#0 Bertemu Dalam Mimpi

1411 Words
Sebagai manusia biasa, Naifah bisa apa tatkala orang yang sangat ia cintai harus dipanggil menghadap Sang Pencipta? Merasa dunianya runtuh dan berakhir, masa itu sudah berlalu dan sangat berat di tahun pertamanya. Naifah Azzahra, seorang wanita biasa yang lemah jika memorinya terseret kembali pada sosok Arganta Rais. Sosok pria yang kemarin-kemarin rasanya masih kerap membuat Naifah bahagia. Akan tetapi, ternyata sudah tiga tahun lamanya pria itu telah bersemayam tenang. Mungkin ia sudah berada di atas sana, sedang memperhatikan Naifah dan kerap hadir di mimpi indah Naifah. Di sebuah taman yang Naifah kunjungi akhir-akhir ini, ia merasa sangat senang saat momen ini tiba. Momen dimana Naifah merasa begitu nyata bahwa tangannya digenggam dan diajak berlarian di taman nan indah ini bersama dengan Argan. Senyum di bibir Naifah tidak pernah luntur barang sedetikpun. Ia tidak berpikir bahwa pria ini sudah lama pergi jauh dari hidupnya, justru yang ada dalam benaknya adalah cara untuk menghentikan waktu agar selalu berdua dengannya. Langkah yang semula berlari itu, kini terhenti. Naifah merasakan bahwa genggaman tangan Argan mengendur. Tak ingin membiarkan genggaman tangan ini terlepas, Naifah pun mengeratkan genggamannya. Biar saja. Biar Argan tahu bahwa Naifah tak ingin dilepaskan dari genggamannya barang sedetikpun. “Apa kamu lelah, Nai?” tanya Argan tanpa memandang Naifah sama sekali. Entah mengapa? Mata pria itu selalu saja memandangi pemandangan indah di sekitar mereka ini. Apakah Naifah tidak cukup indah? Bukannya menjawabi pertanyaan Argan barusan, Naifah justru cemberut. Ia mengungkapkan kekesalannya, “Pemandangan di sini lebih indah dan menarik, ya, daripada aku? Kamu nggak pernah lihat aku sama sekali, Argan..” Terdengar kekehan kecil yang lolos dari bibir Argan. Tak ingin pujaan hatinya marah dan membuat pelanginya meredup. Argan menoleh dan memandang wajah cantik Naifah. “Bagaimana? Sudah percaya bahwa semua ini sudah pasti kalah indah dan menarik denganmu?” “Hmmm..” Malu-malu Naifah menjawabinya. “Pertanyaanku yang tadi belum kamu jawab, Nai.” “Yang mana, Argan?” “Apa kamu lelah?” “Hmm, lelah. Apalagi aku selalu sendirian. Boleh, nggak, aku minta untuk terus bersama-sama dengan kamu? Aku mau selalu ada di sisi kamu. Aku capek sendirian. Genggam tanganku terus, ya, Argan? Aku mau ikut kemanapun langkah kaki kamu pergi. Berjalan bersama, ataupun berlari bersama—aku mau ikut kamu, Argan.” Lagi-lagi hanya tawa kecil yang lolos dari bibir pria yang kini mau menatap Naifah. Sungguh..Naifah merasa segala kerinduannya selama tiga tahun ini, terobati. Naifah tahu bahwa ini semua mungkin hanyalah mimpi atau halusinasinya saja. Persetan dengan itu. Yang jelas, setelah beberapa kali bertemu dan berlarian bersama mengitari taman nan indah ini—baru pertama kali inilah sepasang matanya langsung beradu tatapan dengan Argan. Mata itu..sangat Naifah rindukan. Tatapan penuh kasih sayang yang tulus, yang selamanya akan selalu Naifah kenang. Argan merupakan lembar yang tidak pernah terhapus dalam buku kehidupannya. Naifah bisa pastikan itu. “Nai, dengarkan aku.” “Hmmm..kamu pasti nggak mau nurutin permintaan aku. Iya, ‘kan? Kamu jahat banget. Katamu, kita harus terus sama-sama. Tapi apa? Kamu ingkar,” kata Naifah dengan suara yang sudah mulai serak. Ini tandanya, sebentar lagi lelehan bening itu pasti akan jatuh di pipinya. Air mata Naifah yang selama ini tidak banyak orang ketahui. Memangnya, siapa yang tahu jika selama ini setiap sholat malam Naifah selalu menangis? Menangisi kisah tiga tahun yang lalu saat dirinya tidak berada di sisi Argan di saat-saat terakhirnya. Saat dirinya tidak bisa melihat wajah Argan untuk yang terakhir kalinya. Naifah bahkan sangat pangling dengan wajah cerah berseri Argan saat ini. Entah yang berdiri di hadapannya ini Argan atau bukan, yang jelas Naifah bahagia. Ia merasa Argan hidup. Meskipun dalam mimpinya atau halusinasinya semata. “Seribu tahun pun, aku rela menanti kamu untuk pergi ke sini. Tapi untuk saat ini, aku mohon..berbahagialah, Naifah. Aku akan selalu bahagia jika melihat kamu bahagia. Berhenti menangisi aku, meskipun tak ada orang yang tahu. Berhenti mengingat aku, jika itu hanya membuat kamu bersedih..” Terdengar helaan napas Argan saat air mata Naifah jatuh. Tangannya dengan sigap berperan sebagai tisu, menghapus air mata bening yang keluar dari mata gadis yang sangat ia cintai. “Nai, cukup dekap dan rindukan aku dalam do’a. Dengan begitu, aku akan selalu yakin bahwa kamu baik-baik saja.” “Kamu mau menungguku selama itu, Argan?” tanya Naifah sekali lagi. Mencoba mencari jawaban yang paling meyakinkan hatinya untuk teguh dan melakukan apa yang Argan inginkan yakni, berhenti bersedih atas kepergiannya. “Tentu. Jangan menangis lagi, ya? Cukup langkahkan kakimu ke depan sana. Maka kebahagiaan yang aku tinggalkan, akan mencoba bergerak pula untuk membahagiakanmu.” “M—maksudnya?” Argan tersenyum begitu tulus. “Cukup ikuti alurnya, Nai. Aku yakin, kamu pasti bahagia..” Sinar mentari pagi ini mau tidak mau membuat Naifah harus terbangun. Ia tampak begitu santai, karena sedang kedatangan ‘tamu’ bulanan. Maka pukul setengah tujuh, ia baru terbangun. Ibu pun pasti sudah maklum, Naifah memang semalam merasa meriang dan kram perut. Saat terbangun pun, Naifah tidak langsung meninggalkan kasurnya. Matanya menatap ke arah jendela yang tirainya telah terbuka sehingga menampilkan sinar mentari cerah pagi ini. Naifah meraba kedua ujung matanya, dan benar saja..ia merasa pertemuannya dengan Argan di alam mimpi tadi—begitu nyata. Air matanya benar-benar mengalir deras sampai-sampai bantalnya turut menjadi saksi di sini. Tapi satu hal yang selama ini tidak pernah Naifah dapatkan saat ia menangisi Argan yakni, ketenangan. Berbeda dengan beberapa saat yang lalu saat dirinya hanyut dalam mimpi pertemuan bersama dengan Argan, Naifah merasa begitu tenang. Meluapkan segala emosi, rindu hingga tangisnya. “Argan..tenang di sana, ya? Terima kasih sudah hadir meskipun hanya dalam mimpi,” ucap Naifah yang lantas menghela napasnya. Ia sudah harus memulai menjalani aktivitas hari ini. Ada job di sebuah acara pernikahan. Naifah meninggalkan kasur empuknya dalam keadaan rapih. Ia juga sudah mengganti sprei dan sarung bantalnya. Semua terasa jauh lebih baik. Barulah setelahnya Naifah membersihkan dirinya di kamar mandi. Setelah melakukan rutinitas paginya. Naifah menghampiri ibunya yang sedang menyiapkan sarapan pagi untuk sang bapak yang harus bekerja. “Biar Nai bantu, Bu..” Naifah mengambil alih mengaduk bubuk ayam. Pikirnya, tumben sekali ibu membuat bubur ayam untuk menu sarapan pagi ini. “Lohh, sudah rapih, Nduk? Ibu pikir, kamu sedang sakit. Makanya Ibu tidak membangunkan kamu tadi. Ibu juga buatin kamu bubur ayam, kebetulan bapakmu juga mau sarapan menu bubur ayam ini.” Naifah tersenyum lebar. Ia merasa beruntung sekali mempunyai kedua orang tua seperti ibu dan bapaknya. Begitu perhatian dan selalu mengerti dengan kondisinya selama ini. “Naifah baik-baik saja, kok, Bu. Meriang dan kram di perut Naifah juga sudah mereda. Maafin Naifah, ya, Bu. Pasti Ibu dan Bapak khawatir.” Ibu Naifah menghela napasnya. “Siapa memangnya orang tua yang tidak khawatir jika putrinya sakit? Semua orang tua di dunia ini pasti khawatir, Nduk.. Sudah, sekarang kamu duduk. Bapak juga sebentar lagi pasti selesai beberes. Kita sarapan bareng-bareng, ya?” “Iya, Bu..” “Kamu sudah rapih, mau kemana? Ada job?” “Iya, Bu. Alhamdulillah, rezeki Naifah. Nanti Mbak Erlin jemput Naifah ke sini.” “Alhamdulillah..” sahut Bapak Naifah yang baru saja tiba dan langsung mendudukkan dirinya di kursi meja makan. “Bapak, Ibu, do’akan Naifah selalu, ya.. Karena hanya do’a Bapak dan Ibu yang Naifah percaya akan selalu memberikan kemudahan di hidup Naifah. Tentang segala hal yang telah berlalu, Naifah mencoba untuk ikhlas dan menjalani yang ada kini. Bukankah ini semua sudah suratan takdir?” Bapak tersenyum dan mengangguk, membenarkan ucapan Naifah yang cukup bijak pagi ini. “Benar, semua yang terjadi sudah merupakan suratan takdir, Nduk. Sebagai manusia biasa, kita hanya bisa menerimanya dan menjalaninya dengan keikhlasan hati.” “Sudah, yang terpenting..kamu harus jaga kesehatanmu, Nduk. Selalu berpikir positif, dan bahagia menikmati hari-hari. Pasti akan selalu ada kejutan di setiap harinya untuk kamu,” tutur Ibu yang begitu menenangkan hati Naifah. Sarapan mereka pun berlangsung dengan suasana hangat. Bubur ayam masakan Ibu Naifah memang tidak pernah gagal di cita rasa. Lezat sekali! Cocok untuk mengawali hari. Dalam diamnya saat sarapan, Naifah sesekali mencuri pandang pada kedua orang tuanya yang juga tampak berbahagia pagi ini. Batin Naifah mengungkapkan, ‘Argan, aku akan mencoba untuk berbahagia mulai detik ini. Jikalaupun nantinya aku masih tetap bersedih karena kamu, kumohon jangan marah. Adakalanya mengingatmu memang membuat air mataku selalu jatuh berderai, karena kamu pergi untuk selama-lamanya dan tak akan mungkin kembali. Itu kenyataan yang selalu membuat hatiku gerimis, Argan. Tapi seperti katamu saat kita bertemu dalam mimpi. Bahwa mulai saat ini, aku hanya akan mendekap dan merindukanmu dalam do’a.. ’ Naifah tersenyum. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD