Bersama Adrian.

1104 Words
Untuk beberapa hari ini, Saka tidak mengganggu Sekar. Mungkin laki laki itu merasa bersalah padanya. Dan jujur saja itu membuat Sekar merasa lega sekali. "Saya sangat suka desainnya," ujar Adrian. Saat ini ia dan Sekar sedang berada disebuah restoran. Mereka mengadakan meeting di sana. Dan tentu saja tanpa Pak Ishak. Karena Bosnya itu memang sedang ada kepentingan yang lain. Selain itu juga, Ishak memang jarang ikut meeting bersama Sekar. Ia merasa kalau Sekar sangat bisa dipercaya dan ia mampu melakukan itu sendirian. Dia mampu memberikan proyek besar untuk perusahaannya meski tanpa dirinya. "Oh,ya. Maaf kalau saya akan keluar dari topik. Tapi saya sangat penasaran dengan hal ini." ucap Adrian. Membuat Sekar menautkan kening. "Bapak ingin bertanya apa?" Adrian berdeham pelan. "Tantang kamu dan Saka! Apa benar, kamu istrinya beliau?" Sekar menunduk dan menggigit bibirnya untuk beberapa saat. "Ini sebenarnya tidak ada yang tahu, Pak. Bahkan Pak Ishak pun tidak tahu tentang hal ini." jawab Sekar letih. "Jadi kamu beneran istrinya Saka?" terdengar nada kecewa dari suara itu. Atau ah, entahlah. Mungkin itu hanya perasaan Sekar saja. "Mantan! Kami sudah berpisah dua tahun yang lalu!" jawaban Sekar, membuat Adrian menatapnya lekat untuk beberapa saat. Banyak kata dan rasa yang ingin ia perlihatkan. Namun sepertinya belum saatnya ia memperlihatkan itu kepermukaan. Hanya saja, sebuah senyuman yang amat tipis terlihat di kedua bibir menawan itu. "Oh, saya pikir kalian adalah sepasang suami istri yang sedang bertengkar." kekeh Adrian, ia terlihat salah tingkah."Tapi sepertinya beliau masih sangat menyukai kamu ya?" tanya Adrian lagi, seolah memastikan. "Itu sudah tidak penting, Pak. Semua yang sudah retak, tidak akan mungkin bisa disatukan kembali. Meski memakai lem terhebat di dunia sekali pun. Namun tetap saja, trauma keretakan itu akan ada." jelas Sekar, dan membuat kawan bicaranya mengangguk setuju. "Tapi bagaimana jika beliau berusaha lebih keras. Sehingga kamu merasa simpatik. Apakah kamu akan kembali?" Sekar menatap beberapa saat, lawan bicaranya itu. Kemudian kembali menatap laptop di depannya, setelah menggelengkan kepala pelan. "Simpatik itu mungkin akan ada. Tapi sebuah kepercayaan, saya tidak tahu. Dan saya tidak akan mengatakan kalau perasaan saya tidak akan berubah. Hanya saja, untuk saat ini, saya tidak menyukai itu. Dan juga pembahasan ini saya tidak suka!" Kalimat yang dikatakan Sekar, sangatlah lembut dan santai. Namun maknanya cukup membuat Adrian merasa bangga. Sekar bukan hanya cantik. Tapi dia juga mampu membungkam lawan bicaranya dengan cara yang elegan. "Saya mengerti, kenapa Pak Ishak sangat memperlakukan kamu dengan istimewa. Karena kamu memang sangat pantas mendapatkan ini." ucap Adrian lagi. "Hubungan kami tidak sebaik itu, Pak. Kami melakukannya secara profesional." sekali lagi Sekar berkata dengan nada datar. Dan itu lagi lagi Adrian dibuatnya kagum. Setelah berbasa basi beberapa saat. Lalu mereka kembali meneruskan pembicaraan tentang projek yang saat ini sedang mereka rencanakan. Lalu keduanya makan siang. "Jadi kapan kita akan mulai kerja di lapangan, Pak?" tanya Sekar, setelah makan siang. "Saya ikut kamu saja. Saya takut kamu sibuk." Adrian menyeruput kopinya, dengan menatap wajah jelita di depannya. Lalu karena Sekar merasa kalau tatapan lelaki itu terlalu intens. Sekar pun mengerjap dan berdeham pelan. "Saya kapan aja bisa Pak." "Hari minggu bagaimana?" "Hah! minggu?" Sekar menatap dengan penuh tanya. "Kan kamu tadi bilangnya kapan aja. Jadi bagaimana kalau hari minggu?" sepertinya Adrian memang sangat suka menggoda perempuan itu. Sehingga dia terlihat berpikir keras untuk memutuskan. Dan karena terlihat terlalu lama itu. Sehingga Adrian tergelak kuat. "Kamu ini, saya hanya bercanda, ko." ucap Adrian pada akhirnya. Sehingga Sekar kembali terlihat rileks. *** "Jadi kamu tinggal di kontrakan?" tanya Adrian. Setelah mereka berada di mobil yang sama. Tadi, Sekar hendak pulang dengan taksi. Namun Adrian menawarkan diri untuk mengantarkannya pulang. Awalnya Sekar seperti biasa menolak. Namun Adrian tidak kalah tak tik. Ia pura pura berkata bahwa ia akan membatalkan proyek itu, kalau Sekar sampai menolak untuk ia antar. "Iya, Pak." "Boleh saya mampir?" "Hah, tapikan ini sudah malam Pak," "Ya, saya ingin melihat sebentar saja." Sekar terdiam. Sepertinya ia memang tidak suka, kalau Adrian datang ke rumahnya. "bagaimana kalau lain kali saja pak?" Dalam hati Sekar terus berdoa, agar laki laki itu tidak perlu mampir ke rumahnya. Ia merasa tidak enak pada tetangganya yang lain. "Kamu tenang saja, saya cuma mau lihat sebentar saja." "Sebenarnya tidak perlu dilihat juga sih, Pak. Kontrakan saya kecil dan enggak sedap dipandang mata." "Ya, gak apa apa. Kontrakan kamu tidak enak di pandang mata. Yang pentingkan pemiliknya sedap di pandang mata. Iyakan?" Tiba tiba saja, sekar tersedak air liurnya sendiri. "Waduh, kamu kenapa? Saya minta maaf, kalau kalimat saya malah bikin kamu batuk. Saya benar benar jadi penyakit buat kamu." "Bu-bukan begitu, Pak. Saya hanya tidak biasa saja, menerima hal manis dari orang baru saja dikenal." "Kita kan sudah kenal. Kita sudah bertemu beberapa kali. Bahkan kamu pernah tidur di tempat saya praktek." "Pingsan, Pak. Bukan tidur." "Iya, sama saja." "Beda, Pak." "Sama, kan sama sama tidak sadarkan diri!" Sekar menghela napas kesal. Lebih tepatnya dia sudah kehilangan kata untuk melawan lelaki itu. Lalu keduanya hening. Dengan Sekar yang berwajah masam. Sedangkan Adrian melirik sesekali, dengan tersenyum geli. "Kamu sepertinya sangat cepat marah ya?" "Tidak juga," "Saya hanya bercanda. Tapi kalau kamu anggap serius pun, saya senang. Kamu tahu enggak. Ketika kita sering bertengkar dengan seseorang. Maka kita akan mengingat orang itu lebih sering dari pada yang lainnya." "Tapi saya tidak akan melakukan itu. Saya tidak akan bertengkar dengan orang yang selalu saya ingat." "Ya, secara teori memang begitu. Tetapi kenyataannya akan berbanding balik dari apa yang kita katakan." "Bukan kita, tapi anda saja." Adrian terkekeh. "Saya sekarang baru mengerti, kenapa sampai Pak Saka mengejar kamu. Bahkan mengakui kamu sebagai istrinya. Padahal kalian sudah berpisah." "Kenapa?" "Karena kamu memang lucu!" "Saya bukan anak kucing, Pak." Apa katanya! Adrian kembali terkekeh. "Ya Tuhan ..., " Dia kembali tertawa. "Kamu bisa membuat saya kembali muda dengan kata kata mu itu." Dan lihat, bagaimana wajah datarnya Sekar saat melihat Adrian tertawa. Ia malah menggeleng dingin. Sama sekali tidak tertarik pada laki laki itu. Padahal yang perempuan itu katakan, cukup membuat perutnya sakit. Sekar berkata datar, dan singkat. Namun anehnya, hal datar dan jutek itu malah kesannya terdengar lucu dan menggemaskan. "Saya tidak habis pikir sama kamu, Sekar. Bisa bisanya bawa anak kucing ke sini!" "Kan tadi bapak bilang, saya lucu. Kan yang lucu cuma anak kucing, Pak. Saya tidak selucu itu." "Iya, kamu memang tidak lucu." sahut Adrian dengan mengusap sudut matanya. Ia tertawa terlalu banyak. Sehingga airmatanya menetes. "Ya, memang." "Tapi kamu menggemaskan!" "A-apa?" "Tidak, lidah saya sepertinya salah bicara!" Lalu Sekar hanya menggeleng tidak habis pikir saja. Sedang kan tanpa mereka ketahui, ada sebuah sedan hitam mengikuti mobil mereka. Dia seorang lelaki dan tengah menelpon seseorang. "Ibu bersama Pak Adrian, Pak!" katanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD