersama Mrs. Powell?",
"Aku tak masalah dengan Mrs. Powell, sir. Hanya saja penggantinya...", Laurel menggantung kalimatnya. Ia bingung harus menjelaskan bagaimana. Tidak mungkin bukan bila ia menjelaskan bahwa Orland mencuri ciuman pertamanya?
"Bukannya kau seharusnya senang Mrs. Powell digantikan Mr. Orlando Spencer? Beberapa anak perempuan tadi datang kemari ingin berebut posisimu.",
"Dan kenapa aku harus senang?",
"Mr. Orlando Spencer muda, tampan, kaya, bukankah itu yang kalian para perempuan inginkan?",
Laurel memutar matanya mendengar pertanyaan Mr. Sherman. Jika saja para perempuan di kampus ini tahu bagaimana sifat menyebalkan Orland, pasti mereka akan menarik ucapan mereka meskipun tahu setampan dan sekaya apa Orland.
"Ya aku akui dia tampan. Tapi kaya? Maaf aku bukan gold digger.",
"I think, you really have no idea how rich his family is, do you?",
"Dan kenapa sejak tadi pembicaraan kita mengarah pada kekayaan Mr. Orlando Spencer, sir?",
"Jika aku jadi kau. Aku akan mendekatinya. Mungkin bukan karena dia muda, tampan, dan kaya.",
"Then?",
Mr. Sherman mengerutkan keningnya. Ia menatap Laurel tak percaya. "Sepertinya kau jarang menonton televisi.",
Laurel mengangkat bahunya. "Membaca lebih menyenangkan.",
"Ya memang benar dan sekarang kau akan menyesal tidak pernah menonton televisi.",
"Intinya?",
"Robert Spencer, kakeknya. Baru saja mengalihkan sebagian hartanya untuk Orlando Spencer. And now he owns this campus.",
"What?!",
"Menyesal?", tanya Mr. Sherman sambil berdesis.
Laurel hampir saja menangis karena menyesali ucapannya pada Orland baru saja dikelas. Andai saja ia tahu bahwa Orland bukanlah business man yang ingin menjadi praktisi namun pemilik Golden University, pasti ia akan menjaga sikapnya dan berusaha melupakan kejadian di klab -meski sangatlah susah. Tapi apa yang harus ia perbuat sekarang? Semoga saja Orland tidak sakit hati karena perkataannya tadi di kelas meskipun pria itu pantas mendapatkannya.
Lebih baik ia minta maaf daripada terancam tidak bisa magang dan berakibat pada kelulusannya.