"Kadang-kadang kupikir keahlian mencurimu bukan datang dari belajar tekun dan berlatih, kau pasti diberkati oleh neraka," katanya dengan sangat serius dan menepuk pipiku. "Oh ya, apakah dia tampan?"
Aku tersenyum dan mengangguk pelan. Tak seorang pun akan percaya bahwa aku telah menjadikan pria yang kokoh dan paling disegani di tanah ini menjadi sebuah lelucon pagi nanti.
Aku memerintahkan Mercy segera kembali pada nenek dengan pedang yang diinginkannya. Aku yakin beberapa menit lagi pangeran itu akan memerintahkan semua pasukan untuk mendapatkan kembali pedang itu.
Aku dan Rose berpencar mengecoh para prajurit yang mulai berlarian. Aku menuju taman kota, berdiri sejenak mengagumi keindahannya.
Saat kutarik nafas dalam-dalam untuk mengisi paru-paru, alih-alih semerbak bunga, yang kuhirup adalah aroma busuk menyengat bunga bangkai.
Aku tidak mendengar gerakannya sama sekali. Sedetik kemudian kurasakan dinginnya mata pisau di leher belakangku.
"Kali ini aku tak akan melepaskanmu Moonglade." Suara berat mirip gorila.
"Kau mengancam wanita dengan pedang?" kataku, sangat pelan.
"Wanita yang tidak punya sopan santun, menyelinap ke kamarku, mencuri, lalu menyihirku menjadi makhluk menjijikkan. Haruskah aku mengampunimu?" Nadanya pelan penuh ejekan.
Aku terdiam untuk sesaat, mata pedangnya dengan sangat perlahan menekan kulitku.
"Berbalik!" bisiknya. "Kau penyihir licik dengan serbuk menjijikkan."
Aku berbalik, penasaran bagaimana sihirku bekerja. Kali ini dia mengenakan jubah yang berat dan sebagian wajahnya tertutup tudung.
"Apakah Anda tidak ingin meminta bantuanku untuk menghapus bisul-bisul itu?"
Aku hampir tersenyum geli. Wajahnya yang tampan sekarang mirip dengan gelandang yang tak pernah mandi.
Beberapa bisul di dahi mengeluarkan nanah. Pangkal hidungnya membesar dengan bisul yang memerah.
"Mungkin." Satu alisnya yang tebal terangkat.
Aku berdeham karena menyadari tatapan matanya yang merupakan campuran amarah dan godaan untuk menebas leherku.
Suaraku tidak cukup stabil karena pedangnya sekarang turun menuju leher bawah. "Kurasa kita harus segera mengobati tubuh Anda, Pangeran."
"Aku tidak sedang terburu-buru." Ia menarik liontin kalung berbentuk kunci di dadaku, lalu memutusnya.
Kalung itu sudah ada di leherku sejak kecil, ada yang bilang bahwa itu peninggalan ayahku, tapi entah mengapa aku tidak mengingat apapun tentang orangtuaku.
Aku terkesiap, terkejut ketika ia dengan satu langkah maju menarik lepas pedang yang kuikat di punggung.
Ia menatap langsung ke arah mataku, seperti ingin menemukan sesuatu di dalamnya. Dia tidak mengatakan apa-apa, aku juga tidak.
Jari telunjuknya mengusap sarung pedang yang penuh dengan ukiran emas, lalu berakhir di dekat pangkal gagang, di sana terdapat lubang kecil, lubang kunci.
Aku baru melihat pedang yang seperti itu. Pangeran Benyamin memasukkan kunci itu dan memutarnya perlahan. Terdengar suara klik, disusul sedikit gesekan besi.
Sulur-sulur yang membelit erat gagang pedang dan sarungnya melonggar, menempati sisi kanan kiri batang silang.
Kali ini ia tersenyum penuh, "Pertukaran yang adil. Tak kusangka kunci ini bersama seorang pencuri kecil sepertimu. Rumor yang beredar selama ini hanya untuk mengalihkan perhatianku. Pria tua itu benar-benar cerdas."
Aku tidak mengerti dengan kata-katanya dan apa hubungannya ayahku dengan pedang itu?
Ia mendengus, "Cepat hancurkan sihirmu yang busuk ini di tubuhku. Segera!"
Aku menghela nafas, "Hanya ada satu jalan keluar, Muara Bangkai."
"Apakah kau ingin mempermainkanku?" Ia berteriak, tinjunya maju ke arahku.
Aku menaikkan kedua tanganku, melebarkannya. Berusaha meyakinkannya tentang muara bangkai itu, aku tidak main-main.
Ia menarik tangan kananku, menggores telapakku dengan belati. Aku menarik nafas dalam-dalam, menahan perih saat ia memeras darah.
Menampung darahku di kenop pedang yang berbentuk kepala singa. Darah itu tidak terjatuh, namun terserap dengan cepat. Seolah-olah mulut singa itu sangat kehausan.
Pedang bersinar dengan cahaya senja keemasan, ia melepaskannya dari sarungnya. Bilahnya penuh dengan ukiran tulisan. Saat aksara itu mulai dibaca, aku merasakan dingin yang menusuk.
Dari ujung-ujung jari tangan, jelas kulihat warna senja merambat terus ke atas lenganku. Hal yang sama juga dialami kakiku.
Aku sudah tidak bisa merasakan tangan dan kakiku yang bergerak sendiri tanpa perintahku, gerakan kuda-kuda.
Sementara rasa dingin itu terus merambat, menyengat jantungku. Dan kegelapan menyesatkanku.
***
POV Benyamin
Aku benci ketika firasat menjadi kenyataan. Aku telah membuang-buang waktu beberapa tahun terakhir dengan memburu Raja Zuchri, dari kerajaannya Al Masyriq sampai ke Timur Laut hanya untuk kunci ini.
Mereka berhasil mengecoh, selanjutnya kurasa tidak akan sulit untuk menemukanmu pria tua. Darahmu yang mengalir pada pencuri itu akan membawaku padamu.
Moonglade masih berdiri tak bergerak dengan kuda-kudanya, menunggu perintahku. Sinar bulan di matanya terpancar semakin terang, mata paling menawan yang hanya dimiliki keturunan raja tempat matahari terbit itu.
Wajahnya sangat mirip dengan putra Raja Zuchri, Pangeran Zachary. Aku tidak tahu jika dia memiliki seorang putri, putranya sudah dihabisi bersamanya istrinya.
Aku hampir tak pernah terkejut, bahkan seekor siluman pun tak akan bisa, tapi gadis ini benar-benar melakukannya. Jika aku tahu dia akan mendatangiku seperti ini, aku akan memilih menetap sampai berakar bosan di sini.
Hanya segelintir orang yang lolos dari tragedi itu. Pedang Ekor Naga, sudah pasti para penyihir pelakunya. Jadi, selama ini mereka menyembunyikan gadis itu di hutan terkutuk. Aku akan membuat perhitungan dengan mereka.
Jika bukan karena matanya dan bukti kunci pedang Al Maghribi ada di lehernya, sudah pasti perempuan ini akan kukirim ke alam baka. Kulitku rasanya terbakar dengan setiap rasa sakit yang menyengat.
Terkurung dalam tubuh yang bau dan suara yang sangat jelek. Aku tidak akan bisa tidur atau beristirahat, meskipun itu yang diinginkan tubuhku.
Aku bahkan terbuai dengan setiap gerakannya yang mematikan. Tidak sabar menggunakannya sebagai boneka perang untuk melawan kekuatan Al Masyriq.
Muara Bangkai, jalur yang sangat mematikan. Tempat aneh yang cukup membuat orang waras menjadi gila di sana barang sebentar.
Moonglade, nama itu sangat menakjubkan dan cocok menggambarkan keindahannya yang seperti pantulan cahaya bulan di permukaan air.
Aku mulai mempelajari apa yang bisa dilakukan oleh mantra Pedang Al Maghribi, pedang yang baru diwariskan ayahku. Aku sudah tidak sabar mengeksplorasi potensi itu secara maksimal.
Aku merapal mantra untuk mengembalikan kesadarannya. Moonglade terjatuh di lututnya, kedua tangannya bertumpu di jalanan batu.
Kabut tipis menggantung di udara, dengan bintang dan bulan yang tertutup awan, Muara Bangkai akan lebih sulit dicapai. Aku bertanya-tanya, bagaimana rasanya ke sana sendiri tanpa para prajurit.
Pasukanku akan membuatku mudah dikenali dan Raja Al Masyriq tidak akan masuk perangkapku. Aku harus pergi sendiri bersama gadis ini.
Sayangnya kekuatan pedang itu seperti telah menguras tenaganya, ia terlihat layu. Aku memanggulnya ke istana untuk menyiapkan perbekalan selama di perjalanan.
Beberapa prajurit menawarkan diri untuk mengangkat Moonglade tapi aku menolaknya, "Sialan, turunkan aku! Kau bau busuk."
"Kau yang membuatku seperti ini, jadi nikmatilah." Aku mencengkram lebih kuat kakinya yang terus-terusan menendang-nendang.