01

1947 Words
Geovano Arswendo, itu namaku. Aku seorang pengusaha muda yang cukup mencintai pekerjaan, meski tidak bisa dibilang muda juga. Aku pria berusia 30 tahun yang sering diteror dengan pertanyaan kapan nikah oleh teman-teman, sahabat bahkan kerabatku termasuk orangtua ku. Terima kasih untuk mereka yang tidak tau betapa kesal dan malasnya aku jika ada pertemuan dengan mereka. Mendengar pertanyaan seperti itu memang menjadi makanan ku walaupun tidak sehari-hari, karena kalau sampai mereka menanyakannya tiap hari, maka kurasa saat ini aku sudah ada di Alam lain, bukan di Bumi ini lagi karena lebih memilih bunuh diri saja. Kalau kalian tanya kenapa aku jomblo? Jawabannya mudah. Aku masih belum bisa berhenti bermain dengan wanita-wanita yang bisa memberikan kenikmatan kapan saja. Dan alasan lainnya adalah aku yang pengecut tidak berani mendekati adik rekan kerjaku yang sudah ku taksir sejak aku ke rumahnya dulu. Sangat bodoh memang, padahal aku memiliki wajah yang lumayan tampan, tapi rasanya aku masih tak siap menerima penolakan ketika gadis itu sama sekali tak mencoba menarik perhatianku saat aku kerumah rekan kerjaku yang bernama Agam Ziecola. *Flashback On* Aku berkunjung ke rumah Agam atas permintaan pria itu untuk mengganti jadwal yang siang ini kami lewatkan karena Agam yang harus menjemput istrinya. Sudah beberapa kali mengetuk pintu, tapi sepertinya tidak ada jawaban dari dalam karena sampai saat ini, pintu didepan ku tak kunjung terbuka. Aku memang lupa mengiyakan Agam bahwa aku akan benar-benar datang malam ini atas ajakan pertemuan pria itu, jadi mungkin pria itu tidak mengira aku akan datang dan malah membuat kegiatan di luar. Saat ingin menelpon Agam, seseorang dari dalam terdengar mendekati pintu dan membukanya hingga aku tertegun melihat gadis dengan satu handuk yang melilit tubuhnya dan satu handuk lagi membungkus rambutnya yang sepertinya basah. Aku meneguk ludah dengan cukup sulit dan menatap gadis itu lebih lekat. Oh ayolah, jangan kurang ajar, mataku. Gadis itu membelalak dengan wajah memerah dan segera menutup pintu. Aku tersenyum kecil karena kecanggungan itu. Harus kuakui bahwa aku terlalu normal hingga pikiranku sontak berfantasi liar, tapi aku segera mengenyahkannya. Meski b******k, kuakui aku tidak suka tindakan kekerasan untuk seks, dan aku hanya melakukannya dengan orang yang bersedia, bukan dengan cara memaksa. Lagipula gadis itu adalah adik dari rekanku yang kini seolah menjadi akrab denganku. "Maaf kak, tunggu sebentar ya di luar" ujarnya dari balik pintu hingga aku mendengar dengan jelas ia mengunci pintu, mungkin takut aku masuk tanpa izinnya. Ya, seandainya saja aku kurang waras karena pikiran buruk atau bahkan karena mabuk, aku mungkin akan menerobos masuk ke dalam untuk menyerangnya. Tetapi hal itu tak ku lakukan karena aku sepenuhnya sadar dan tidak dalam pengaruh alkohol ataupun pikiran buruk. Ya, setidaknya aku berusaha untuk tidak berpikiran buruk, kan. "Iya" jawabku singkat dan langsung duduk di sebuah kursi yang ada di depan rumah, merasakan angin malam yang menusuk kulitku karena lengan kemeja yang kugulung hingga siku. Aku membuka dua kancing teratas kemejaku karena tiba-tiba merasa gerah mengingat betapa mulus bahu dan leher yang tadi sempat kulihat. Aku menelpon Agam untuk memberitahukan pria itu bahwa aku di rumahnya, takut jika hal-hal yang diinginkan oleh kepalaku menjadi nyata setelah melihat gadis dengan balutan handuk di alamat yang diberi Agam padaku. Tidak butuh waktu lama bagiku untuk menunggu panggilan itu tersambung karena ternyata Agam langsung mengangkat panggilanku. "Halo" sapanya dari sebrang sana dengan suara yang cukup ramah. Meski suara itu terdengar bersahabat, tapi aku sedang kesal padanya. "Lo di mana?" tanyaku tanpa berpikir panjang. "Lagi di luar, ini perjalanan pulang. Kenapa?" tanyanya dengan santai. Seolah ia tak memiliki janji apa-apa denganku. "Gue di rumah lo, berniat menggantikan jadwal temu kita yang lo ganggu dan lo bilang jadi malam ini" desisku kesal dan dengan sengaja menyindirnya supaya ia sadar. Agam terkekeh membuatku hanya menggelengkan kepala berusaha memaklumi "Sorry, gue pikir nggak jadi, abisnya lo nggak bales chat gue" ujarnya beralasan dan itu memang masuk akal sehingga aku bisa menerima alasan yang ia lontarkan. "Jadi gimana?" tanyaku. Aku tidak mungkin lebih lama di sini jika ia ada kegiatan panjang di luar. "Adek gue di rumah, masuk aja. Suruh buatin minum dulu. Entar lagi gue sampai" usulnya yang membuatku tak habis pikir. Bisa-bisanya dia percaya nyuruh aku masuk, padahal adiknya hanya sendirian di rumah. Kakak macam apa dia itu? Memangnya dia tidak takut aku melakukan hal buruk pada adiknya. "Lo pikir gue tamu macem apa yang minta dibuatin minum" desisku tajam karena walau bagaimanapun aku masih tau diri dan tau menempatkan diri. "Sama adek gue elah" dengkusnya. Dia pikir aku sama adeknya akrab apa. Sama dia aja baru kenal dan mengakrabkan diri sejak dua bulan lalu, ini malah langsung sok akrab dengan orang yang baru ku lihat malam ini. Dan walaupun baru kulihat, aku sudah berani membuat fantasi liar dalam otakku. Sial. "Yaudahlah, buruan nyetir sampai rumah" saranku. "Iya" setelah itu sambungan telpon kami terputus dan adik Agam muncul dengan piama doraemon dan rambutnya yang basah sudah disisir rapi meski air dari sana sepertinya masih menetes membasahi baju gadis itu. oh, aku juga ingin membuatnya basah. "Eum, maaf kak, kakak ini siapa ya?" tanyanya dengan tutur kata yang sopan dan lembut. Senyum manisnya membuatku ikut mengembangkan senyum lebih lebar. Aku mengulurkan tanganku padanya "Geo, rekan kerja Agam. Kamu adiknya?" sekedar berbasa basi walaupun aku sudah tau jawabannya. Ia membalas uluran tanganku dengan senyum kecil yang terasa sangat menyejukkan hati "Iya kak, aku adiknya kak Agam, Christa" ujarnya memperkenalkan diri. "Jadi kakak mau ngapain ke rumah? Soalnya kak Agam lagi nggak di rumah" "Mau bahas soal kerjaan. Aku udah telpon kakak kamu, katanya lagi di jalan" jelasku tak ingin membuatnya berpikir yang buruk. "Oh gitu, yaudah, ayo masuk kak. Aku buatin minum dulu" ia mempersilahkan aku masuk. Dari belakang, jadi pengen nyerang. Oh pikiran sialann yang benar-benar menjebakku untuk berbuat jahat nantinya. Aku ikut arahan Christa untuk duduk di ruang keluarganya, sementara ia permisi dengan tujuan membuatkanku minum yang kuangguki dengan mengajukan keinginan untuk minum kopi. Aku hanya diam sambil memperhatikan ruang keluarga itu dengan mata meneliti karena ini pertama kalinya aku ke rumah Agam, sampai akhirnya beberapa menit kemudian Christa datang membawa segelas kopi yang kuangguki dengan balasan terima kasih. Ia duduk di depanku dengan sedikit gelisah karena suasana yang cukup canggung sampai akhirnya ia menatapku "Maaf ya kak tadi aku nggak sopan bukain pintunya, soalnya aku pikir kakak itu kak Agam karena kak Agam nggak bawa kunci rumah" ujarnya menjelaskan keteledoran tadi. Aku tersenyum kecil lalu mengangguk, tidak merasa terganggu meski pikiranku sedikit terbayang dengan hal tersebut. Tapi kalau ingin mengulang kejadian itu, aku masih mau melakukannya atau kalau boleh justru yang lebih dari itu. "Nggak apa-apa" jawabku seadanya karena takut ia masih merasa tak enak hanya dengan anggukan saja. "Kakak udah makan?" tanyanya dengan cukup mengejutkan. Aku berpikir sejenak mengingat kapan terakhir kali aku makan karena hari ini aku benar-benar sibuk dan ternyata melupakan makan siang "Belum" jawabku seadanya, tidak mencoba berbohong sedikitpun karena tiba-tiba perutku berulah dengan mengeluarkan bunyi-bunyi memalukan. "Makan dulu ayo kak, aku ada masak tadi sore. Sambil nunggu kak Agam pulang juga" "Nggak usah, malah ngerepotin" aku menolak karena tak enak hati. "Nggak apa-apa kak, lagian kakak kan tamunya kak Agam" Dan akhirnya aku mengangguk setuju hingga berakhir dengan merasakan masakan gadis itu yang ternyata enak. Dalam hati aku seperti sedang memberi pujian atas nilai plusnya sebagai seorang gadis. Begitu Agam sampai, kami akhirnya membahas mengenai pekerjaan dan beberapa selingan pembicaraan mengenai hal yang kurang penting. Tapi begitu aku menyinggung Agam mengenai adiknya yang pandai menjamu tamu, pria itu langsung bercerita mengenai adiknya. "Christa tuh pernah kena tegur sama Mama gue waktu masih SMP karena kalo ngejamu tamu macam lagi ngejamu musuh, nggak ada menawarkan minum sama sekali tapi disuruh nungguin pihak bersangkutan. Awalnya dia tetep cuek, tapi waktu mama pergi, dia bilang kalo dia bakalan lakuin semua omelan mama seperti belajar jadi gadis beneran" Aku tersenyum kecil membayangkan betapa Christa akan sangat menyebalkan jika dia memperlakukan aku bak seorang musuh yang disuruh menunggu Agam tanpa menawarkan minum ataupun makan. Aku tahu benar bahwa menghadapi orang baru memang tidak mudah, kita juga sulit bersikap ramah jika kebiasaan kita adalah sedikit cuek dan sebaliknya. "Tapi ya syukur lah, seenggaknya dia sadar juga posisinya sebagai cewek ya harus bisa apa aja apalagi mengenai pekerjaan rumah" bangga Agam menceritakan kebolehan adiknya yang walaupun tidak ku lihat tapi aku percaya melihat seberapa dewasa Christa memperlakukan tamunya dan setelah merasakan masakan gadis itu. *Flashback Off* Ya, itulah kisah pertama kali aku bertemu dengan adik Agam dan membuat aku malah semakin menggebu untuk memilikinya. Rasa yang belum pernah ku miliki sebelumnya yaitu, ingin memiliki ia untukku sendiri. Sejak itu, aku jadi lebih mengakrabkan diri kepada Agam dan membuat usaha untuk sesering mungkin mengunjungi rumahnya supaya dapat melihat Christa, tapi tampaknya Christa tak begitu tertarik denganku karena setiap aku datang, ia selalu pergi meninggalkan kami, dan masuk ke kamarnya. Memang menurut informasi yang kudapat dari Agam, Christa itu adalah tipe orang yang di rumahnya cenderung hanya di dalam kamar saja jika tidak ada keperluan yang sangat mendesak untuk keluar, tapi tetap saja bagiku itu adalah cara menghindar dari aku. *** Aku terkekeh sambil menggelengkan kepala karena lelucon teman-temanku mengenai mantan Dion yang tadi sempat berselisih jalan dengan kami ketika kami memasuki restoran. Dan kini mereka menceritakan segala keburukan wanita bernama Sindi itu hingga Dion puas. Aku hanya menggelengkan kepala melihat betapa besarnya efek kata putus dari Sindi untuk Dion yang begitu memuja wanita itu. Dalam hati, aku hanya berharap Dion menyesal telah memaki mantannya itu karena aku yakin bahwa keduanya akan berakhir dengan kata balikan, hal itu tertera jelas diwajah Dion yang tak rela melihat Sindi jalan dengan pria lain tadi. Aku menyipitkan mata ketika melihat dari jauh ada keberadaan gadis yang ku kenal sedang berjalan memasuki restoran bersama teman perempuan prianya, dan aku sedikit tak suka melihat hal itu. Bibirku ikut mengembang melihat wanita itu tertawa riang setelah sebulan lebih kami tidak bertemu. "Eh, kak Geo" sapanya dengan wajah terkejut melihat keberadaanku yang tersenyum canggung padanya. Teman-temanku menghentikan ceritanya dan langsung menatapku dengan penasaran. "Lagi ngapain, Ta??" tanya Geo berbasa-basi, lagipula itu cara supaya mereka bisa berbicara dan saling tatap lebih lama. Ia melirik teman-temannya lalu kembali menatapku "Mau ngerjain tugas kuliah sama temen-temen kak" jawabnya. Aku ikut melihat ke arah ia melirik teman-temannya. "Yaudah gih, kasihan temen-temen kamu nunggui" ujarku tak enak melihat kedua teman Christa berdiri sambil mengamati kami. Setelah itu pamit sambil membungkukan tubuhnya sedikit sebagai tanda kesopanan. Aku tersenyum kecil melihat gadis itu ternyata tidak mengabaikan ku ketika bertemu di luar seperti ini. "Lo udah tobat?" tanya Dino disambut tatapan menyelidik yang sama oleh Dion dan Leano. "Tobat apaan?" dengkusku lalu mengaduk minumanku sebelum meneguknya, mengabaikan teman-temanku yang ku tahu pasti bahwa mereka sangat penasaran. "Sekarang mainnya sama anak kuliahan" ejek Leano. Dino mengangguk setuju "Mau nyari rasa baru" timpalnya. Aku menggelengkan kepala begitu dugaan mereka semakin jauh "Itu adik rekan kerja gue. Gila lo pada" "Kita yang gila padahal tatapan lo kelihatan banget mau meneliti dia sampe bagian terdalem" sindir Dino diangguki oleh Leano dan Dion. Sebagai laki-laki, mereka jelas memahami bagian itu, tapi aku ragu kalau Christa sedikit bisa merasakan tatapanku padanya jauh lebih dalam. "Kalau bisa, gue emang maunya begitu. Gue berharap dia jadi istri gue" ujarku tanpa menutup-nutupi. Ya, aku memang gila. Menyukai gadis kuliahan yang umurnya beda 8 tahun denganku dan baru kukenal selama 3 bulan terakhir. "Gila lo" desis Dion setelah terbatuk-batuk karena terkejut "Ngga ada niat pacaran, tiba-tiba mau dijadiin istri aja" "Niat baik nggak boleh ditunda-tunda” ujarku sambil terkekeh selagi mengamati wajah teman-temanku yang mendesis sinis. Sepertinya ucapan sok bijakku mampu membuat perut mereka bergejolak hingga ingin muntah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD