03 : Yang gue butuhkan itu duit lo, Beb. Bukan airmata lo!

1126 Words
Oke, gue anggap masalah gue dengan supir kampret itu dah finish.  Dia dipecat. Jadi gue berhasil ngembaliin harga diri gue.  Di mata siapa?  Serahlah, paling gak di mata gue sendiri. Hidup gue kembali tenang, dikelilingi cowok-cowok gue yang tajir dan dermawan.  Salah satunya Huge.  Dia anak kepala suku Papua yang merantau di kota ini. Maksud gue, disekolahin di kampus ini dengan menyandang fasilitas dan dana yang mengalir deras.  Gue, tentu saja kecipratan dana miliknya, kalau enggak ogah gue dekat-dekat dengannya.  Udah hitam, keriting, hidup lagi.  Hehehe.. Ada satu pantangan yang gue lakukan kalau ngedate sama dia. "Ayang, kenapa kita tak boleh mematikan lampu saat pacaran?"  Nah, dia menanyakan hal itu lagi. "Gelap, serem Beb," sahut gue cuek. Dia memeluk bahu gue sambil berbisik mesra, "mengapa takut Hantu?  Ada saya Ayang.." Justru itu!  Dalam kegelapan gue hanya bisa ngelihat gigi putih lo seakan melayang di kegelapan.  Horor kan.  Tapi gak mungkin gue bilang begitu kan?  Gue masih butuh kucuran dananya, jadi gue harus berdalih yang lain. "Hantunya itu dosa yang timbul kalau nafsu datang di kegelapan, Beb.  Gue kan tahu posisi lo. Beb, lo musti jaga martabat keluarga lo kan?  Jangan lakukan sesuatu yang memalukan," ucap gue lembut sambil menyingkirkan tangan item berbulu lebatnya yang asik mengelus pinggiran d**a gue. Dasar oon, dia malah terharu mendengar kibulan gue.             "Ayang benar-benar tulus memperhatikan gengsi dan martabat saya.  Jadi terharu," dia menyusut airmata haru. Haishhh... yang gue butuhkan itu duit lo, Beb.  Bukan airmata lo! Gue mesti balikin topik ke jalur yang benar.  "Beb, tapi gimana nih. Ayang lagi sedihhhhh... hik.. hik.."  Gue pura-pura menangis manja didepan si Gosong. "Kenapa Ayang?  Ada kesulitan apa?  Saya akan bantu kamu beresin." Gue memeluknya mesra, satu kebiasaan yang gue lakukan kalau gue butuh sesuatu darinya. "Beb, Ayang sedih sebab Mami kos mengancam akan mengusir Ayang.  Hik.. hik.. hik.."  Airmata buaya.. ehm, airmata rubah buntut sembilan gue keluarin demi suksesnya misi gue. "Kurang ajar betul!  Berani nian dia usir Ayang saya!  Mau ditempeleng?  Atau didukunin?!" "Jangan Beb!  Bayarin utang Ayang aja!" "Hu.. tang?" si gosong bertanya bingung. Gue mengangguk (pura-pura) sedih. "Uang kiriman Bokap telat, Beb.  Uang kos Ayang nunggak dua bulan, Mami kos udah siap-siap ngusir.  Huaaaaa... Ayang kepepet, Beb!"   ==== >(*~*)   Jurus ini udah gue praktekin lima kali di bulan ini, tentu saja pada lima orang yang berbeda.  Dan semuanya sukses!  Dari duit orang pertama, gue dah bisa ngelunasin uang kos hingga tiga bulan kedepan.  Uang dari orang ke dua hingga keempat, gue pakai buat shopping.  Nah kini gue punya duit nganggur dari orang kelima, si gosong Huge.   Buat apa nih? Hidung Cyndi yang bisa mengendus duit langsung ngajakin gue ketemuan, di toko perhiasan. "Uang segini dapetnya cuma cincin bermata berlian kecil doang, Cyn," keluh gue sambil meneropong cincin yang ada di jari lentik gue. Cyndi bisa membeli cincin yang matanya dua kali lebih besar dibanding yang gue pilih.  Itu berkat o*******g yang miara dia, sepertinya kali ini dia mendapat yang lumayan kakap. "Makanya Say, lo sih mainnya yang tingkat middle mulu.  Yang level top dong kayak gue, kali aja dapat yang paus!" ledek Cyndi. Gue memutar bola mata malas. "Yang kakap tuh biasanya, o*******g.  Tuntutannya tinggi.  Gue belum siap totalitas nyerahin diri gue!" Cyndi mencibir mendengar pembelaan gue.  "Heleh, sok gak doyan ama Om-om.  Padahal yang lalu elo sempat menyodorkan diri pada Om Sinterklas yang beliin lo Jimmy Chow kan?!" Asyem, gue sontak teringat pada Om yang menolak gue dengan penuh kasih sayang.  Meski lembut caranya, tapi tetap judulnya DITOLAK MENTAH-MENTAH! Seorang Luna yang biasa dipuja dan menendang cowok out dari hidupnya kini mendapat rapor merah dari golongan om-om yang selama ini dihindarinya. Ironis.  Miris. "Shut up, b***h!  Itu sejarah kelam gue sebagai cewek matre, don't remember it!" Kurang ajarnya, Cindy terkekeh geli ngetawain kemalangan gue.  Yeah, ibaratnya orang dagang kan sesekali sepi euy. Gue memeriksa perhiasan yang dipajang di etalase, perhatian gue terbetot pada satu bros cantik bermata berlian bentuk burung phoenix.  Burung phoenix itu terlihat angkuh, namun kesepian, kayak... "Kau suka?  Itu seperti dirimu." Suara ini, gue mengenalinya!  Gue menengadahkan kepala dan bertemu pandang dengannya. Perfecto! Si Om makin ganteng dibanding terakhir gue ngelihat dia.  Cindy menyikut pinggang gue antusias. "Who?  Kenalin dong, paus nih!" bisiknya penuh gairah. Entah mengapa gue gak rela si Om jatuh ke tangan jalang satu ini. "Dia Om Sinterklas gue!" balas gue berbisik. Binar-binar di mata Cyndi langsung redup.  "s**t!  Ternyata mata lo jeli juga!" Buru-buru gue bekap mulut Cyndi sebelum suara toanya nyampai ke telinga Om. "Hallo Om.  Ommm masih ingat saya?" tanya gue salting.  Gue bukan pasang aksi sok polos kayak biasanya, sumpeh gue grogi betulan! Si Om tersenyum manis hingga membuat hati gue meleleh seperti eskrim.  Amboi indahnya.  Gue melongo ngelihatnya. "Tentu.  Berkesan sekali bagi saya menemukan cewek menangis tak berdaya di butik sepatu," godanya ringan. Blush.  Pipi gue merona mirip anak abg baru dipuji gebetannya. "Iya, untung ada Om.  Entah bagaimana saya bisa membalas kebaikan hati Om." Nikahi gue aja, Om.  Jadikan gue ratu di hati lo.  Gilak!  Pikiran gue lagi korslet nih. "Never mind, gak usah dibikin beban."  Si Om melirik jam tangannya, naga-naganya dia akan pergi. Ternyata benar, dia lalu pamitan pada gue.  Sayang, gue belum puas bertemu dengannya. "Gitu ya, gue gak dikenalin ama si Om," sindir Cyndi nyinyir. "Lupa," ucap gue terkekeh. "Bener lupa apa ngelupa?  Takut kesaing kali." "Apasih, suwer gue lupa.  Lagian si Om ngelirik elo juga enggak kan." Itu benar.  Si Om kayaknya bukan tipe playboy yang ngelihat yang bening dikit langsung jelalatan. "Oke, gue akui.  Dia hot banget tapi gak urakan!  Lo mesti piara baik-baik paus ini, Luna.  Lo harus sering keep contact sama dia... " Mampus gue.  Lagi-lagi gue lupa minta nomor kontaknya.  i***t!  Apa ada pertemuan gak disengaja seperti ini lagi?!  Seribu satu!  Tapi mungkin masih ada kesempatan, buru-buru gue mengejarnya. "Lun... Luna, mau kemana lo?!" teriak Cyndi bingung. "Mengejar masa depan gue!" sahut gue asal. Gue berlari secepat mungkin ke area parkir, dan untungnya gue bisa mengenali mobil Om.  Gue mengetuk kaca mobilnya, Om menurunkan kaca mobilnya dengan kening berkerut. "Ada barang saya yang terbawa, Om!" cetus gue dengan napas ngos-ngosan. "Maksud kamu?" "Hati saya, Om..." Sinting!  Gue gak berniat ngombalin dia, tapi omongan gue terkesan receh.  Murahan banget, kaliiii. Om menatap gue tajam, gue balas menatapnya polos. "Bagaimana ya, saya belum bisa mengembalikan barang kamu yang terbawa saya.  Bagaimana kalau kita negosiasikan sambil lunch bareng?" OMG... Apa Om ngajak kencan?  Jantung gue seakan hendak meledak saat ini juga! "Ini bukan kencan.  Hanya negosiasi antar teman," tegasnya. Oke, jantung gue gak jadi meledak.  Dia letoy di tengah gairahnya.  Tapi gue masih menyetel wajah semanis mungkin.  "Tentu Om, kita berteman?" Rasanya aneh, gue gak pernah punya teman Om-Om gini.  Haishhhh, gue jadi meragukan pesona gue sendiri sebagai Luna, si ratu matre.   ==== >(*~*) Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD