PART 2 Ar-Rahman

998 Words
FIIHIMAA 'AINAANI TAJRIYAAN. FABIAYYI ALAA 'IRAABIKUMAA TUKADZDZIBAANN.. maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan? "Subhanallah, suaranya..." Rumi tidak bosan-bosannya menekan tombol play setiap suara itu mulai berhenti. Seperti makna surat tersebut "maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?"  Mendengar murrotal itu seperti sebuah nikmat tersendiri bagi yang mendengarnya. Lantunannya seperti atmosfer yang membelah khatulistiwa, sepicik apapun hatinya, sesempit apapun pemikirannya, bagaimanapun keadaannya. Jika sudah mendengar suara murrotal yang merdu nan indah, siapapun akan luluh, seluluh-luluhnya. Entah, jika orang itu sudah berhati bak syetan yang benci dengan manusia. "Rumi, kamu lagi apa?" Suara lembut kini terdengar dari balik pintu, dan beberapa saat kemudian daun pintu terungkit. "Bun, sini deh." Ucap Rumi yang mengetahui Maila, bundanya. Memasuki kamar dengan wajah yang meneduhkan. Wajah khas bidadari dari syurga, bidadari milik Rumi, Kakak, dan Ayahnya di syurga Allah nanti. Amin... Rumi bersyukur mempunyai seorang ibu seperti Maila, Ia wanita yang sangat istimewa dan spesial. Rumi merasa beruntung telah dilahirkan dari rahim seorang wanita kuat sepertinya. Dia sadari banyak sekali hal yang sudah bundanya korbankan. Semua demi keluarga dan kebahagiaan anak-anaknya. Rasulullah SAW bahkan telah menegaskan bahwa kedudukan seorang Ibu lebih tinggi dibandingkan kedudukan seorang ayah. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra disebutkan : Seorang lelaki datang kepada Nabi SAW dan berkata, "Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak aku patuhi?", Kata Nabi, "Ibumu", lelaki itu bertanya lagi, "kemudian siapa lagi?", Nabi menjawab, "Ibumu", Lelaki itu bertanya lagi,"Lalu siapa lagi?", Nabi tetap menjawab, "Ibumu", Lelaki itu bertanya kembali, "Kemudian siapa lagi?", Dan akhirnya Nabi baru menjawab, "Ayahmu". Tapi siapa yang tahu perasaan Maila dibelakang putri-putrinya. Rumi yakin, Maila sekarang sedang rapuh, tanpa pegangan. Ayah Rumi meninggal 5 tahun silam, namun yang Rumi tahu bundanya menangis ketika melihat jenazah suaminya dimakamkan, dan setelahnya tidak ada lagi airmata yang turun membasahi pipi wanita itu. Ia tegar, sangat tegar, tapi hanya didepan Rumi dan Nada, kakaknya. Ya, Tidak ada alasan, tidak bersedih, seorang istri yang sudah hampir berpuluh-puluh tahun hidup dengan suaminya, hingga dikarunia dua anak perempuan yang cantik, dan bahkan rela merawat suaminya yang sedang sakit dengan begitu setianya. Lalu ketika suaminya diambil oleh Sang Maha Kuasa, Ia tidak merasa sedih? Salah. Maila sangat, sangat terpukul, tapi itu bukan kebiasaan yang harus diperlihatkan ke anak-anaknya.  Rumi dan Nada tahu itu, terlihat setiap selesai sholat, mata Bundanya sembab seperti habis menangis. Dan sebuah tugas untuk mereka agar bisa menghibur Bundanya. "Ada apa Rum? Keluar gih, ditunggu Kakakmu buat makan malam." Kini Maila duduk disamping Rumi  sembari mengusap-usap puncak kepala Rumi yang sedang tiduran dengan gaya tengkurap. "Bentar, lagian Kak Nada masih dikamarnya ngerjain tugas. Iya kan?." Ucap Rumi sembari me'noel' pelan pipi bundanya dengan ujung jari telunjuk. Seperti aktris di film india, pipi Maila memerah, rasanya, putri bungsunya ini sudah tidak bisa dibohongi lagi. Wanita itu pun terkekeh malu, "Duh, Bunda ketauan boong..." Ucapnya. "Ngomong-ngomong lagi dengerin apa? Tuh headset nempel terus, jangan dengerin yang gak ada manfaatnya." Nah, mulai mau buruk sangka sama anaknya nih. "Apaan sih bun, orang Rumi lagi dengerin murrotal." Jawab Rumi yang sekarang membenarkan duduknya menghadap Maila. "Ohya? Sini, bunda mau ikut denger cobak." Dengan cepat Maila mengambil headset yang masih dengan indah nempel ditelinga Rumi. "Bentar, bentar bun. Rumi cabut aja headsetnya, biar bisa denger bareng-bareng." Beberapa saat kemudian, "Gimana bun? Bagus kan suaranya?." Ucap Rumi begitu bangga memperdengarkan murrotal milik seseorang yang entah sejak kapan ada dalam ingatannya. "Bagus, tapi kok cuman segitu?." "Iya, ini di ** bun. Durasinya cuman 15 detik." "Sekarang bunda tanya, apa yang membuatmu suka mendengarkan murrotal itu?,"  Tanya Maila, Rumi diam, seperti menimang sesuatu. "Suaranya." jawab Rumi ragu-ragu. "Itu poin kedua. Poin pertama, makna," Maila memberi jeda dari penjelasannya. "Kamu tahu kandungan dari surat Ar-Rahman?." Rumi mengangguk ragu. "Apa yang kamu tahu?." tanya Maila. "Emmm... Sebagian besar dari surah ini menerangkan kepemurahan Allah. kepada hamba-hamba-Nya, seperti dengan memberikan nikmat-nikmat yang tidak terhingga baik di dunia maupun di akhirat nanti. Iya kan Bun?." Maila tersenyum, ternyata putri bungsunya sudah bisa menjelaskan apa yang dia inginkan. "Ciri khas surat ini adalah kalimat berulang 31 kali Fa-biayyi alaa'i Rabbi kuma tukadzdzi ban. Yang artinya Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan?. yang terletak di akhir setiap ayat yang menjelaskan nikmat Allah yang diberikan kepada manusia. Melalui surat ini Allah seolah memberi sinyal kepada kita bagaimana sifat Manusia yang pelupa, kufur nikmat, dan tidak mau berfikir." Tambah Maila, yang membuat Rumi manggut-manggut. "Melalui surat ini, Allah seperti memancing kita untuk terbuka matanya atas nikmat yang telah diberikan-Nya ya Bun?... Ya Allah maafkan Rumi kalau sudah pernah mengkufuri nikmat-Mu." Maila kembali tersenyum, melihat anaknya yang begitu lugu. "Rumi kamu tahu? Manusia dalam Al Qur'an di tulis dalam beberapa istilah, yakni al-insaan, an-naas, al-basyar, dan banii Aadam," Lanjut Maila yang membuat Rumi kembali melihatnya. "Manusia disebut al-insaan karena dia sering menjadi pelupa sehingga diperlukan teguran dan peringatan. Sedangkan kata an-naas digunakan untuk menunjukan sekelompok manusia baik dalam arti jenis atau sekelompok tertentu. Untuk Al-basyar, karena manusia cenderung perasa dan emosional, dan banii Aadam karena Dia menunjukkan pada asal-usul yang bermula dari nabi Adam." "Pelupa itu seperti manusia yang dengan mudah dan gampang melupakan Allah SWT. dan baru ingat kembali kepada-Nya, ketika manusia menghadapi kondisi sulit, susah dan membahayakan?." "Ya sedikit seperti itu. Kalau kamu kadang-kadang menjadi manusia yang pelupa dan kufur nikmat. Cepat-cepat ingat Allah yaa..." Ucap Maila dengan mencubit hidung mungilnya Rumi. Rumi meringis, merasa dirinya masih seperti anak kecil jika mendapat perlakuan dari Maila seperti itu. Padahal seusianya harus bisa belajar bersikap dewasa. "Siap Bun. Oh ya Bun, Rumi mau tanya." "Hm?" "Bunda, Rumi. Katanya mau makan, kok gak keluar-keluar. Nada nungguin nih, laper." suara nyaring terdengar dari ruang makan. Memotong pembicaraan dua orang tersebut. "Iya bentar," teriak Maila, "Ayo lanjutin Rum, mau tanya apa?" Rumi diam, sepertinya tidak sekarang dia menceritakan sesuatu itu ke Bundanya. Iya, tidak sekarang. "Emm, lain kali aja deh. Rumi udah laper juga." Ucap Rumi yang sudah berdiri. Mempersilahkan Maila untuk berjalan disampingnya. Dibalik bibirnya yang tersenyum, ada satu kalimat yang ingin disampaikan oleh gadis itu. Tapi bagaimana cara menyampaikannya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD