06

1967 Words
"Pak Adam," sapa seorang pria paruh baya yang cukup penting. Kuncoro, penanam saham yang saat ini menjadi incaran para pengusaha muda untuk berinvestasi. Umurnya memang sudah bisa dikatakan paruh baya, karena itulah ia disegani. Pengalamannya di dunia bisnis tidak diragukan lagi, karena gulung tikarpun sudah pernah ia alami. "Pak Kuncoro." Sapa balik Ken dengan senyumnya, ia menyalami pria itu dengan ramah. "Saya dengar pesta kali ini anda mengajak istri cantik anda?" tanya Pak Kuncoro. Ken ingin sekali mengumpat. Kenapa semua pria di pesta ini gemar sekali mencari istrinya? Tidak muda maupun tua mereka sama saja. Tidak sadarkah mereka bahwa Dara miliknya? Sopan santun macam apa yang ditunjukkan mereka secara terang-terangan itu? "Iya, Pak. Tapi sayang, istri saya pulang lebih awal karena tidak enak badan.” "Sangat disayangkan, padahal saya sudah penasaran kepada wanita yang berhasil menakhlukan hati pria tampan yang sangat berbakat ini." "Lain kali, kita bisa minum teh bersama, dengan istri anda juga. Kita bisa double date," canda Ken disusul tawa Kuncoro. Tak disangka Kenan, Kuncoro malah menyukai ide yang semata-mata ia ucapkan karena basa basi. "Tentu saja, kita bisa melakukan itu." Kenan semakin keras menahan amarahnya agar tidak meluap kepada pria paruh baya di hadapannya ini. "Sepertinya anda begitu tertarik kepada istri saya, Pak, hahaha." Sindir Ken dengan tawa untuk menyamarkan perasaan kesal yang ia tahan mati-matian. "Saya hanya penasaran seberapa cantiknya istri anda Pak Adam. Semua pria lajang di pesta ini membicarakan istri anda. Sering-seringlah memamerkan keberuntungan anda mendapatkan istri yang membuat iri siapa saja. Jangan menyimpannya sendiri." "Pak Kuncoro bisa saja, kadang saya memang tamak, saya tidak mau membagikan kecantikan istri saya untuk menjadi tontonan pria lain. Seegois ini saya akan istri saya." "Anda pandai sekali membuat lelucon Pak Adam. Kalau begitu sampai bertemu di double date kita. Saya akan meluangkan waktu." "Tentu saja Pak, hubungi saya kapanpun anda bisa." Percakapan yang menguras tenaga itu akhirnya berakhir. Apa maksudnya? Kenapa semua orang begitu penasaran dengan Dara? Kenapa begitu norak? Seperti tidak pernah lihat wanita cantik saja. Ken mengomel dalam hati. Dara memang cantik, namun mereka semua tidak tahu betapa munafiknya gadis itu. Apa mereka tidak ada topik lain selain Dara? Banyak gadis cantik putri pengusaha yang juga datang, pakaian mereka lebih mewah dan mahal dari yang Dara kenakan. Tapi kenapa? Kenapa hanya istrinya yang menjadi sorotan? Hati Ken tak berhenti marah. Pesta yang akhirnya berakhir itu membuat Ken sangat senang. Ia terpaksa pulang terakhir bersama pengusaha muda lainnya karena harus menyapa para pengusaha senior lebih dulu. Tentu saja ia harus menemui dan berbincang sebentar dengan Pak Ananta selaku orang yang mengundangnya hadir. Saat ia hendak memasuki mobil, ia melihat Pak Supri menunggu di luar pagar, melihat ke dalam berkali-kali. Ken mengerutkan kening. Ia memutuskan untuk menghampiri Pak Supri. "Kenapa masih di sini, Pak? Dara mana?" Tanya Ken. “Den, saya dari tadi nunggu di sini lama. Non Dara belum ada keluar. Saya khawatir. Saya mau telepon Aden, tapi saya ke sini lupa bawa handphone." Jelas Supri. "Pak Supri yakin belum liat Dara keluar dari sana?" Tanya Ken seraya menunjuk gerbang, namun gelengan dari Pak Supri membuat Ken memejamkan mata rapat-rapat menelan dugaan yang terpantri di otaknya benar adanya. Ken berjalan cepat memasuki gedung, ia berpikir, kenapa Dara begitu takut gelap yang selama ini ia anggap lelucon itu? Dan kenapa juga Dara begitu bodoh? Dara hanya perlu berlari dan pergi dari lorong itu bukan? Bahkan lorong gelap itu tak begitu panjang untuk dilewati. Semakin dipikirkan, semakin membuat Ken kesal dan khawatir. Kaki yang awalnya berjalan cepat berubah menjadi lari. Ken tidak mengerti, Dara melakukan ini semata-mata mencari perhatiannya, atau memang setakut itu pada gelap. Ken benar-benar dibuat kesal hari ini. Insiden dimana istrinya menjadi perbincangan, dan sekarang menerima sikap bodoh Dara. Semakin hari, Ken semakin tidak mengenal Dara. Saat kakinya berpijak di hadapan gadis yang posisinya masih sama seperti saat ia tinggalkan tadi, saat itu lah amarah Ken tak bisa ia kendalikan. "Apa kamu bodoh atau berpura-pura bodoh!" sergah Ken. Dara mendongak, ia berusaha berdiri namun tenaganya tak cukup untuk melakukannya. Dara menggenggam tangan Ken lemas. Suara kecilnya ia paksa untuk keluar meski tenggorokannya sangat kering. Kepalanya mendongak menatap wajah Ken yang menunduk menatapnnya. "Bawa saya pergi dari sini Ken, saya mohon," ucap Dara lemas. Ken mengangkat tubuh Dara, menggendongnya ala bridal style. Kepala Dara bersandar pada d**a Ken, sedang tangannya mengalung di leher pria itu. Dara benar-benar tidak bertenaga. "Kamu memang gadis bodoh Dara!" ejek Ken. "Berhenti bersikap munafik. Sebaiknya kamu cepat tunjukkan sifat asli kamu. Biar saya bisa menceraikan kamu dan hidup tenang." Dara tak kunjung menjawab, namun setetes air mata mengalir di ujung matanya. Sebagai jawaban bahwa ia sangat sakit mendengar kata cerai dari mulut Ken. Dara tahu bahwa cepat atau lambat ia pasti akan mendengar kata itu. Meski Dara tidak menyangka bahwa kata itu akan ia dengar dalam kondisi lemahnya sekarang. "Maaf." Lirih Dara sebagai penutup ketidaksadarannya. Ken membawa Dara masuk ke dalam mobil miliknya. Pak Supri sudah khawatir dengan kondisi Dara. "Kenapa Non Dara, Den?" Tanya Pak Supri. "Panjang ceritanya, Pak. Bapak cepet masuk mobil, tuntun saya ke rumah sakit terdekat. Saya gak tahu rumah sakit daerah sini. Nanti saya ikuti mobil Pak Supri dari belakang." "Baik, Den." Sebelum berangkat, tak lupa Ken memasang sabuk pengaman untuk Dara. Tak bisa dipungkiri bahwa Ken sangat panik. Lagi-lagi Dara tak berdaya di sampingnya. Keringat mengucur deras dari pelipis wanita itu. Tak peduli meski berulang-ulang kali Ken mengusapnya menggunakan sapu tangan, tetap saja keringat dingin itu tidak kunjung berhenti. "Dara bangun!" Desak Ken tak berhenti panik. "Saya gak tahu kamu segitu takutnya sama gelap. Dulu, kamu gak separah ini pas saya hukum di ruangan gelap itu. Dokter bilang kamu cuma butuh vitamin. Sekarang kenapa kamu nakutin saya?" cemas Ken. Entah sudah berapa kali ia memukuli setir untuk melampiaskan kepanikan bercampur rasa marah pada dirinya. Malam ini adalah malam dimana Ken merasa bahwa jarak antara gedung pesta yang ia hadiri dengan rumah sakit yang akan ia tuju ber-mil-mil jauhnya. Rasanya sangat mencekam saking takutnya. Apalagi jika ia menoleh ke arah Dara yang semakin pucat. Hingga akhirnya mata Ken melihat running text led yang terpajang di pinggir jalan dengan tulisan UGD 24 jam. Ken menyalip mobil Pak Supri yang sedari tadi memimpin perjalanan. Setelah memasuki halaman rumah sakit, Buru-buru ia memarkirkan mobilnya tepat di latar pintu masuk UGD. "Suster! Pasien!" panggil Ken dengan suara lantang kepada seorang suster yang saat itu membawa banyak infus pada trolley stainless steel yang tengah didorongnya. Mendengar panggilan Ken, buru-buru suster itu memanggil rekannya yang lain dan langsung berlari untuk menghampiri Ken dengan membawa stretcher yang sudah disiapkan di teras UGD. Sebelum perawat pria menyentuh tubuh Dara untuk mereka pindahkan, Ken buru-buru mengangkat tubuh istrinya sendiri. Ken langsung membaringkan tubuh Dara di atas Stretcher karena tak mau pria lain menyentuh Dara sekalipun seorang perawat. Suster membantu untuk membenarkan letak tidur Dara. Sebelum akhirnya membawa Dara masuk ke dalam ruang UGD. "Anda walinya?" tanya salah seorang suster. "Iya, saya suaminya." "Silahkan ke bagian resepsionis untuk melengkapi data pasien. Kami akan menangani pesien terlebih dahulu. Anda bisa menunggu di ruang tunggu," jelas sang suster. Ken mengangguk paham. Ia sedikit tenang karena Dara sudah ditangani. Ken menuju resepsionis untuk mengisi data. Setelahnya ia duduk di kursi, menunggu suster dan dokter yang ada di dalam keluar dari ruang UGD itu. *** Setelah menunggu hampir tiga jam, akhirnya Ken bisa melihat istrinya membuka mata. Wajah Dara tampak pucat pasi. Ia benar-benar tidak sedang dalam kondisi baik. Dara belum berani berbicara saat melihat Ken menatapnya tajam dengan tangan terlipat di d**a. Terkesan sangat angkuh. Apa Ken tidak kasihan melihat Dara? Kenapa masih sempat-sempatnya bersikap angkuh seperti saat ini? Dan lagi, apa Ken tidak merasa bersalah sudah mengabaikan ketakutan Dara? "Kamu itu perempuan terbodoh yang pernah saya temui Dara!" hina Ken. Bukannya bertanya bagaimana kondisi Dara, Ken malah tak ragu menghinanya. "Kenapa kamu nggak keluar dari lorong itu?" tanya Ken. "Kamu tahu saya takut gelap." Balas Dara pelan, tenaganya terkuras habis. "Kamu bisa lari." Dara tak bisa menjelaskan apa yang ia rasakan. Ketakutannya tak sebercanda itu untuk Ken remehkan. Percuma, Ken tidak akan pernah bisa mengerti. Dara memilih bungkam. Mendengar setiap omelan yang Ken lontarkan padanya. "Saya tidak mengerti orang munafik seperti kamu bisa setakut itu. Kamu lemah Dara." Semakin hari, Dara semakin tidak mengerti dengan ucapan Ken yang selalu mengatakan bahwa dirinya munafik, licik, dan bermuka dua. Dara benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Ken. Namun mengenai ketakutannya terhadap kondisi gelap. Dara benar-benar trauma akan hal itu. "Rasanya saya ingin secepatnya ceraikan kamu kalau masalah ini selesai." Ucapan Ken kali ini berhasil membuat air mata Dara jatuh. Dara tidak tahu sudah berapa kali Ken mengucapkan kata cerai. Dan kenapa rasanya begitu mudah Ken mengucapkannya. Kata itu tak pernah Dara pikirkan, bahkan terlintas di otaknya pun tidak. "Masalah apa Ken? Kamu gak pernah bilang masalah apa yang buat kamu sebenci ini sama saya. Salah saya apa? Kenapa kamu berubah? Bahkan kamu berkali-kali ngomong cerai." Intonasi ucapan Dara tak pernah meninggi. Selain karena ia masih lemas, ia juga merasa tidak pantas menggunakan intonasi tinggi kepada suaminya. "Tanya ke diri kamu sendiri Dara, kenapa saya muak sama kamu. Tanyakan apa yang sudah kamu perbuat di masa lalu." Perbincangan sengit mereka terjeda kala suara ketukan pintu terdengar. Buru-buru Dara menghapus air matanya. Dara tak ingin orang lain tahu bahwa ia sedang menangis. Seorang suster memasuki ruangan Dara, "Wali pasien bisa menemui dokter untuk membicarakan kondisi pasien." Ucap suster tersebut. Ken berdecak, "Bisa sama orang yang duduk di kursi depan ruangan ini sus, dia sopir saya," balas Ken cuek. Suster itu tampak terkejut dengan ucapan Ken. Kenapa harus sopirnya? Bukankah dia adalah suami pasien? Apa tidak penasaran dengan kondisi istrinya sendiri? Pikir suster itu. "Baik. Kalau begitu saya permisi. Pasien istirahat yang cukup, besok sudah boleh pulang." Ucap suster. Tak ingin memperpanjang tanda tanya dalam otaknya mengenai sikap Kenan. Dara memaksakan senyumnya, "Iya Suster, terimakasih." Ken kembali menatap Dara tajam setelah suster tadi pergi. Perdebatan di antara mereka rupaya belum selesai. "Selain munafik, kamu itu juga jago menggoda pria. Kamu tidak pernah berubah." Hina Ken seolah tak ada habisnya mengeluarkan tuduhan tak berdasar untuk menyakti hati Dara. "Saya nggak pernah menggoda pria, Ken." Sangkal Dara. Ken berdecih, ia tak suka mendengar ucapan Dara. Menurutnya Dara pintar sekali berakting menjadi orang baik di depannya. Mimik sedih Dara semakin lama, semakin membuat Ken benar-benar muak. "Kenapa kamu berubah?" tanya Dara akhirnya. "Untuk menipu kamu, menyiksa kamu, dan buat kamu tidak berharga di dunia ini. Kamu harus diberi pelajaran supaya tidak berlaku seenaknya dengan wajah cantikmu itu." "Ken …," "Selama kamu masih berada di lingkup permainan saya, kamu tetap menjadi milik saya Dara. Tapi setelah semuanya berakhir, selamat tinggal, saya akan buang kamu." Handphone Ken berdering, membuah pertikaian mereka lagi-lagi berhenti. Awalnya Ken ingin memaki siapa yang meneleponnya tengah malam begini. Namun setelah melihat siapa yang meneleponnya, sebuah ide muncul begitu saja. Senyum licik ia tunjukkan sembari menerima telepon tersebut. Telepon dari salah satu selingkuhannya, model yang sudah lama bekerja di agensi Ken. Tentu hal itu tidak dilewatkan Ken menjadi bahan untuk menyakiti Dara. "Halo," ucap Ken. Setelah itu matanya menatap Dara. "Istri aku? Nih ada di depan aku." Ucap Ken lagi. "Aku udah gak peduli sama perasaan dia, lagian juga dia harusnya berterimakasih sama kamu karena udah mau muasin aku di ranjang, nyatanya aku udah gak pernah hubungan lagi sama istri aku. Capek jaga perasaan dia terus. Kita selingkuh terang-terangan aja dari sekarang." Lengkap sudah. Hati Dara sudah sakit Ken tidak berhenti memakinya, sekarang Ken terang-terangan berselingkuh. Dan bodohnya Dara malah sempat berpikir Ken tidak seperti itu. Dara hancur. "Ken kamu selingkuh?" tanya Dara semakin deras menangis. Padahal sudah tahu jawaban dari pertanyaannya sendiri. "Kamu pikir?” tanya Ken balik, “Saya gak pernah nyentuh kamu Dara, dan saya pria normal. Kamu bodoh atau naif sih?" "Saya sayang kamu Ken." "Tapi saya benci kamu Dara." - To be continued -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD