2. Rani : Beloved Mother

968 Words
Suara yang menggelegar disertai gedoran pintu kamar, terdengar di telinga seorang pemuda tampan. Nyawa yang belum sepenuhnya kembali ke raga, membuat lelaki itu kebingungan. “Gempa ya? Ada gempa nih?” Tapi dua detik kemudian dia tersadar bahwa itu bukanlah gempa melainkan suara mama tercinta yang menyuruhnya segera bangun. “Daniel!! Banguuun…, sudah jam berapa ini belum bangun juga!” Suara gedoran itu semakin kencang. Daniel menarik bed cover tebalnya hingga menutup telinga. “Heh Daniel, mama tahu kamu sudah bangun! Cepat bangun terus anterin mama arisan!” Nah…., mengantar mama arisan! Terdengar horor bagi Daniel. Karena pada saat itulah sang mama akan dengan semangat mempromosikannya ke semua teman-teman arisan. Dan herannya kenapa mamanya bisa mempunyai banyak grup arisan yang berbeda-beda sih? Tiap minggu ada ajaaa. Arisan ini, arisan itu. Yayasan ini, yayasan itu. Ya Tuhan, segitu gak lakunya dia hingga harus diseret ke teman arisan sang mama? “Daniel Tedjasukmana! Cepat bangun atau mama sebarin itu video kamu pas masih balita yang imut-imut itu sedang goyang karena mendengar lagu dangdut pas kita lagi di Dufan! Mama hitung sampai lima. Satu… dua… tiga… em…!” Daniel segera berlari menuju pintu secepat kilat. Itu kan video tidak senonoh! Video itu selalu jadi senjata andalan sang mama jika sedang ngambek. “Mamaaa…. mama gak asik, ancamannya itu itu doang. Aku nih anak mama bukan sih?” Terdengar bunyi kunci diputar, dan Daniel meringis melihat wajah sang mama yang tampak lebih horor dari film Annabel sekalipun. Di tangan mamanya ada ponsel cerdas dan sepertinya Rani, mama cantiknya, sudah siap untuk menekan tombol send video itu. “Hah kamu nih, wong diminta bantuan ama mamanya sendiri aja susah banget. Mama kan udah bilang ke kamu dari minggu lalu untuk temani mama ke arisan. Dan itu teman-teman mama sudah janji mau bawa anak gadisnya loh.” “Itu yang bikin aku malas kalau disuruh nemenin mama arisan tahu gak? Kesannya tuh aku kaya bujang lapuk gak laku mah, dipamerin, ditawarin ke sana ke mari. Padahal kan apa kurangnya aku sih mah? Ganteng? Hoohlah, anak siapa dulu? Bapak Tedjasukmana dan Ibu Rani. Anak mama nih kan paling ganteng se-Jakarta eeh se-Indonesia Raya. Pintar? Tidak diragukan lagi, lulusan sumacumlaude dari kampus terbaik di Indonesia. Kaya? Hmm, gak ada yang meragukan kekayaan The Tedja kan?” Daniel membalik badannya, kembali melangkah menuju kasur empuknya, dan segera merebahkan tubuh kekarnya. Rani mengikuti anak lelaki satu-satunya itu. Sekalian sidak kamarnya tentu saja, siapa tahu dia akan menemukan barang-barang aneh. “Percuma juga jadi lelaki terganteng se-Jakarta atau se-Indonesia kalau belum punya istri. Kamu tuh udah hampir tiga puluh Dan, boro-boro istri, pacar juga gak ada. Mama kan juga pingin cepet punya cucu, mama mau pamerin cucu mama ke temen-temen, kalau cucu mama tuh paling cakep! Paling pinter!” Keluh Rani tidak mau kalah. “Ya ampun ma, cucu kok buat barang pameran sih? Lagian umurku tuh dua puluh tujuh lebih dikit mamaku sayaaaang, bukan tiga puluh. Cup…” Daniel mencium pipi sang mama. “Daniel, bau ih, gak usah cium-cium kalau masih bau gitu. Buruan mandi dan temani mama. Pokoknya mama gak mau tahu, kamu temani mama.” Rani memberi ultimatum. “Drop aja ya ma, aku gak usah ikut masuk. Pleaseee…” Daniel mengatupkan dua tangan di depan d**a, berharap belas kasihan sang mama. “Enggak! Ikut pokoknya, siapa tahu bisa dapat jodoh di situ kan?” Jawab Rani, menggelengkan kepala dan menggoyangkan jari telunjuk kanannya, tanda menolak ide Daniel. “Andaikan kakak di sini, mama bisa diantar kakak.” Keluh Daniel tapi mau tak mau dia segera beranjak ke kamar mandi sebelum sang mama memberikan nasehat sepanjang jalan. “Kakakmu kan gak tinggal di Jakarta, lagian kakakmu kan cewek dan udah menikah.” Rani berkeliling kamar Daniel, matanya liar melihat kamar itu. “Mah, gak usah sidak sih, aku kan gak madat, gak alkohol juga. Nge-vape doang kadang-kadang kalau lagi suntuk.” Kata Daniel sebelum menutup pintu kamar mandi. “Ini apaaa Dan?! Iya, kamu memang gak madat, gak alkohol juga tapi ini apaaaaan Daniel?” Rani memegang sebuah bungkusan segiempat kecil, dia tentu saja tahu benda plastik itu apa, tapi tetap saja kesal karena Daniel punya stok benda itu. Daniel menepuk keningnya, lupa untuk menyimpan bendar yang terbuat dari plastik itu hingga bisa diketemukan oleh sang mama. “Kita harus bicarakan ini Dan!” “Iya mah habis Daniel mandi.” Jawab Daniel, pasrah. Sambil mandi dia merangkai alasan yang sekiranya paling tepat untuk disampaikan kepada sang mama. Aah ini karena dia lupa simpan dengan baik benda itu. Itu kan benda keramat, dan semalam dia baru beli beberapa buah. Setelah ini pasti akan ada sidang antara dia dan mama papanya. Bukanlah amukan sang mama atau keacuhan papanya yang dia takutkan, tapi dia takut jika mamanya overreact dan menangis meraung. Sedikit drama memang, tapi dia tetap sangat menyayangi mamanya. “Pah, lihat nih Daniel. Mosok dia nyimpen stok barang kaya gini sih.” Lapor Rani kepada sang suami yang asik minum kopi di taman samping. Tanu Tedjasukmana, sang kepala keluarga, melirik ke arah benda yang baru saja dibanting dengan kesal oleh sang istri. “Dan!” Hanya satu kata yang diucapkan Tanu, tapi efeknya dahsyat, karena Daniel langsung saja mengkeret. “Masih kamu kaya gitu?” “Tapi aku main aman kok pah, makanya pakai plastik kan.” Jawab Daniel. “Main aman gimana? Main aman tuh ya menikah! Bukannya sembarangan main ama perempuan-perempuan gak jelas. Mama gak mau ya tiba-tiba ada yang mencet bel rumah kita, ternyata seorang perempuan yang sedang hamil dan mengaku kalau bayi di perutnya itu adalah anakmu.” “Dengar apa kata mamamu, Dan. Saingan bisnis kita bisa manfaatin ini loh. Hati-hati dalam bertindak. Kamu tidak hanya membawa nama Daniel saja, tapi ada nama Tedjasukmana di belakangmu!” Kata Tanu. “Kamu nih semenjak gak jadi nikah ama Emira kenapa jadi kacau sih Dan? Itu yang bikin mama jadi rajin datang ke acara pertemuan ibu-ibu, siapa tahu bisa nemu jodoh buatmu.” Langsung saja Rani menyambar, mencari pembenaran dari suaminya. “Mama juga gak boleh gitu, cari istri buat Daniel, cari menantu buat kita ya jangan di acara kaya gitu. Cari tuh di masjid, di grup pengajian mah.” “Tuh mah, di grup pengajian.” Balas Daniel, tersenyum usil pada sang mama dan dibalas delikan mata kesal Rani.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD