Part 12

2395 Words
Walau Helena sangat senang karena kabar menggembirakan yang diterima kemarin dari Wira dan Diandra, tapi pagi ini ia berusaha terlihat biasa saja saat berhadapan dengan Felix. Helena sudah menyusun rencana agar nanti Felix memberinya izin keluar kantor setelah jam makan siang usai. Nanti ia berniat mendatangi rumah sakit untuk membicarakan mengenai jadwal operasi yang akan dijalani Mayra. “Fel,” Helena memanggil Felix yang telah menghabiskan sarapannya. “Fel, nanti usai jam makan siang aku boleh izin meninggalkan kantor sebentar?” tanyanya setelah Felix menatapnya dan memberikan isyarat untuk melanjutkan. “Mau ke mana?” Felix mengernyit sekaligus menyipitkan matanya. “Aku mau membawa adikku ke rumah sakit. Kemarin malam adikku demam,” Helena berdusta. Dalam hati Helena berulang kali menggumamkan kata maaf, ia terpaksa membawa-bawa nama Mayra agar Felix memberinya izin, walau tujuan utamanya ke rumah sakit memang untuk kepentingan sang adik. Helena terpaksa kembali mengarang kebohongan agar Felix tidak banyak bertanya. Felix menatap Helena lekat. “Ada konsekuensi yang harus kamu lakukan nanti,” ucapnya mencoba mencari peruntungan. Tanpa banyak berpikir, Helena langsung mengangguk. Ia menolak pun, hasilnya akan sia-sia. Semua perkataan Felix merupakan titah yang harus diturutinya. “Nanti malam kita tidur di apartemenmu. Aku ingin suasana berbeda.” Tanpa menjelaskan secara rinci pun Felix yakin Helena sudah mengerti maksud perkataannya. Helena menghela napas pelan setelah mendengar perkataan Felix. “Ternyata konsekuensi yang dimaksud tidak jauh-jauh dari urusan s**********n. Dasar, Tuan s**********n,” batinnya menggerutu. “Baiklah. Aku menerima konsekuensinya,” balasnya. “Tapi sebelum ke apartemenmu, kita akan ke butik yang khusus menjual underwear terlebih dulu. Aku ingin kamu membeli underwear atau gaun tidur yang sexy dan menggunakannya saat kita melakukan kegiatan ranjang. Aku ingin kegiatan kita malam nanti lebih panas daripada biasanya,” ungkap Felix secara frontal. “Buat apa juga membeli pakaian-pakaian tersebut yang harganya sangat mahal, jika ujung-ujungnya aku akan terbaring telentang tanpa busana. Buang-buang uang saja,” batin Helena mencibir keinginan Felix. “Baiklah,” Helena menyetujuinya tanpa protes. “Berarti sekarang kita ke kantor menggunakan mobil masing-masing, Fel?” tanyanya memastikan. Felix mengangguk. “Tapi kita berangkatnya tetap bersamaan,” ujarnya. Setelah mendengar jawaban Felix, Helena bangun dari duduknya. Ia membawa peralatan bekas makan mereka ke dapur dan langsung mencucinya. Baik Helena atau Felix memang tidak suka meninggalkan apartemen dalam keadaan masih kotor, termasuk ada peralatan makan yang belum dicuci setelah mereka gunakan. *** “Akhirnya selesai juga,” ujar Helena dan menyandarkan punggungnya pada kursi yang sedari tadi menyangga bobot tubuhnya. “Sebentar lagi jam makan siang,” gumamnya setelah melihat jam di pergelangan tangannya. Seperti biasanya Helena akan mengingatkan Felix setiap jam makan siang tiba. Helena merapikan meja kerjanya sebelum ke ruangan Felix untuk mengingatkan sang atasan. Helena terpaksa memasuki ruangan Felix tanpa izin, sebab ketukannya tidak mendapat tanggapan dari atasannya tersebut. Setelah berada di dalam ruangan, ia mengerutkan kening saat melihat Felix duduk bersidekap di sofa dan menyandarkan punggungnya. Kedua mata laki-laki tersebut pun terpejam rapat. Bahkan, suara high heels-nya yang beradu dengan permukaan lantai tetap membuat Felix bergeming pada posisinya. “Fel,” Helena memanggil Felix dengan nada pelan. “Ada apa dengannya? Tadi pagi ia sangat baik-baik saja,” batinnya bertanya-tanya sambil setia menunggu Felix menanggapi panggilan darinya. Karena panggilannya tetap tidak mendapat respons, Helena pun memutuskan untuk menyentuh lutut Felix dengan pelan sambil memanggilnya kembali, “Fel.” Dengan perlahan Felix membuka matanya dan menegakkan kembali tubuhnya. Ia menatap Helena yang berdiri di sampingnya. “Aku minta maaf karena memasuki ruanganmu tanpa perintah darimu. Tadi aku sudah mengetuk pintunya beberapa kali, tapi karena tidak mendapat respons, jadi aku putuskan untuk langsung masuk saja,” Helena langsung menjelaskan alasannya sebelum Felix memarahinya, apalagi saat melihat laki-laki tersebut kini hanya menatapnya. Felix mengangguk. Ia menerima penjelasan panjang lebar Helena tanpa dimintanya. “Mau makan siang di mana?” tanyanya dan mengulum senyum karena ekspresi ketakutan Helena. “Terserah kamu saja, Fel,” jawab Helena cepat. “Ngomong-ngomong, kamu kenapa? Ada masalah?” tanyanya penasaran karena tidak biasanya ia melihat Felix seperti tadi di kantor. Felix menggeleng. “Aku hanya lelah, tadi istirahat sebentar sambil menunggu kamu masuk untuk mengingatkanku akan jam makan siang,” beri tahunya santai. “Oh, aku kira kamu sakit,” balas Helena singkat. “Kepalaku memang sakit,” Felix menimpalinya. “Lebih tepatnya pening,” imbuhnya dan langsung pura-pura memijat pelipisnya. Raut wajah Helena seketika berubah karena pemberitahuan Felix. Ia memerhatikan Felix yang kini tengah memijat pelipisnya sambil memejamkan mata. “Mau aku ambilkan obat, Fel?” tanyanya khawatir. Felix menggeleng dan kembali membuka matanya. “Kamu obatku,” ujarnya pelan. “Maksudmu?” Helena langsung menyuarakan kebingungannya. “Kepalaku pening karena membayangkan kegiatan panas kita nanti malam,” Felix menjawabnya sambil mengedipkan sebelah matanya. Ia langsung berdiri ketika Helena membelalakkan mata setelah mendengar jawabanya. “Ayo kita makan siang, agar kamu bisa secepatnya membawa adikmu ke dokter.” Felix melewati Helena yang masih terpaku di tempatnya. Helena yang tersadar dari keterpakuannya pun langsung mendengkus saat mengetahui Felix mengerjainya. Ia menyusul Felix yang berjalan menuju pintu. *** Malam ini Helena tidak bisa pulang ke rumahnya, sebab ia harus melaksanakan konsekuensi yang tadi Felix pinta. Usai membeli pakaian kekurangan bahan di mall sekaligus makan malam di salah satu restoran, ia dan Felix langsung pulang ke apartemennya. Saat masih berada di kantor tadi, Helena sudah menghubungi Diandra mengenai ketidakpulangannya hari ini. Helena tadi meminta kepada Diandra untuk menyampaikan kepada Bi Mira jika ia akan tidur di apartemen agar wanita paruh baya tersebut tidak khawatir. Kemarin setelah pulang dari rumah Wira, Helena sempat menceritakan sepenggal kisah hidupnya dan memberi tahu Diandra mengenai pekerjaannya selain menjadi seorang sekretaris. Walau awalnya Diandra sangat terkejut mendengar pengakuannya, tapi sahabatnya tersebut tidak menghakiminya secara sepihak. Sambil menunggu Felix selesai mandi, Helena duduk sambil menyandarkan punggungnya pada sofa di ruang keluarga apartemennya. Ia memejamkan mata dan mengingat percakapannya tadi dengan dokter yang menangani Mayra di rumah sakit. Tanpa disadarinya Helena kembali menghela napas lega dan merasa senang. Bagaimana tidak, tadi dokter mengatakan akan memeriksa keadaan terkini Mayra dan setelah nanti mengetahui kondisi tubuh sang adik stabil, maka operasi transplantasi ginjal pun sudah bisa dijadwalkan. Dokter meminta kepada Helena agar Mayra dibawa ke rumah sakit besok lusa untuk dilakukan pemeriksaan. Helena pun langsung menyetujuinya agar kondisi terkini sang adik lebih cepat diketahui dan jadwal operasinya pun segera bisa ditentukan. Helena segera membuka mata sekaligus tersadar dari lamunannya saat mendengar ponsel Felix berdering. Sebelum menuju kamarnya untuk mandi, Felix meletakkan benda pipih tersebut di atas coffee table. Kening Helena mengernyit saat melihat hanya nomor yang ditampilkan pada layar ponsel tersebut. Ia memilih mengabaikan panggilan tersebut, mengingat dirinya tidak mempunyai wewenang untuk mengangkatnya. Apalagi mengetahui bahwa Felix sangat tidak suka jika barang miliknya disentuh atau diambil tanpa persetujuan lebih dulu darinya. Lima belas menit menunggu, akhirnya Felix keluar juga dari kamarnya. Laki-laki tersebut hanya mengenakan boxer untuk menutupi bagian bawah tubuhnya, wajahnya pun kini terlihat lebih segar setelah mandi. Dari posisi duduknya Helena bisa melihat rambut laki-laki yang sedang berjalan ke arahnya tersebut masih setengah basah. “Tadi ada yang meneleponmu, Fel,” beri tahu Helena sambil menghirup aroma sabun miliknya yang menguar dari tubuh Felix di dekatnya. “Siapa?” Felix bertanya setelah menjatuhkan bokongnya di samping Helena. Helena hanya mengangkat bahu. “Tidak ada namanya,” jawabnya jujur. “Awas kamu masuk angin, Fel,” Helena mengomentari penampilan shirtless Felix. Felix mengambil benda pipih yang posisinya masih sama sebelum ia tinggalkan mandi, yakni di atas coffee table. “Aku bisa menggunakan tubuhmu untuk menghalau dingin, begitu juga sebaliknya.” Ia menarik tubuh Helena dan langsung mendekapnya. Helena berontak. “Tubuhku masih bau keringat, Fel,” ujarnya dan mencoba melepaskan diri dari dekapan Felix. “Walau masih bau keringat, tapi aroma tubuhmu selalu berhasil membuatku tergoda,” balas Felix tanpa mengendorkan dekapannya meski ia melihat dan mencoba mengingat nomor yang tadi menghubunginya. Felix tidak mengenal nomor tersebut dan akan mencoba balik menghubunginya nanti, sebab kini ia ingin menggoda Helena terlebih dulu. “Fel, godaanmu itu terancam membuatku lupa status,” Helena bergumam pelan sambil kembali menghirup dalam-dalam wangi yang menguar dari tubuh Felix. Meski Helena bergumam pelan, tapi telinga Felix mampu mendengarnya. Ia mencubit gemas hidung Helena. “Kalau begitu, lupakan saja statusmu saat kita bersama. Jangan terlalu memikirkannya,” balasnya, kemudian mengecup ringan pelipis wanita yang didekapnya. Helena kembali memejamkan mata. Ia tidak memungkiri jika berada dalam dekapan Felix membuatnya merasa nyaman. “Hm,” responsnya singkat. Ia ingin mencari kenyamanan sejenak dalam dekapan d**a bidang Felix. Felix mengulum senyum setelah menunduk. Ia mendapati mata Helena terpejam. “Len, mandi dulu. Usai mandi aku akan menemanimu tidur di kamar,” bisiknya setelah menyampirkan helaian rambut Helena yang menutupi wajah wanita tersebut. “Hm,” balas Helena seraya membuka matanya. “Fel, beri aku waktu beberapa jam untuk tidur dulu ya, sebelum melaksanakan konsekuensi darimu,” imbuhnya dan langsung berdiri. Dengan cepat Felix menahan tangan Helena. “Malam ini kita tidak akan melakukan kegiatan yang menguras tenaga di atas ranjang. Satu-satunya aktivitas ranjang yang akan kita lakukan adalah kamu tidur dalam pelukanku,” beri tahunya penuh keseriusan. “Aku hanya ingin menikmati tidur sambil memelukmu tanpa diawali dengan kegiatan panas,” ulangnya saat Helena menatapnya penuh tanya. Helena mengerutkan keningnya karena ucapan Felix yang tidak terduga. “Lalu konsekuensi yang tadi kamu pinta? Lalu bagaimana juga nasib pakaian kekurangan bahan yang tadi kamu belikan untukku?” Felix terkekeh. “Konsekuensinya bisa kamu tepati di lain waktu. Gaun-gaun tidur sexy dan underwear tersebut, kamu simpan saja dulu. Gunakan saja kapan pun kamu mau,” Felix serius mengatakannya, sebab ucapannya tadi pagi hanya bermaksud untuk menggoda Helena. Meski benaknya masih bertanya-tanya mengenai perkataan Felix, tapi Helena tetap mengangguk. “Aku mandi dulu ya,” ucapnya agar Felix melepaskan tangannya. Ia tersenyum saat Felix mengerti maksud dari isyarat yang terkandung dalam ucapannya. *** Felix menepati ucapannya. Ia hanya tidur sambil memeluk tubuh Helena. Bahkan, ia membiarkan wanita tersebut tetap menggunakan piyama tidurnya saat berada di atas ranjang. Tidur Felix terganggu saat ponselnya yang tergeletak di atas nakas berdering. Tanpa membalikkan badan, Felix mengambil benda pipih tersebut dengan hati-hati agar tidak mengusik tidur Helena yang nyenyak. Felix mengernyit saat melihat layar ponselnya hanya menampilkan nomor orang yang meneleponnya, tanpa berpikir panjang ia pun langsung menolak panggilan tersebut. Namun, tidak berselang lama rasa penasaran mulai mengusiknya, jadi ia memutuskan akan menghubungi balik orang yang nomornya tidak dikenalnya tersebut. “Sst,” Felix menenangkan Helena yang menggeliat dalam dekapannya saat ia mencoba menjauhkan tubuh wanita tersebut. Setelah Helena kembali tenang, ia pun dengan perlahan menuruni ranjang. Tanpa menimbulkan suara, Felix membuka pintu kamar. Ia akan menelepon balik orang yang membuatnya penasaran di luar kamar agar tidak menganggu tidur Helena. Felix langsung men-dial nomor yang tadi ditolaknya. Setelah tersambung, ia pun menanti suara seseorang di seberang sana yang akan menjawab panggilannya. “Halo, Fel. Akhirnya kamu merespons panggilanku juga,” jawab seseorang di seberang sana tanpa basa-basi dan terdengar semringah. Felix mengerutkan kening setelah mendengar suara yang menjawab panggilannya. Ia berusaha mengenali suara tersebut yang pemiliknya ternyata seorang perempuan. “Maaf. Anda siapa? Dari mana Anda mendapat nomor pribadi saya?” cecarnya tanpa bertele-tele. Felix berasumsi bahwa tidak mungkin calon kliennya menghubunginya tanpa menyapanya dengan embel-embel Pak, sebatas sebagai bentuk kesopanan, terlebih saat ini sudah jam sebelas malam. “Kamu tidak mengenali suaraku, Fel? Kamu benar-benar melupakanku, Fel?” tanya perempuan di seberang sana secara beruntun. “Atau kamu hanya berpura-pura tidak mengenaliku, Fel?” imbuhnya dengan nada mengiba. “Maaf, saya tidak ada waktu melayani Anda bermain tebak-tebakan,” sergah Felix frontal. “Jika tidak ada kepentingan lagi, akan saya putuskan sambungannya. Meladeni Anda bermain tebak-tebakan hanya akan membuat saya kehilangan waktu untuk beristirahat,” gertaknya sambil menahan rasa kesal. “Aku Priska, Fel,” ungkap perempuan tersebut dengan nada lirih. “Aku yakin kamu masih mengingat nama tersebut, Fel,” sambungnya memastikan. Rahang Felix mengetat setelah lawan bicaranya mengungkapkan namanya. Tangannya yang menggantung bebas mengepal kuat, hingga membuat urat-uratnya terlihat jelas. Tanpa diundang, sebongkah rasa sakit langsung menyerang rongga dadanya. Sekelebat ingatan masa lalu pun kini silih berganti dengan lancang menari-nari di benaknya. “Oh, ternyata kamu,” balas Felix dengan nada datar. “Iya, Fel. Ini aku, Priska,” ujar Priska penuh kelegaan. “Aku ….” “Ternyata kamu masih mempunyai nyali. Bahkan, nyalimu besar juga untuk menghubungiku,” sela Felix penuh penekanan dan tersenyum sinis meski tidak dapat dilihat oleh lawan bicaranya. “Fel, aku ….” Felix langsung mengakhiri panggilannya secara sepihak, tanpa membiarkan Priska menuntaskan ucapannya. “s**t!” umpatnya geram. Ia menuju dapur, ingin meneguk air minum untuk mendinginkan kepalanya yang seketika panas. *** Di seberang sana, seorang wanita menatap nanar layar ponselnya. Sambungan teleponnya diputus secara sepihak oleh orang yang menghubunginya. Ketakutan yang selama ini menghantuinya akhirnya menjadi kenyataan. Lawan bicaranya tadi ternyata masih sangat menyimpan dendam padanya. Mengikuti saran adiknya, akhirnya Priska memberanikan diri menghubungi Felix terlebih dulu sebelum menemui laki-laki tersebut untuk meminta maaf secara langsung. Namun, kini harapannya untuk bisa bertemu langsung kian menipis setelah mendengar reaksi Felix melalui telepon. “Sudah dicoba?” tanya Mariska yang duduk sambil menonton televisi. Priska menjawab pertanyaan Mariska hanya dengan anggukan lemah. Ia duduk di samping sang adik. “Tidak diangkat?” tebak Mariska saat melihat ekspresi wajah sang kakak. Priska menghela napasnya pelan. “Awalnya tidak diangkat, tapi tadi Felix sendiri yang menghubungiku. Setelah aku mengatakan namaku, nada suara Felix terdengar dingin dan sangat jelas masih menyimpan amarah,” ceritanya kepada sang adik. “Menurutku itu hal yang wajar,” Mariska berpendapat. “Ya sudah, kalau begitu besok dan seterusnya kamu coba lagi hubungi Felix. Apalagi tujuanmu hanya untuk meminta maaf dan dimaafkan,” sarannya. Priska mengangguk gamang mendengar pendapat dan saran dari sang adik. Ia memejamkan matanya, berharap suara Felix melekat di pikirannya setelah sekian lama tidak mendengarnya. *** Sekembalinya dari dapur, Felix menaiki ranjang secara perlahan. Ditatapnya dengan lekat wajah damai Helena yang tengah meringkuk. Walau Helena hanya penghangat ranjangnya, tapi sejauh ini wanita di hadapannya masih dan tetap menghargai hubungan yang terjalin di antara mereka. Meski sama-sama meninggalkan rasa sakit, tapi Felix lebih bisa menerima hubungannya diakhiri secara sepihak daripada dikhianati. “Kenapa?” Felix bertanya saat melihat Helena tiba-tiba membuka mata. “Mau ke mana?” Ia mengernyit ketika Helena menjauhkan tangannya yang bertengger di pinggang wanita tersebut. “Ke kamar mandi,” jawab Helena parau sambil bergegas menuruni ranjang. Felix mengangguk dan terkekeh melihat ekspresi Helena yang setengah berlari menuju kamar mandi. Ia yakin Helena pasti sangat kesal karena tidur lelapnya diinterupsi oleh kinerja organ tubuhnya sendiri. Sambil menunggu Helena kembali, Felix mengubah posisi menyampingnya menjadi telentang. Ia menatap gamang langit-langit kamar Helena. Rasa mengantuknya telah menghilang entah ke mana setelah usai berbicara dengan wanita yang tidak pernah diharapkannya lagi. Felix menolehkan kepalanya ke samping saat merasakan ranjangnya bergerak. “Sudah merasa lega?” tanyanya saat melihat Helena menguap. “Hm,” jawab Helena yang sudah kembali memejamkan mata. Felix kembali berbaring menyamping. Ia menarik tubuh Helena ke pelukannya. “Kelihatannya kamu sangat kelelahan dan mengantuk,” bisiknya dan mulai mengusap punggung Helena menggunakan sebelah tangannya. Ia menumpukan dagunya pada kepala Helena yang menyentuh dadanya, dengan harapan matanya segera bisa terpejam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD