Istri yang Selalu Diam

1566 Words
“Nyonya! Nyonya Isabella!” Seorang gadis muda dengan pakaian pelayan di abad pertengahan berjalan tergopoh-gopoh di lorong menuju tuannya yang tengah duduk sendirian di ruangan khusus untuknya menyulam. Dia membuka pintu ruangan dengan cepat dan menimbulkan suara keras. Wanita cantik yang dipanggil Isabella itu kemudian menengok perlahan. “Anne, jangan berlari. Selalu perhatikan tata kramamu.” Setelah menceramahinya tentang manner ala bangsawan, Isabella menunduk lalu kembali fokus pada sulamannya yang sudah setengah jadi. Anne yang masih terengah-engah, ia segera mengangguk dan langsung memperbaiki posturnya. Anne kemudian berjongkok rendah di samping Isabel. “Nyonya Isabella, Tuan Aiden sudah pulang.” Isabella menghentikan sulamannya. Ia menatap kembali gadis muda yang melayaninya itu. Tidak ada senyuman hangat atau pun perasaan senang ketika mendengar kabar dari kepulangan suaminya setelah ekspedisi di wilayah selatan. “Benarkah?” Anne mengangguk semangat menjawab pertanyaan Isabella, tetapi dalam sekejap ia murung kembali. “Seperti biasanya, Tuan kembali membawa beberapa sampah.” “Anne!” Isabella menaikkan nada bicaranya. Anne segera menutup mulutnya dan menundukan kepalanya. Dia merasa tidak ada yang salah dengan apa yang ia ucapkan tadi. Sampah yang ia maksudkan di sini adalah wanita antah-berantah yang tuannya tiduri dan ia bawa kembali ke rumah dengan alasan untuk bertanggung jawab. Isabella menghela napas, terlihat lelah. “Berapa?” “Hanya satu, namun dia agak sedikit berbeda dari yang biasanya.” Anne berlagak seperti detektif yang tengah kesal. Isabella yang meliriknya kecil agak sedikit terhibur dengan wajah Anne yang penuh dengan berbagai emosi. Bahagia, sedih, marah, kecewa. Anne memiliki semua itu. Isabella menjadi sedikit iri pada gadis muda itu yang telah bersumpah setia kepadanya sejak remaja. “Apa dia memiliki sepasang sayap atau ekor?” Isabella tidak menganggap serius ucapan Anne dan kembali melanjutkan sulamannya, ia tidak terlalu tertarik pada wanita-wanita yang suaminya bawa. Kekayaan keluarga Porvich memang hampir tidak terbatas, bahkan dengan dukungan keluarga kerajaan, keluarga Porvich memiliki sepertiga dari total kekayaan di kerajaan ini. Isabella sendiri adalah putri keluarga kerajaan yang sengaja dinikahkan dengan Aiden untuk menjaga keluarga Porvich agar tidak melaksanakan kudeta pada kerajaan. Dalam dua tahun pernikahan mereka, tidak pernah sekalipun Aiden meliriknya dan juga Isabella tidak memiliki minat pada pria pemain wanita sepertinya. Mereka hanya pasangan dalam akta pernikahan, namun orang asing di kehidupan nyata. Meski dulunya mereka adalah sahabat dekat. Jadi, Isabella sama sekali tidak tertarik pada wanita yang Aiden bawa. Ia hanya harus mengurus bagian tugasnya sebagai istri seorang Duke dan hidup dengan tenang. Tidak perlu ada konflik, apalagi kecemburuan yang tidak berarti. “Bukan! Bukan seperti itu, aku juga baru pernah melihat wanita sepertik itu, Nyonya! Dia sangat cantik seperti rembulan dengan rambut keperakan miliknya dan mata biru safir yang saaaangat cantik, seolah ada cahaya yang menyorot keluar dari sana!” Anne menggebu-gebu sendiri saat menceritakannya. Entah kenapa, Isabella bisa merasa Anne tengah marah dan kesal hanya dari melihat sorot matanya saja. Isabella tersenyum kecut. “Itu bagus, setidaknya Duke akan mempertahankannya sedikit lebih lama.” Cepat membawa, cepat juga mengusir. Itu adalah kebiasaan Duke Aiden selama ini. Dari semua wanita yang pernah ia bawa, hanya tersisa satu atau dua selir yang mampu bertahan hingga saat ini. Itu juga karena mereka melahirkan seorang anak. Selain itu, Duke Aiden mengusir mereka semua dengan alasan bosan ataupun sudah muak melihat tubuh mereka. Alasan yang sangat klise sekaligus menohok hati. Anne cemberut, dia tidak mengharapkan reaksi datar seperti ini. Dia ingin Nyonya Isabella marah dan cemburu, lalu berbuat sesuatu sehingga mengusir semua sampah sialan itu dari rumah mewah ini. “Anne.” “Ya?” Anne berbinar, ia berharap jika Nyonya Isabella akan memberikannya perintah nakal untuk mencampur air mandi para selir dengan cairan gatal ataupun merobek semua baju-baju di lemari mereka. “Buatkan aku secangkir teh, dengan ekstrak cammomile.” Anne menghela napas, tentu saja, Nyonya Isabella tidak akan mungkin merencanakan hal yang sangat menyenangkan itu. Dia hanya akan diam dan pergi saat melihat suaminya di pegang oleh wanita lain. Sungguh, Anne merasa kesal sekaligus kasihan melihat Nyonya Isabella yang terus-terusan membuang perasaannya sendiri. “Baik, Nyonya Isabella.” Anne berdiri dan membungkuk sebelum kemudian ia pergi ke dapur untuk membuat secangkir teh, dengan ekstrak cammomile tentunya. Mendadak Isabella terlupa sesuatu, ia juga ingin makan beberapa kue. “Anne ....” Isabella menoleh dan mendapati bahwa Anne telah pergi. Dia berpikir mungkin Anne belum pergi jauh dari sini. Isabella beranjak dari tempat duduknya dan meletakkan hasil sulaman setengah jadi itu di atas meja, ia berjalan tenang menuju ke luar dan membuka pintu dengan perlahan, tidak boleh menimbulkan suara derit. Satu langkah ia ambil, tetapi sebuah badan kecil tiba-tiba datang dan menabrak sisi samping tubuhnya dengan keras. “Ah! Maafkan aku! Aku sungguh-sungguh minta maaf!” Isabella terhuyung, tetapi ia dengan cepat menstabilkan posturnya kembali dan menoleh ke arah siapapun yang lancang telah menabrak dirinya yang tengah kelaparan itu. “Rambut perak ...,” gumam Isabella, sepertinya wanita yang baru saja dibicarakan Anne sudah berada di depannya. Mendengar kata rambut perak, wanita itu langsung menengadahkan wajahnya, mempertontonkan bola netranya yang menyorot indah seperti kedalaman samudera. “Wah, anda cantik sekali.” Wanita itu menyengir lebar saat menatap Isabella, dia kemudian menegakkan punggungnya dan menyisir rambut peraknya dengan jemari tangannya yang terlihat lentik, meletakkan sebagian dari ombak rambut itu ke belakang kepala. “Perkenalkan, namaku—” “Luna!” Muncul sesosok pria yang tidak asing di mata Isabella. Duke Aiden Porvich sekaligus suami sahnya di atas akta pernikahan. Pria itu datang dengan langkah tergesa menuju kedua wanita itu berada. “Anda sudah pulang, Duke.” Isabella menyambutnya dengan membungkukan diri selayaknya seorang istri. Aiden menggandeng Luna dengan cepat dan hanya mengangkat tangannya yang lain sebagai respons atas salam yang diberikan Isabella. Melihat kepergian suaminya dengan menggandeng tangan wanita lain, Isabella hanya diam tanpa berkata apa pun. Dia menatap mereka hingga menghilang di persimpangan lorong. Isabella berbalik dan memilih untuk kembali masuk ke ruangannya. Sepertinya ia sudah tidak lapar lagi saat ini. “Aiden, siapa wanita cantik itu?” Luna menggenggam erat lengan Aiden, pria itu berdeham kecil sambil memeluk pinggang ramping Luna dari samping dan segera membawanya masuk ke ruang pribadinya. “Dia? Istriku,” jawab Aiden acuh tak acuh. Aiden menaikan sudut bibirnya, lagipula mereka hanya menikah dengan alasan formalitas. Hah, persetan dengan formalitas. Dua tahun mereka menikah dan Isabella sama sekali tidak mau menatapnya. Bagaimana dia bisa membangun pernikahan yang didamba-dambakan jika seperti itu kondisinya? Luna mengedipkan matanya yang bulat seperti boneka. “Istrimu? Tapi dia cantik sekali, jika begitu, Aiden tidak akan membutuhkan Luna lagi ....” Aiden mendesah pelan, dia menangkup pipi wanitanya itu dengan penuh cinta, mungkin orang menyebutnya dengan kata nafsu sekarang ini dan menatapnya intens. “Tidak, sama sekali bukan begitu, Luna sayang. Aku dan dia hanya menikah, menikah kau tahu? Mengucapkan beberapa janji bodoh di hadapan pendeta dan berbagi rumah yang sama. Bahkan selama dua tahun ini aku tak pernah sekalipun tidur dengannya ... dan dia juga, tak pernah sekalipun mencoba untuk menyapaku ....” Aiden sedikit bergumam di kalimat akhir, tetapi ia kembali fokus dan menatap Luna. “Kau wanitaku, artinya kau adalah orang yang mendapatkan hatiku. Kau mengerti? Kau yang menang.” Cup. Aiden menaruh satu kecupan ringan di bibir penuh dan mungil milik Luna. Pria bersorot tajam itu mencoba untuk menciumnya lagi, tetapi jemari Luna menahan bibir Aiden yang hendak melahapnya. “Tidak, Luna tidak menang. Luna kalah.” Aiden memiringkan wajahnya. “Apa yang kau maksud?” “Luna ingin menjadi istri Aiden! Bukannya wanita cantik itu!” Luna menggembungkan pipinya kesal, seolah merajuk bahwa status suami-istri adalah hal yang bisa dilempar kemanapun dan siapapun. Aiden tertawa, menganggap bahwa ucapan Luna konyol dan tidak memiliki dasar. Seberengsek apapun dirinya, ia tetap seorang Duke dari keluarga bangsawan yang memiliki status tinggi. Dia tidak akan mengangkat wanita sembarangan untuk menjadi istrinya. “Kenapa kau ingin posisi seperti itu? Kau hanya akan terkurung di dalam ruangan dengan setumpuk berkas dan guru tata krama di sana. Lebih baik seperti ini kan, bebas dan mempesona.” Kecupan ringan lainnya di leher Luna, membuat wanita itu mengerang rendah. “Aiden sangat nakal!” Luna berakting seolah-olah ia hendak pergi dari kungkungan pria itu, tetapi dengan cepat Aiden menangkap wanitanya kembali dan langsung menindihnya. “Maaf, Luna. Sepertinya kau harus terjaga lagi malam ini,” bisik Aiden tepat di telinga Luna, membuat telinga wanita itu memerah. Aiden dengan cepat melahap telinga Luna dan mulai melaksanakan aktivitas rutinnya setiap malam. Di tengah huru-hara antara Luna dan suaminya, Isabel tengah duduk di kamarnya sambil menatap bulan dari balik jendela besar. Ia menyeruput teh cammomile kesukaannya dan mengambil beberapa potong kue untuk dimasukan ke dalam mulut. Isabel sangat menyukai suasana ini. Tes. Isabel mengedipkan matanya, setitik air mata tiba-tiba jatuh dari pelupuk matanya. Ia meletakkan cangkir favoritnya di atas meja dan mengelap tetes air mata yang sangat tidak mungkin keluar pada dirinya. “Kenapa?” tanyanya bingung, pada dirinya sendiri. Isabel hanya termenung menatap tangannya yang lembab, tatapannya kosong lagi. Ia selalu seperti ini, sejak dahulu, sejak ia menapakkan kaki di rumah keluarga Porvich. Isabel menarik sudut bibirnya tipis, membentuk senyuman miris pada dirinya sendiri. “Apa pertahananku selama ini akhirnya runtuh?” Ia mengambil cangkir berisi tehnya lagi dan menatapnya lama. Perlahan, warna teh yang sebelumnya bening dan kemerahan itu kini menjadi lebih pekat. Dia sempat melirik surat dari ibunya—sang Ratu yang mengundangnya untuk berkunjung ke istana. Isabella tersenyum tipis. “Mati secara diam-diam bukan jalan yang buruk juga, ‘kan?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD