Episode 8

1751 Words
Sultan Yafiq Al Ghifari, saat ini berumur dua puluh sembilan tahun. Lelaki berperawakan tinggi kekar itu adalah lulusan universitas swasta jurusun tekhnik mesin. Sultan sangat menggemari otomotif, menurun dari sang ayah. Sehingga tak heran, saat masih kuliah pun, ia sudah merintis usaha perbengkelan modifikasi mobil. Saat ini Sultan memiliki dua cabang bengkel modifikasi mobil, satu cabang salon mobil dan kini bersama kawan kuliahnya tengah mencoba mengelola agrowisata di daerah puncak. Selain untuk menambah pundi-pundi uangnya, Sultan dan kawannya memiliki misi untuk membantu perekonomian penduduk setempat. Sultan lahir di tengah keluarga berkecukupan meski tidak sekaya keluarga Paramita. Papa Reyhan—ayah Sultan adalah seorang dosen, sedangkan sang mama menjabat sebagai kepala produksi di sebuah perusahaan makanan. Tante Sarah adik satu-satunya dari Papa Reyhan adalah seorang perawat di sebuah rumah sakit swasta. Tante Sarahlah yang merawat Sultan, ketika Mama Mayang meninggalkan Sultan dan ayahnya demi pria lain. Dan hingga saat ini, Sultan tidak pernah bermimpi untuk bertemu dengan wanita yang melahirkannya ke dunia itu. Sultan tumbuh menjadi lelaki pendiam, ulet dan bertanggung jawab. Di kampusnya dulu, Sultan cukup aktif di beberapa organisasi. Selain itu, meski hingga remaja ia tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu, Sultan tumbuh menjadi remaja baik yang sangat patuh pada ayah dan tantenya. Sehingga tak heran, saat detik-detik terakhir ayahnya membuka mata dan menitipkannya pesan untuk menjaga Gembira, Sultan mau tidak mau menepati permintaan ayahnya itu. Meski sejujurnya kala itu, Sultan pun sedikit membenci Gembira, karena dianggapnya sebagai beban. Dibantu Tante Sarah yang saat itu telah bersuamikan Om Rian, Sultan berusaha menjaga dan merawat Gembira dengan sebaik-sebaiknya. Dan tak pernah menyangka, jika kehidupannya yang sudah ia rancang sedemikian rupa, harus hancur karena tragedi yang menimpa Gembira. Saat ini Sultan berada di kamarnya, memandangi Gembira yang tadi pingsan setelah tangis histerisnya. Sebuah kata kunci Om, membuat Sultan mencurigai seseorang sebagai pelaku p*******a adik tirinya itu. Kali ini, Sultan begitu yakin jika gadis yang kini tengah terlelap di ranjangnya adalah korban p*********n dari pria biadab yang ia yakin mengenalnya. Namun Sultan tak ingin memaksa Gembira untuk mengatakan siapa pelakunya, setelah melihat betapa histerisnya Gembira tadi. Sultan akan membuat Gembira nyaman dan percaya padanya lebih dulu, dan berharap gadis itu akan mengatakannya dengan sendirinya. Atau jika sampai batas waktu yang ia tentukan dan Gembira belum mau juga membuka mulut, mau tidak mau, Sultan akan bertindak keras pada gadis di hadapannya itu. Selain itu, tentunya Sultan akan mencoba mencari tahunya sendiri, bagaimana pun caranya. Sultan baru saja kembali dari kamar mandi ketika mendapati ranjangnya telah kosong. Tidak ada Gembira di sana. Sultan bergegas mengenakan pakaian dan turun ke lantai satu rumahnya untuk mencari keberadaan adik tak sedarahnya itu. Di dapur Sultan mendapati Mbok Ning yang tengah menyiangi sayuran untuk dimasak esok pagi. “Mbok lihat, Gembira?” tanya Sultan. “Oh, barusan saja, Mas, masuk kamar. Kenapa?” “Tidak, Mbok. Saya cuma khawatir,” ucap Sultan yang membuat Mbok Ning sedikit terkejut sekaligus lega. “Apa Mbak Ira sudah bilang siapa ayah dari bayinya sekarang, Mas?” tanya Mbok Ning yang juga dibuat penasaran siapa sebenarnya sosok yang telah menghamili Gembira. “Belum, Mbok. Tapi, tadi sewaktu Ira histeris, dia sebut-sebut kata Om,” beritahu Sultan. Mbok Ning menghentikan kegiatannya yang tengah menyiangi sayuran. Dengan tatapan serius wanita paruh baya itu menatap Sultan. “Sejak awal saya sudah curiga kalau Mbak Ira itu diper ….” Mbok Ning bahkan tidak mampu melanjutkan ucapannya, karena begitu prihatin dengan nasib yang menimpa majikan mudanya itu. “Untuk saat ini, Ira belum bisa dimintai keterangan, Mbok. Tapi saya akan minta rekaman CCTV sekolah dan sebuah tempat, untuk memastikan sesuatu.” “Ya, Mas, semoga semuanya bisa segera terungkap. Saya kasihan sama Mbak Ira, harus hamil di usia masih sangat muda. Terlebih, karena ulah kebiadaban seseorang.” “Lalu Mbok Ning tidak kasihan sama saya, yang akhirnya harus menikahi Gembira? Padahal bukan saya yang membuat Gembira hamil,” tukas Sultan. Mbok Ning justru tersenyum mendengar pertanyaan Sultan dan menggeleng. “Mbok pikir kalian memang sudah digariskan untuk hidup bersama selamanya, Mas.” Sultan tertawa sumbang. “Mbok ada-ada saja. Mbok tahu sendiri kalau saya sangat mencintai Paramita. Dan saya hanya ingin menghabiskan sisa umur saya dengan gadis itu, Mbok.” “Mau sebesar apapun cintanya kalau kalian memang tidak ditakdirkan berjodoh bagaimana?” “Mbok Ning ngaco!” Sultan mengibaskan tangan marah. “Sudahlah, saya mau ke kamar. Nanti malam, sekali-kali tolong tengokin Gembira ya, Mbok. Kalau ada apa-apa kabari saya,” pesan Sultan yang setelah mendapat jawaban dari Mbok Ning segera berbalik menuju kamarnya. … Tak ingin berlama-lama dilanda penasaran siapa sebenarnya pelaku yang sudah m*****i Gembira, esok paginya seusai sarapan, Sultan menuju sekolah gadis itu. Sultan menemui Kepala Sekolah yang kebetulan sekali pagi itu sudah berada di ruangan. Setelah berbasa- basi singkat, Sultan pun mengutarakan maksud kedatangannya. “Ini terkait dengan Gembira, Pak. Saya sangat butuh bantuan Pak Rudi,” ujar Sultan dengan mimik wajah serius. “Apa yang bisa saya bantu, Mas Sultan?” Kening Pak Rudi berkerut. “Begini, Pak, mengenai kehamilan Gembira … bukan saya yang menghamili adik tiri saya ini.” “Maksudnya? Tapi waktu kejadian di hotel waktu itu ….” Pak Rudi teringat kejadian sewaktu di hotel yang sempat menggemparkan sekolah yang ia kepalai. Beruntung saat itu, Gembira sudah selesai mengikuti ujian akhir sekolah. Jika tidak, Gembira terancam dikeluarkan dari sekolah dan tidak bisa mengikuti ujian. Sultan pun menceritakan kejadian sebenarnya pada Pak Rudi. Ia juga mengungkapkan kecurigaannya jika Gembira telah dinodai secara paksa. “Sebelum pernikahan kami, saya sempat menanyakannya, tapi Gembira hanya diam dan menangis. Terakhir tadi malam, saya menanyakannya lagi karena saya juga sangat tidak menginginkan pernikahan ini. Dan lagi-lagi Gembira hanya menangis histeris. Dia juga menyebut-nyebut sebutan Om.” “Lantas menurut Mas Sultan, siapa Om yang dimaksud Gembira itu?” Kening Pak Rudi semakin berkerut dalam. Pria berperut buncit itu juga dibuat penasaran dengan kisah Gembira, yang membuat prihatin bagi siapapun yang mendengarnya. Sultan mengutarakan kecurigaannya dan meminta bantuan Pak Rudi untuk mengecek CCTV di gerbang sekolah. Kedua pria berbeda generasi itu kini sudah berada di ruang control CCTV yang berada di samping ruang guru. Pak Rudi memerintahkan petugas yang berjaga untuk memeriksa rekaman dari kamera pengawas sesuai waktu yang diminta Sultan. Semua pasang mata menatap layar monitor yang menampilkan rekaman kejadian enam bulan lalu. Terlebih Sultan yang begitu cermat, mencari sosok adik tirinya. Sepanjang tiga puluh hari di bulan yang dicurigai Sultan sebagai waktu kejadian Gembira dirudapaksa seseorang, tidak ada hal yang mencurigakan yang Sultan tangkap di layar monitor tersebut. “Tidak ada yang mencurigakan, Mas Sultan,” ucap Pak Rudi begitu petugas mengembalikan layar monitor ke tampilan awal yang menggambarkan situasi sekolah saat ini. “Memang cari apa sih, Pak?” tanya petugas yang namanya tak diingat Sultan. “Tidak apa-apa,” elak Pak Rudi yang tak ingin kejadian kabar tentang p*********n Gembira semakin tersebar. “Tidak ada-apa, Mas, terima kasih bantuannya,” imbuh Sultan. Sultan dan Pak Rudi kembali ke ruangan. Dan kembali duduk berhadapan. “Mungkin mereka tidak bertemu di sekolah, Mas. Bisa saja mereka bertemu di suatu tempat,” ujar Pak Rudi berdasarkan analisanya. Karena rasanya mustahil pelaku menampakkan diri di keramaian. “Selain meneriakkan sebutan Om, Nak Ira tidak bicara apa-apa lagi, Mas?” Sultan menggeleng. “Sayangnya tidak, Pak.” Sultan meninggalkan sekolah, setelah mendapat pesan dari Pak Rudi agar lebih perhatian lagi pada Gembira, dan jika perlu Sultan membawa Gembira ke psikiater, agar psikis gadis itu tidak terganggu. Sultan tiba di bengkelnya setengah jam kemudian. Hari ini ia harus bertemu dengan pelanggannya yang sudah jauh-jauh hari ingin memodifikasi mobil sedannya. Semalam Sultan sudah membuat beberapa desain awal untuk mobil pelanggannya tersebut. Jika pelanggannya telah cocok dengan desain-desainnya, maka hari ini juga mobil akan mulai pengerjaan modifikasi. Sementara itu, Gembira masih berguling-guling di kasurnya. Merasa begitu bosan karena tumben sekali kakak tirinya tidak memberikannya tugas untuk membersihkan rumah. Justru ia mendapat pesan dari Mbok Ning, jika Sultan memintanya untuk beristirahat. “Tapi aku juga bosan kalau tiduran terus,” keluh Gembira yang kini sudah duduk bersandar pada dinding kamar. Untuk mengusir jenuh, Gembira meraih ponselnya berniat untuk menonton film ataupun serial. Namun setelah mencari-cari beberapa saat, Gembira tidak menemukan film atau drama yang membuatnya tertarik. Gembira lantas membuka salah satu media sosialnya, menggulir layar dengan perlahan, namun lagi-lagi ia tak menemukan hal menarik di sana. Gembira pun memilih untuk meletakkan kembali ponselnya. Gadis itu beranjak dari duduk, melangkah keluar kamar. “Nduk, sudah siang, makan dulu.” Mbok Ning mendekat dan seperti biasa dengan senyumnya yang menentramkan, membuat Gembira teringat pada sang mama ketika berdekatan dengan Mbok Ning. Gembira tersenyum kecil. “Mbok masak apa hari ini?” tanya Gembira yang sudah bergelayut manja pada lengan Mbok Ning. Keduanya beriringan masuk ke dapur. “Masak soto lamongan, Mas Sultan yang minta dimasakin soto.” Manik Gembira berbinar mendengar makanan berkuah segar tersebut. “Wah, enak sekali Mbok, pasti.” Gembira tak sabar untuk mencicipinya. Gembira duduk di minibar menatap berbinar pada semangkuk soto yang baru saja disajikan Mbok Ning dan setoples emping sebagai pelengkap. Mbok Ning yang menemani Gembira menikmati makanannya, tersenyum melihat majikan mudanya itu makan dengan lahap. “Mau nambah, Nduk? Biar Mbok ambilkan lagi,” tawar Mbok Ning. “Tidak, Mbok. Ini sudah cukup.” Gembira menjawab sembari tersenyum. “Kalau Nak Ira ingin makan sesuatu jangan sungkan bilang ke, Mbok, ya. Kalau Mbok bisa, pasti Mbok bikinkan.” “Terima kasih, Mbok.” Gembira meraih tangan Mbok Ning, lagi-lagi ia dibuat bersyukur dipertemukan dengan Mbok Ning. “Sama-sama.” Mbok Ning mengangguk. “Ya sudah, Mbok tinggal dulu ya, mau ambil jemuran.” “Ya, Mbok, nanti Ira nyusul.” “Jangan, Nduk, nanti Mas Sultan marah.” “Biasanya juga dia suruh-suruh Ira ngerjain ini itu kok.” Mbok Ning mengedikkan bahu. “Mbok juga nggak ngerti, Nduk.” “Sama, Mbok, Ira juga ngerti sama sikap Kak Sultan.” “Tapi, Nak Ira perlu tahu, kalau yang makan ayam lemonnya bukan Pak Ilham tapi Mas Sultan.” “Apa? Tapi kata Kak Sultan kemarin ….” “Tanya saja kalau Nak Ira nggak percaya,” kata Mbok Ning yang tersenyum penuh arti, kemudian melangkah pergi meninggalkan Gembira seorang diri di dapur. Gembira menggeleng-gelengkan kepala, masih tak percaya dengan info yang didengarnya dari Mbok Ning barusan. “Tidak mungkin. Tidak mungkin Kak Sultan ….” “Apanya yang tidak mungkin, Gembira? Kenapa nama saya disebut-sebut?” tanya Sultan yang tiba-tiba sudah berada di belakang Gembira dengan ekspresi sekaku batang pohon seperti biasa, yang kontan membuat Gembira gelagapan untuk menjawab. Bersambung    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD