Eps 3. Cari utangan

2103 Words
Tata memijat pelipis, mungkin bagi sebagian orang, biaya segitu nggak seberapa. Tetapi baginya yang memang hanya buruh pabrik, nominal puluhan juta itu harus di dapat dalam beberapa tahun. Gajinya setiap bulan harus dipakai untuk bayar kredit motornya, lalu diberikan ke ibu untuk keperluan sekolah Dika. Sementara kebutuhannya sendiri tidak terlalu dia pedulikan. “Ta, gimana?” kembali suara Rian memecahkan fokus Tata yang sedang berfikir. “Kalau kamu mau jadi istri keduaku, kamu nggak perlu kerja pagi sampai malam. Cukup di rumah, aku akan kasih kamu uang bulanan dan mencukupi semua kebutuhanmu juga adikmu.” Sebenarnya malas, tetapi kalimat panjang Rian membuat Tata harus menatap wajah lelaki tinggi yang masih saja membujuknya. “Kamu kan udah ada istri, mas? Memangnya satu saja nggak cukup?” Rian menyunggingkan senyum tampannya. “Kalau dua saja bisa, kenapa harus satu?” Jawaban yang membuat Tata langsung terkekeh dengan menggeleng samar. Sungguh dia merasa sangat beruntung tidak berjodoh dengan lelaki seperti Rian yang memiliki pikiran seluas danau toba. Tatapan Tata teralihkan saat melihat Dika yang datang menghampiri. “Dik, jagain ibu dulu. Aku mau ke rumah Bulek,” pamitnya sembari menepuk lengan adiknya. Hanya bisa mengangguk patuh tanpa diberi kesempatan untuk bertanya karena Tata sudah lebih dulu melangkah pergi. Tatapannya mengikuti punggung Rian yang mengekori kakaknya keluar dari rumah sakit. Tersenyum dengan gelengan penuh kegelian. Jujur saja, sejak awal tau hubungan kakaknya dan Rian, Dika sudah tak suka. Entah kenapa dia tak srek dengan segala yang ada pada Rian. Mendengar kegagalan hubungan Tata dan Rian, Dika adalah orang pertama yang bersorak penuh rasa syukur. “Ta,” Rian melangkah lebar, mensjajari langkah kaki Tata. “Dari pada kamu pusing cari pinjaman uang, kenapa sih nggak terima tawaranku aja? Kalau minjam uang, pasti bikin kepikiran buat balikin. Beda kalau pakai uangku.” Tata tak menanggapi, anggap aja suara cicak kejepit. Menaiki motor matiknya, melirik Rian sebentar lalu mendesah kasar saat lelaki itu justru berdiri di depan motornya, menghalangi jalan. “Jujur, Ta, aku masih sangat berharap sama kamu.” ngomongnya dengan nada penuh keyakinan. Tata makin kesal mendengar kalimat yang sama sekali tak penting baginya itu. Memilih memutar kunci lalu menghidupkan mesin motor. “Mending minggir, aku beneran buru-buru banget.” Usirnya. Rian yang gantian mendesah, menyugar rambutnya untuk melampiaskan rasa bingungnya. Nggak tau lagi harus gimana cara bicara sama Tata. “Aku masih mencintai kamu, Ta.” Kedua mata bulat Tata melotot mendengar apa yang Rian katakan. “Sadar, mas. Kamu punya istri di rumah!” “Tapi dia beda jauh sama kamu. Aku suka cara kamu sayang ke aku. Pliis, Ta, kita bal—” Tiin! Tiin! Tiin! Brrum! Brumm! Takut juga kalau nanti ditabrak, akhirnya Rian memilih menyerah. Minggir dan membiarkan motor matik Tata lewat. Di loby rumah sakit sana Galins tersenyum melihat Tata yang sudah meninggalkan halaman rumah sakit. Lelaki mana yang tak tertarik pada gadis berparas cantik seperti Tata? ** Motor biru Tata berhenti di halaman rumah yang sederhana, tetapi lebih besar dari rumah tinggal Tata. Segera Tata melangkah menuju teras rumah begitu helm lepas dari kepala. Tersenyum saat di ambang pintu sana dia sudah melihat Bulek Ratna; adik angkat ibunya. Dan Ratna ini adalah satu-satunya kerabat yang Tata miliki. “Ta, tumben pagi-pagi ngeluyur. Biasanya hari minggu nggak akan bangun kalau belum sore.” Seru Ratna, menyapa Tata yang kini menjabat tangannya. Tata tak menanggapi, malah dia celikukan menatap ke arah dalam rumah sana. “Paklek ada?” tanyanya kemudian. Ratna menggelengkan kepala. “Paklekmu belum pulang, tadi ikut kerja bakti ngecat pagar di balai desa. Kenapa? Tumben kok cari paklek?” Tata mendesah panjang, sangat jelas terlihat jika sedang panik dan ada masalah. “Sini, duduk dulu,” ajak Ratna, menarik lengan Tata, mengajak keponakannya untuk duduk di kursi teras depan. “Tarik napas, lalu keluarkan dengan pelan.” Tata melakukan hal yang dikatakan buleknya, lalu beringsut bersiap untuk menceritakan masalah yang sekarang dia hadapi. “Sudah aku tebak, pasti kamu akan ke sini.” Baru saja mulut Tata terbuka, hendak menceritakan semuanya. Suara pak Wahid membuat kedua wanita yang duduk bersebelahan itu mengangkat kepala. “Lha itu paklekmu sudah pulang,” ucap Ratna, menatap suaminya yang melangkah memasuki teras. Tata berdiri, mengulurkan tangan meminta tangan pak Wahid untuk dijabat. Namun diluar dugaan, pak Wahid justru melipat kedua tangan di bawah d**a, tak mau menyentuh tangan Tata. “Kamu ke sini pasti mau pinjam uang, kan?” tebak pak Wahid tanpa bertele-tele. Tata mendesah palan, menatap ke lain arah untuk menahan perasaannya yang terasa sedang dijatuhkan. Ratna beranjak dari duduk, mendekati Tata dan suaminya. “Pak, kok ngomongnya begitu?” “Tadi para warga pada ngomongin ibuknya yang kecemplung selokan, terus dibawa ke rumah sakit. Ya sudah bisa ditebak toh, bu. Dia ke sini pasti mau pinjam uang buat bayar biayanya. Iya, kan, Ta?” Ratna menutup mulut dengan kedua mata yang melebar, dia belum mendengar kabar ini. “Ya Allah, Ta … terus sekarang gimana keadaan mbak Ratih?” Tata menggenggam kunci motornya erat, menahan emosi. “Ibu harus dioperasi, bulek. Benturan di kepalanya cukup parah dan tulang kakinya juga patah.” Suaranya tertahan, Tata menahan untuk tak menangis. Ratna tak bisa berkata-kata, membayangkan kondisi kakaknya pun dia tak sanggup. Memang mereka bukan saudara kandung, tetapi Ratih lah yang membiayai sekolahnya dulu, sampai dia bisa tamat dari SMA. Mendekati suami, memegang lengan suaminya. “Pak,” “Enggak, bu.” Ucap pak Wahid sebelum Ratna mengutarakan apa yang ingin dia katakan. “Operasi itu nggak murah. Kamu juga tau Tata kerja buruh pabrik, berapa gaji buruh? Itu juga masih harus nyicil motor, bayari sekolah Dika. Kira-kira, kapan dia akan membayar hutangnya?” “Tapi keadaan mbak Ratih ini parah, pak. Pasti besok juga Tata bakalan bayar hutannya lho.” Bujuk Ratna. Pak Wahid tetap menggelengkan kepala. “Kita ini ngumpulin duit buat naik haji, bu. Bukan buat dipinjamkan ke orang yang membutuhkan. Kalau hidup Cuma mikirin kebutuhan orang, kapan kita meraih yang kita mau? Mbok yo mikir toh, bu.” Tata langsung menjatuhkan kedua kaki. Mengangkat kepala dengan kedua mata yang basah. “Paklek, aku mohon. Untuk sekarang saja ….” Mohonnya, menelakupkan kedua tangan di depan d**a. “Ibu benar-benar butuh biaya besar.” Ngomongnya di sela isakan. “Aku pasti akan mengembalikannya … aku mohon, paklek ….” Pak Wahid membuang muka, wajah tegas, judes dan sombong memang sudah melekat di sana. Hanya melirik Tata yang menangis di bawah sana tanpa ada rasa iba sedikit pun. “Pak,” “Diam saja, bu. Yang kerja itu aku, itu uangku. Yang berhak mengeluarkan ya aku. Jangan mengatur!” tegasnya, membuat Ratna ikut merasakan sesak. Tata mengusap bulir-bulir yang terus menetes di kedua pipi. “Pinjami separuh aja, pakde. Sepuluh juta, atau lima juta nggak apa-apa. Nanti kekurangannya biar aku cari pinjaman ke yang lain.” Pak Wahid malah tertawa, lalu menggelengkan kepalanya. Berdecak lirih dengan bibir yang mencibir. “Sudahlah, Ta. Mendingan kamu cari pinjaman ke yang lain aja sana. Atau … kalau nggak dapat juga, coba saja jual diri. Kamu cantik, pasti juga laku mahal.” Tak memedulikan Tata dan istrinya yang menganga mendengar ucapannya, pak Wahid dengan santai melangkah masuk ke dalam rumah. Tata memejam dalam, membiarkan bulir bening kembali menetes di kedua pipi. Dihina oleh kerabat ipar, itu memang sudah sejak dulu. Tetapi sejauh ini Tata atau pun bu Ratih tak pernah sekali pun membalas hinaan demi hinaan yang pak Wahid lontarkan. Tata juga sebenarnya tak ingin ke sini, tetapi … hanya buleknya ini harapan satu-satunya. Ratna menunduk, meraih tangan Tata. Membantu keponakannya berdiri. “Maafkan paklekmu ya, Ta. Kamu tau dia mulutnya memang selalu seperti itu. Baud di remnya lepas, makanya kalo ngomong nggak bisa dikontrol.” Tata tak mengatakan apa pun, dia menunduk dengan tangis yang masih mengalir di kedua pipi. sekarang dia sedang berfikir akan kemana lagi mencari pinjaman uang. “Gimana kalau kamu jual beberapa perhiasan bulek ya. Bulek ada simpanan emas juga.” Ngomong Ratna dengan berbisik, tentu takut kalau suaminya dengar. Tata menoleh, tersenyum dengan masih menangis. “Enggak usah, bulek. Nanti aku coba pinjam ke teman-temanku. Barang kali ada yang punya uang nggak kepakai. Simpan saja semuanya. Aku nggak mau nanti bulek dimarahi paklek karena udah ngasih pinjaman ke aku.” Tata menghapus wajahnya yang basah. “Aku pamit ya, bulek.” Mencium punggung tangan Ratna, lalu melangkah keluar dari teras. ** Di parkiran rumah sakit Tata mengeha nafas membaca beberapa rentet kalimat balasan chat dari teman-temannya yang tidak memiliki uang sebanyak yang Tata butuhkan. Jika dia meminjam seratus ribu sampai lima ratus ribu, pasti teman-temannya punya dan bersedia meminjami. Tetapi ini memang yang Tata butuhkan bernominal banyak. Tata menggigit bibir, memukul stang motor untuk melampiaskan beban yang sekarang terasa sangat berat di bahu. Sedikit terkejut saat ponselnya tiba-tiba berdering dan itu panggilan masuk dari nomor adiknya. “Hallo, Dik, kenapa?” sapanya sembari menempelkan ponsel di telinga. “Dicari dokter, mbak,” ucap Dika di seberang telpon. Tata kembali memejam. “Iya, aku ke situ.” Mencabut kunci motor, menyimpan ponselnya yang telponnya sudah mati. Lalu melangkah dengan sedikit berlari memasuki loby rumah sakit. Di depan ruang ICU sana Dika duduk bersama dengan Galan, temannya yag waktu itu. “Dik,” seru Tata, membuat kedua bocah itu menoleh menatapnya. “Di mana dokternya?” Galan mengulas senyum begitu melihat Tata. Sangat jelas terlihat di wajah bocah itu jika tertarik pada Tata. “suruh masuk ke ruangan, mbak.” Menunjuk ke arah ruang ICU yang pintunya tertutup rapat. Tak mengatakan apa pun, Tata segera melangkah masuk tanpa peduli dengan siapa pun. galan mencekal lengan Dika dengan tatapan mengikuti Tata yang menghilang di pintu kaca itu. “Dik, embak lo udah punya pacar?” tanyanya. Dika mentonyor kepala Galan. “Mau apa? Gue nggak mau iparan sama elo ya!” Galan terkekeh, duduk memepet Dika. “Sumpah, embak lo cantik banget.” Dika hanya tersenyum mendengar Galan yang memuji kakaknya. Dia pun juga tau kalau kakaknya cantik. “Nyokap lo operasi apa sih?” “Rahimnya diangkat, ada tumornya.” Ngomongnya, mengambil ponsel dan membaca rentetan pesan yang dikirim oleh kakaknya. “Gue balik ke ruangan nyokap dulu ya. Mas Galins mau keluar.” Menepuk bahu Dika, lalu melangah pergi meninggalkan temannya itu. Menit berlalu Dika duduk sendirian menanti kakaknya keluar dari ruangan depan sana. Dia tau luka ibunya bukan Cuma luka gores, makanya sejak tadi dia nggak bisa tenang. Sekitar lima belas menit Dika beranjak dari duduk setelah melihat Tata keluar. “Mbak, gimana keadaan ibu?” tanyanya dengan sangat khawatir. Tata berusaha untuk tak menangis walau kenyataannya Dika bisa melihat jika kedua matanya sudah memerah. “Ibu harus operasi, Dik. Secepatnya dan kita harus bayar biayanya sebelum operasi dilakukan. Paling lambat nanti malam jam sembilan.” Tata menjatuhkan pantatt di kursi besi yang tadi Dika duduki. Dika mengikuti, duduk tepat di samping Tata. Diam menatap kakaknya yang sekarang menangis dengan wajah bingung. “Tadi di rumah bulek gimana?” Tata menggeleng, menunduk dengan tangan menyangga kening. Dia buntu, beneran nggak tau musti kemana dan bagaimana lagi. Dika ikut menunduk, menatap pada lantai marmer berwarna putih tulang. Andai nyokap Galan sehat dan dia tidak sedang dalam keadaan sama seperti dia yang kena musibah, pasti dia akan meminta tolong ke temannya itu. Tetapi, bukan kah akan terlihat sangat tak tau diri meminjam pada Galan untuk saat ini? ** “Pasien muntah darah, mbak. Operasi harus segera dilakukan. Jika tidak, keselamatan pasien akan terancam.” Tata menggenggam tangan Dika dengan erat. Rasa takut sudah tak bisa lagi dijelaskan, begitu juga dengan Dika yang langsung menarik tubuh kakaknya, lalu memeluk kakaknya erat. Dia juga merasakan hal yang sama. “Ya Allah, ibuk gimana, Dik ….” Suara serak Tata yang tak terlalu jelas. “Saya akan bayar biaya operasinya sekarang.” Mendengar suara seseorang, Tata menarik diri. Menghapus kedua matanya yang basah, lalu menyipit, menatap Rian yang sudah berdiri tak jauh darinya. Dika menyantak nafas dengan kedua tangan menekuk di pinggang. Terlihat sangat tak menyukai kehadiran Rian. Rian menyodorkan kertas ke Tata. “Tanda tangani ini, setelahnya ibuk akan segera di operasi. Dan aku juga akan memilihkan ruang rawat yang nyaman untuk ibuk.” Disaat genting seperti ini, tak ada pilihan lain. Tata mengambil kertas dari tangan Rian. Dengan tangan yang bergetar dia menyoretkan tinta hitam di atas materai yang sudah Rian sediakan. “Mbak!” pekik Dika setelah tau apa isi dari surat perjanjian yang sekarang Tata tanda tangani. “Nggak perlu sampai seperti ini!” “Apa kita punya pilihan lain, Dik?” tanya Tata lemah. Melirik Rian, lalu menyerahkan kertas itu. Rian tersenyum lebar, menatap tanda tangan Tata yang terlihat begitu jelas. “Aku akan bayar biayanya sekarang.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD