Om Mas Liam

1545 Words
“Mami! Liat baju Alia rusak sama mbak Ara!” keluh Alia setengah berteriak kesal pada Rania–sang ibu yang tengah asik menyiapkan makan siang untuk keluarga kecilnya. Ara hanya bisa duduk terpaku sambil meringis canggung menatap tante dan sepupunya yang manja. Menjadi anak satu-satunya dari Rania–sang tante, membuat Alia mudah mendapatkan segalanya. Berbeda dengan Ara yang memiliki 2 saudara laki-laki dari orang tua yang sudah pensiun membuat dirinya harus berpikir ulang beberapa kali untuk membeli sesuatu. Baju putih itu milik Alia yang ia pinjam agar bisa tampak cantik dihadapan Liam tapi berakhir ternoda oleh darah haid Ara. Seharusnya Ara membawa pakaian itu ke laundry, tapi Ara tak bisa lagi membayarnya karena ia baru memasukan jas milik Liam ke laundry dan harus mengeluarkan uang sampai beberapa ratus ribu karena jas milik Liam ternyata sangat mahal dan butuh perawatan khusus. Dengan keyakinan penuh dan inisiatif tinggi, Ara mencoba mencucinya sendiri dan membuat baju milik Alia malah jadi berbulu. “Maaf ya Al, nanti mbak Ara ganti sama baju baru yaa,” bujuk Ara pada adik sepupunya. Yang dibujuk hanya merengut dan kembali ke kamar masih dalam keadaan kesal. “Eh, jadi gimana kencannya kemarin?” tanya Rania penasaran langsung mendekati keponakannya ingin tahu. Rania senang bisa mendapatkan kesempatan untuk bisa menjodohkan Ara dengan salah satu anak pemilik perusahaan dimana suaminya bekerja. Jika Ara bisa sampai menikah dengan Liam, tentu saja akan menjadi salah satu hal yang membanggakan dari keluarga kakak sulungnya itu. Akbar– ayah Ara merupakan kakak tertua dari 4 orang bersaudara. Ketiga adiknya tumbuh menjadi orang yang berpendidikan dan memiliki pekerjaan yang baik. Sedangkan ia hanya menjadi pegawai biasa sampai pensiun bersama istrinya. Ditanya terus tenang kencannya, Ara hanya bisa meringis bingung lalu menceritakan kisah kencan gagalnya dan mendapatkan jeweran telinga dari Rania. “Sakit tanteee!” pekik Ara sebal karena dijewer. “Abis kamu malu-maluin! Masa Liam, dikasih mens! Trus Jasnya kamu laundry kemana? Awas jangan laundry asal-asal, baju mahal bisa rusak nanti!” “Nggak kok! Tempat laundrynya kali ini mahal kaya langganan tante Rania dan Om Joddy. Udah ah, aku pulang dulu ya, Tan.” “Trus kamu udah komunikasi lagi sama Liam? Kapan mau ketemuan lagi?” tanya Rania mencoba melanjutkan perkembangan hubungan Ara dan Liam. “Ketemuan lagi?! Gak mungkin kayanya, Tan.” “Kok pesimis gitu?!” “Nggak ah, Tan! Ara udah gak pede lagi kalau harus ketemu Om Mas! Lagian dia tua banget, Tan! Ara kemarin dilihatin orang waktu jalan sama dia, takut disangka ani-ani. Kan reputasi Ara bisa rusak kalau gitu!” “Ya ampun, Ar! Dia itu masih muda, usianya baru 35!” “Tapi Ara masih 23!” “Sttt! Dengerin tante! Kalau kamu sampai bisa nikah sama dia, hidup orang tua kamu pasti enak! Mereka jadi bisa tenang untuk beribadah! Gak perlu lagi mikirin uang kuliah buat Garin–adik kamu atau merasa gak enak hati kalau dikasih uang sama Bimo kakak kamu yang kerjanya merengut! Gimana pun, kalau kamu bisa masuk menjadi menantu David Kaivan, hidup kalian akan enak! Bos nya, Om Joddy itu orangnya gak pelit.” Pikiran Ara mulai melanglang buana membayangkan hidupnya yang bak cinderella dan banyak uang. Tak perlu bekerja tapi ia bisa membeli apa saja yang ia inginkan. “Yang jelas, kamu jadi bisa beli baju dan sepatu! Kamu tuh perempuan, Ara. Masa baju warnanya sampai putih tua begitu?!” tegur Rania menatap keponakannya dari ujung rambut sampai ujung kaki sambil menggelengkan kepala. “Ya Allah, Tan! Kalau beneran kejadian Ara punya banyak uang, enak banget pasti rasanya ya!” “Iya, lah! Tapi tante juga gak yakin sih Liam mau sama kamu. Kamu dekil begini … baju yang dipake belel-belel. Rusak nanti reputasi Liam!” “Ih, Tante gimana sih?! Tadi dia yang nyemangatin, sekarang dia juga yang jatuhin mental orang! Udah ah, Ara mau pulang!” gerutu Ara sebal. “Kabarin tante kalau nanti mau ketemuan lagi sama Liam yaa!” teriak Rania sambil menatap Ara yang tengah berjalan keluar rumahnya. *** Ara menghela nafas panjang. Ia merasa sedih sambil menatap bungkusan plastik yang berisi jas milik Liam. Harga cuci Jas Liam lebih besar dari pada sisa uang yang ia miliki di atm. Ia baru saja mengirimkan pesan ke w******p Liam dan meminta alamat untuk mengirimkan jas tersebut. “Kamu dimana?” balas Liam atas pesan yang Ara kirimkan. “Masih di kantor, tempat laundrynya tak jauh dari kantorku. Kirimkan saja alamatnya nanti biar aku kirim,” balas Ara. “Tunggu saja di kantor, nanti aku kabari,” jawab pesan Liam cepat. “Baik, makasih ya Om Mas, kabari saja jika ojek onlinenya datang.” Ara memutuskan untuk kembali ke ruangannya untuk kembali bekerja sambil menunggu ojek online yang akan dikirimkan Liam. Tanpa sadar waktu pun berlalu sampai waktu pulang kerja. Ara baru menyadari bahwa Liam belum menghubunginya untuk mengambil pakaiannya. Baru saja Ara hendak menghubungi kembali, tiba-tiba Liam menghubungi Ara. “Aku di bawah! Ku tunggu di lobby!” ucap Liam cepat dan tak menunggu jawaban dari Ara. Ara pun segera bergegas turun sambil membawa Jas milik Liam. “Ara!” Panggil seseorang dari dalam mobil mewah lain yang berbeda dengan mobil yang pernah digunakan Liam. Ara menoleh ke arah suara dan segera tersenyum lebar saat melihat wajah Liam. “Om Mas!” panggil Ara senang mengintip ke dalam mobil yang baru saja diturunkan jendelanya. “Liam, namaku Liam. Panggil aku Liam,” ucap Liam sedikit jengah dipanggil Om Mas oleh Ara. “Om Mas Liam, ini jasnya! Terima Kasih ya!” ucap Ara senang dan segera memberikan plastik berisi jas milik Liam. “Ayo, aku antar pulang!” ajak Liam tiba-tiba. Tanpa berpikir panjang, Ara segera membuka pintu mobil dan langsung duduk disamping Liam. Ada rasa sedikit menyesal di dalam hati Liam karena basa-basinya ternyata dimakan oleh Ara. Ia tak menyangka gadis itu tanpa ragu mengiyakan tanpa rasa sungkan padahal ini baru kedua kalinya mereka bertemu. Ada yang berbeda dari penampilan Ara saat itu. Rambutnya yang panjang sepunggung dikepang ke samping. Kaos garis-garis dengan rok warna polos membuatnya tampak seperti gadis remaja. Sangat berbeda dari tampilannya saat pertemuan pertama. Dengan tampilan polos dan dandanan sederhana, kini wajah cantik Ara terlihat dengan sebenarnya. “Lain kali, kalau diajak orang asing untuk diantar pulang jangan langsung mau ya,” nasehat Liam melihat Ara begitu mudah lunak pada orang asing. “Akh, aku kan diantar pulangnya sama Om Mas, kita sudah kenal kan yaaa … lagian aku jadi irit, ongkosnya bisa buat besok lagi,” jawab Ara tampak tak peduli. “Ohya, berapa biaya laundrynya? Biar nanti aku ganti.” “Ih, gak usah Om massss … kan aku yang udah bikin Jas nya ternoda, semua aku yang bayar!” jawab Ara percaya diri tetapi tangannya spontan menengadah ke arah Liam seolah meminta uang. Liam sedikit tersedak melihat ucapan Ara dengan tubuhnya tidak sinkron. Ia sadar dengan gadis ini, ia tak perlu basa-basi. “Kenapa? Tanggal segini uangmu sudah habis ya?” tanya Liam spontan dan mendapatkan balasan gelak tawa renyah dari Ara. “Ya ampun! Om Mas tuh pinter banget baca wajah! Emang kelihatan banget ya, aku bokek nya?” gumam Ara sembari mengambil kaca kecil dari dalam tasnya. Liam memutarkan matanya dan menggelengkan kepalanya melihat kelakukan gadis itu. “Ara, aku boleh minta tolong jangan panggil aku Om Mas begitu? Rasa aneh! Gatel di telinga,” keluh Liam tak suka dengan panggilan Ara. Ara hanya meringis sambil menggaruk-garuk kepalanya. “Biar ada panggilan kesayangan gitu loh Om Mas … eh, Om Liam Mas… Liam Mas … Mas Liam … Om Liam,” jawab Ara mendadak gugup ketika melihat raut wajah Liam berubah. Ia baru menyadari bahwa pria disampingnya bukan seperti pria yang biasa ia temui di kantor yang bisa berbicara dengan ramah dan menerima panggilan spontan buatan Ara. Tiba-tiba mata Ara melotot saat melihat sebuah motor melintas cepat melewati mobil Liam. “Om! Mas! Kejar motor itu cepat! Kejaarr!” pekik Ara panik dan memukul-mukul tangan Liam agar mengikuti perintahnya. “Kenapa?! Kenapa?! Ada apa?!” tanya Liam panik dan segera mempercepat mobilnya untuk mengikuti motor yang tengah melaju cepat. “Massss Jiwoooooo!” panggil Ara berteriak memanggil pria yang mengendarai motor tersebut sambil membuka jendelanya. Setelah beberapa panggilan akhirnya pria diatas motor itu melambatkan motornya dan menoleh kebelakang. “Berhenti Mas! Berhenti Om!” pinta Ara tampak terburu-buru sambil mengambil tasnya. Liam segera meminggirkan mobilnya. “Siapa dia, Ra?!” tanya Liam sedikit panik dengan sikap Ara yang tampak panik dan terburu-buru. “Dia tukang gojek langganan aku! Rumahnya dekat dengan rumahku! Sudah ya Om, terimakasih untuk tumpangannya, matur nuwunn,” jawab Ara dengan wajah riang berterimakasih pada Liam lalu turun tanpa rasa bersalah. Liam hanya bisa menyandarkan tubuhnya, mencoba menenangkan jantungnya yang tadi spontan berdetak kencang karena adrenalinnya terpacu saat mengejar motor yang ternyata ojek langganan Ara. Raut wajahnya terlihat dongkol saat melihat Ara yang berlari-lari kecil menuju tukang ojek itu dengan riang dan menerima sebuah helm. “Sakit nih cewe!” gumam Liam ketika melihat Ara menoleh kebelakang dan melambaikan tangannya sebelum motor itu melaju kencang. Tapi senyuman manis Ara membuat Liam akhirnya tersenyum sendiri sambil menggelengkan kepalanya. Di dalam benaknya ia merasa setuju bahwa ia harus membawa Ara untuk dikenalkan kepada orang tuanya. Gadis itu adalah sosok yang tepat untuk menjadi tameng hubungannya dengan Lydia. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD