Part 1: The Beginning

1273 Words
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Engkau Mengasihi lagi Menyayangi setiap hamba-Mu lebih dari apa pun, bahkan kasih sayang-Mu melebihi kasih sayang seorang ibu kepada anak kandungnya, Duhai Dzat yang Maha Menguasai, diri ini begitu lemah tanpa daya dan upaya dari-Mu, diri ini berada dalam kuasa-Mu, dalam genggaman-Mu, termasuk kedua mata hamba, penglihatan hamba, Duhai Dzat yang Maha Mengetahui yang tampak maupun yang tersembunyi dan Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, kutitipkan rasa ini hanya pada-Mu ya Rabb, karena Engkau adalah sebaik-baik penjaga dan sebaik-baik pelindung dan Dzat yang tak pernah lalai apalagi ingkar janji, Rabb, lindungilah hamba dan yakinkan diri ini bahwa semua yang terjadi saat ini adalah garis takdir terbaik yang telah Engkau persiapkan untuk hamba, aamiin. === Braaak! Boom! Suara dentuman dan hantaman benda besar dan berat begitu memekakkan telinga. Dua buah mobil sudah tak berwujud semestinya. Dalam satu buah mobil yang dalam keadaan posisi terbalik, ada seorang perempuan yang terluka dengan kucuran darah yang membasahi wajahnya. Perempuan itu belum sepenuhnya hilang kesadaran meski sekujur tubuhnya merasakan nyeri yang menyiksa. “Ssshhh,” rintihnya menahan sakit. Ia pun merasakan perih di bagian matanya. Karena tak bisa berkata-kata, ia hanya bisa melantunkan do’a dalam hati. “Ya Allah, tolong aku. Tolong ya Allah,” rintihnya dalam hati. Tak lama, ia pun kehilangan kesadaran. === Langkah sepasang suami istri itu begitu cepat menyusuri jalan dari parkiran rumah sakit menuju Instalasi Gawat Darurat (IGD) sebuah rumah sakit. Terpancar raut wajah yang cemas dari keduanya. Saat keduanya telah tiba di IGD, seorang polisi mennyambutnya dan menceritakan kejadian tentang kecelakaan yang melibatkan putri pasangan suami istri itu. “Jadi begitu Pak Zaidan, Bu Elana. Saat ini, Qiana masih ditangani oleh pihak rumah sakit. Kami menunggu kondisinya pulih supaya kami mendapatkan keterangan yang jelas darinya,” ucap polisi itu. Elana tak kuat lagi berdiri menopang tubuhnya, kakinya melemas. Dengan sigap, Zaidan segera menopangnya dan membawa sang istri menuju bangku panjang yang ada di depan ruang IGD. Elana duduk sambil bersandar sedangkan Zaidan kembali berhadapan dengan polisi tadi. Setelah polisi tadi pergi, Zaidan duduk di samping sang istri dan memeluknya. Tangis Elana pecah di pelukan suaminya. “Kenapa ini harus menimpa putri kita, Yah? Kenapa?” ucap Elana terbata di tengah isak tangisnya. Tak pernah sekalipun terbesit dalam benaknya sang putri mengalami kecelakaan parah seperti ini. “Sssttt, ini semua sudah terjadi. Kita berdoa saja supaya Qiana cepat pulih.” Zaidan mengeratkan pelukannya untuk menenangkan sang istri. Padahal dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Zaidan merasa sedih karena telah gagal menjadi seorang ayah karena tak bisa menjaga putri kesayangannya dengan baik. Meski kejadian ini di luar kendalinya, tetap saja ia menyalahkan dirinya sendiri. Keduanya terusik dengan hadirnya sang dokter yang telah usai menangani Qiana. Elana dan Zaidan segera bangkit dari duduknya dan menghampiri sang dokter. “Bagaimana keadaan putri kami, Dok?” “Bapak dan Ibu orang tua dari pasien bernama Qiana Alisha?” tanya dokter itu. “Iya, kami orang tuanya, Dok.” “Begini, Pak, Bu, luka yang dialami Qiana cukup serius.” Kalimat yang diucapkan sang dokter meremas hati Elana dan Zaidan hingga terasa begitu sesak. Zaidan kembali memeluk Elana karena ia tahu pasti sang istri sama terkejutnya dengan dirinya. “Ada serpihan kaca yang masuk ke matanya dan saya khawatir itu akan menimbulkan efek kebutaan pada Qiana.” Tangis Elana kembali pecah. Ia tak bisa membayangkan bagaimana kehidupan sang putri jika kehilangan penglihatannya. Apalagi sang putri tengah menggeluti dunia menulis. Selain itu, ia juga senang mendesain model pakaian seperti dirinya. Bagaimana Qiana akan melanjutkan kembali kehidupan dan karirnya? Batin Elana. “Dokter tolong lakukan apa pun yang terbaik untuk putri saya, dokter jangan khawatir masalah biaya. Berapa pun akan saya bayar untuk kesembuhan putri saya,” ucap Zaidan dengan tegas. Jika kesembuhan Qiana menuntut nyawanya pun Zaidan dengan sukarela akan memberikannya. Apa pun, apa pun akan ia lakukan demi putri tercintanya. “Tak perlu khawatir, Pak. Kami tim dokter akan berusaha semampu kami. Selebihnya tolong dibantu dengan do’a.” === Satu minggu kemudian … Hari ini adalah hari yang mendebarkan bagi Qiana karena perban yang menutupi matanya akan dilepas. Hari ini juga adalah hari yang mendebarkan bagi Elana dan Zaidan karena mereka akan tahu apakah Qiana masih bisa tetap melihat atau tidak. Dokter dan perawat akhirnya tiba untuk membuka perban Qiana. Moment ini sangat mendebarkan Bagai menunggu hukuman eksekusi mati. Saat perban telah dilepas, Qiana mencoba untuk membuka kelopak matanya dengan perlahan. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali. Dokter dan perawat saling berpandangan. “Dok, kenapa semuanya gelap?” tanya Qiana lirih sambil tertawa sumbang. Elana langsung menutup mulutnya menahan tangis. Qiana buta. Dokter pun menjelaskan dengan perlahan tentang efek dari pecahan kaca mobil yang masuk ke dalam mata Qiana menyebabkan kebutaan. Setelah dirasa cukup, dokter dan perawat pamit undur diri. Elana segera mendekat memeluk sang putri. “Qia, kamu yang sabar, Sayang. Insya Allah ini hanya sementara, kamu pasti bisa melihat lagi nanti,” ucap Elana. Qiana yang berada di pelukannya hanya diam membeku sambil tetap menteskan air mata. “Aku buta, Ma. Aku buta!” Hati Zaidan pun teriris melihat kedua perempuan yang dicintainya saling berpelukan dan berurai air mata. Ia tentu ingin mengungkapkan kesedihannya dengan air mata juga, tapi ia ingat posisinya sebagai seorang suami, ayah dan kepala keluarga yang harus tetap berdiri tegap dan kuat saat istri dan anaknya bersedih. Maka dari itu, ia berusaha sebisa mungkin menekan perasaannya. “Kamu yang sabar, Sayang. Kamu kuat, kamu pasti bisa melewati semua ujian ini. Allah tahu kamu kuat makanya kamu diberi ujian ini.” Elana terus mencoba untuk menguatkan dan membesarkan hati sang putri. Meski tidak terlahir dari rahimnya, kasih sayang Elana untuk Qiana bagaikan ibu dengan anak kandungnya. Dokter dan perawat segera meninggalkan kamar Qiana. Sedangkan Zaidan berjalan mendekat dan memeluk kedua perempuan yang sangat ia kasihi dan cintai. Elana membiarkan Qiana meluapkan kesedihan dalam pelukannya untuk beberapa saat. Hingga kemudian perempuan itu meminta ibunya meninggalkannya sendiri. “Tolong pergi, Ma!” “Apa?” “Tolong tinggalin aku sendiri!” “Tapi … “ “Pergi, Ma! Aku mau sendiri!” pinta Qiana tegas. Zaidan yang mengerti jika sang putri butuh waktu untuk sendiri pun langsung menarik Elana menjauh dari Qiana. “Oke, ayah dan mama keluar dari sini. Kami ada di luar kalau kamu butuh sesuatu,” ucap Zaidan sambil mengusap kepala sang putri dan mengecupnya dengan sayang. === Wajah Qiana basah oleh air mata. Ia merutuki jalan nasibnya yang buruk. Mengapa kejadian buruk ini harus menimpanya? “Ya Allah, kenapa tidak Kau ambil saja nyawaku? Daripada aku harus hidup menanggung kebutaan ini ya Allah?” ucap Qiana sambil berurai air mata. “Aaaaarrgghhh! Kenapa ya Allah, kenapaaaa?!” Qiana meletakan kedua telapak tangannya yang terkepal di sisi kepala. Ia melempar selimut, bantal bahkan ia mencabut paksa selang infus yang menempel di tangannya. Akibatnya darah segar menetes membasahi ranjang rumah sakit dan juga lantai. “Ya Allah, Qia!” teriak Elana yang baru memasuki kamar rawat sang putri. Elana segera memeluk Qiana untuk menenangkannya meski Qiana masih berontak di dalam pelukannya. Dengan cepat Elana menekan tombol bantuan yang ada di atas ranjang hingga tak lama datanglah perawat. Keadaan Qiana yang tak kunjung stabil membuatnya terpaksa harus disuntikkan obat penenang. === Qiana hanya berdiam diri di ranjangnya. Pekerjaannya hanya menangisi nasib buruk yang menimpanya. Ia tak mau makan, bahkan sedikit bicara pada orang tua dan kedua adik lelakinya. Saat sedang melamun di atas ranjangnya, ia mendengar suara pintu terbuka dan langkah kaki mendekat. “Siapa?” tanya Qiana. “Aku Arshan, Qia,” ucap lelaki bernama Arshan Lavana. Qiana tertawa tipis. “Aku sekarang buta, Ar. Apa kamu ke sini mau membatalkan rencana pernikahan kita?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD