lima

1856 Words
AKU memanggil Pram sekali lagi, "Pram...! Ya Allah, kalau mandi lama banget, ih! Cepetan, dong! Gantian tau..." Meski sudah kugedor pintunya, dia tetap saja hening di dalam sana. Bukannya tak mendengar, Aku tahu telinganya masih sangat berfungsi dengan baik. Tetapi begitulah Pramuja, selalu memancing emosiku di pagi hari. Hari ini; Minggu. Itu berarti hari kedua dia siaran malam, selepas maghrib. Tepat pukul enam sore sebenarnya, dan tengah malam. Untuk itu, pagi-pagi sekali, kami harus sudah sampai di rumah Mas Prabu, sepupunya Pram. Pram melarangku datang dengan alasan takut membuat hatiku menciut, mengingat acara yang akan kami hadiri adalah Sepasaran bayi. Kalian pasti tahu dampak nama itu jika disebut di depanku. Sakit. Tetapi aku tidak boleh egois. Ini adalah hari bahagia karena kelahiran anggota baru Natanegoro. Mana mungkin aku tidak datang, setelah setahun lalu aku juga masuk di dalamnya? Mrs. Natanegoro. Begitulah nama yang kutulis di bio Instagramku. Grrrrr! "Pram, ya ampun! Kalau nggak keluar juga aku bakal pakai kebaya mini, ya?" "Ini lagi pup, Ra! Mandi di kamar lain ngapa?" Alasan. Lelaki itu, Tuhan.... Aku sungguh akan mempertimbangkan untuk meninggalkannya kalau tidak mengingat betapa seksi bokongnya saat kusentuh. Betapa manis senyumnya setiap selesai b******a. Hmm, aku memang tertakdirkan untuk menerima semua kekurangnnya; mandi dan pup sangat lama. Dengan perasaan gondok, aku menyambar jubah mandi, meninggalkan kamar dan berjalan ke kamar lain. Daripada kami telat dan memalukan diri di depan keluarga besarnya, lebih baik aku menaikkan satu level di atasnya. Orang bilang, secara psikologis, memang perempuan jauh lebih dewasa dibandingkan lelaki, kan? Aku percaya itu kali ini! Yess, aku memang lebih dewasa dibandingkan lelaki downy satu itu. Setidaknya, ada satu bagian dalam diriku yang patut disejajarkan dengannya. Hahaha. Aku menggosok tubuhku dengan cepat, membilasnya juga tak kalah cepat. Setelah selesai dengan acara siram-menyiram, aku berjalan ke westafel mengenakan jubah, dan mengambil gosok gigi. Memandangi cermin, aku terdiam sejenak. Kenapa semakin hari aku semakin cantik? Hell, jelas karena aku bahagia sekarang. Baby, kapan kamu hadir di perut Mami? Pram sudah berdiri di depan cermin, sangat sempurna. Batik cokelat yang ia padukan dengan celana bahan hitam terlihat begitu kekeluargaan di tubuhnya. Aku memperhatikannya dari pintu, dia sedang mengambil gel rambut, lalu mengaplikasikan pada rambut pendeknya. Terkadang aku berpikir, bagaimana penampilan Pram dengan rambut gondrong? No no no! Jangan dibayangkan! "Hai, ya ampun. Baru selesai?" Aku mendengus, mengbaikannya dan terus berjalan ke arah lemari. Mengambil celana dalam dan bra, kemudian memakainya langsung di depan Pram. "Tolong kaitin, dong...." Dia berjalan mendekat, melakukan permintaanku. Sementara tanganku memilah pakaian apa yang harus kukenakan. Ini adalah masalah kedua; pemilihan pakaian saat akan pergi ke acara memang cukup mengganggu. Aku merasakan dia mengecup pundakku sekilas, dan aku masih berpura-pura mengabaikannya. Hingga, mungkin merasa terus diabaikan, dia melingkarkan tangannya di perutku dan menciumi bagian pundak. "Pakai gamis aja coba... pengin lihat." "Terus pakai kerudung?" "Boleh." Aku berbalik, masih hanya mengenakan bra. "Tapi aku belum siap, Pram. Sayang baju-bajuku." Aku menarik napas dalam. "Lagian, aku juga masih pengin warnain rambut dengan gaya baru tiap bulannya." "Buat siapa?" "Huh?" Dia menarik sudut bibir, membentuk senyuman kecil. "Ngelakuin semua itu buat siapa?" Sial. "Ya buat kamulah." "Terus kenapa semua orang harus tahu?" Aku diam. Bodoh. Kenapa harus memancing dia untuk berceramah panjang lebar. "Kalau kamu emang sayang baju-baju lama, aku sanggup beliin yang baru. Kalau alasannya karena pengin warnain rambut, aku nggak pernah larang kamu. Jadi aku cuma mau tanya, buat siapa semua itu?" "..." "Buat dilihat sama orang-orang, kalau istri Pramuja itu cantik dan seksi banget. Begitu?" "Tapi kalau aku terpaksa ngelakuinnya gimana?" Lanjutkan, Ramelia.... "Apa itu malah nggak bikin aku tambah dosa?" "Kamu nggak mau pakai aja itu udah dosa, Ra.... Urusan terpaksa atau nggak, itu harusnya kamu sadar kalau hijab adalah wajib. Nggak ada negosiasi." Dia memberi jeda sebentar, lalu kembali berbicara. "Nggak semua perempuan baik itu berhijab, tapi perempuan yang berhijab selalu berusaha dipandang baik." Well, Aku tahu itu. Ya Tuhan, bukannya aku ingin membangkang perintah agama, tetapi ini... maksudku, ini adalah urusanku langsung dengan Tuhan. "Gimana sama Dhea? Dia juga nggak kamu paksa buat pakai." "Kalau kamu aja nggak mau nurut sama aku, gimana aku punya kekuatan nyuruh dia?" Boom! "Aku tunggu di depan, mau nonton berita terbaru Jessica. Kasihan." Dia mengecupku, kemudian berjalan meninggalkan kamar. Jessica. Kenapa dia harus kasihan dengan seorang pembunuh? Kendati aku masih bertanya-tanya, benarkah Jessica yang membunuh perempuan itu? Bagaimana kalau bukan dia dan ternyata Indonesia salah lagi dalam menghukum seseorang? Tetapi kalau bukan dia, siapa? Suaminya, seperti apa prasangka temanku? Sama sekali tidak masuk akal. Mereka bahkan sudah pacaran sejak bertahun-tahun lamanya. Persetan. Diam sejenak, aku memandangi beberapa bajuku yang menggantung. Sekarangkah waktunya? Tetapi bagaimana jika aku benar-benar belum merasa siap dan belum ikhlas mengenakan itu? Bagaimana jika hijab hanya akan menjadi beban pikiranku? Tetapi, dalam cinta saja aku mau memperjuangkan hal yang membebankan, menyakitkan, dan di luar keikhlasanku. Kenapa aku tidak mempraktikannya dalam hal ini? Jika membahagiakan Tuhan adalah jalan untuk membahagiakan suamiku, kenapa aku harus berpikir dua kali? Ya Tuhan, aku memang perempuan yang tidak tahu malu. Benar kata Pram, untuk siapa aku menjadikan diriku secantik ini kalau bukan untuk Tuhan dan dirinya? Bodoh. Dengan gerakan cepat, aku menarik satu gamis bewarna pastel; gamis lebaranku tahun lalu. Setelah berhasil mengenakannya, aku mengacak lemari, mencari pashmina satin bewarna gold. Sekarang, duduk di depan cermin dan mulai mengoleskan foundation dan t***k-bengek lainnya. Setelah itu, aku memandangi wajahku yang sudah mengenakan inner ninja bewarna hitam. Aku harus siap. Tidak akan pernah siap, jika aku tidak memaksa diriku sendiri. Menarik napas sedalam mungkin, aku mulai melilitkan kerudung di kepalaku. Tidak perlu waktu lama, aku sudah merasa cantik. Aku menghampiri Pram dan berdiri di depannya. Tidak berkata apa pun. Hingga aku melihat tubuhnya berjengit kaget, dan tangannya menyentuh d**a dan berkata, "Astagfirullah!" "Ih! Bukannya Masya Allah lihat orang cantik malah astagfirullah. Males." Tawa kecil meluncur dari mulutnya, kemudian dia berdiri dan mengambil jarak beberapa langkah dariku. Diam, memperhatikanku sangat intens. Dia tidak tahu kalau tatapannya membakar sekujur tubuhku. Sial. "Cantik banget." Dia mendekat, mencium keningku lembut. "Sekarang aku percaya, kalau kecantikanmu cuma buat aku. Makasih." "Nggak aneh, kan?" "Enggak, dong. Siapa yang berani bilang aneh, bakalan aku bogem. Seterusnya, kan?" Sesuatu menghampiri kepalaku, "Hari ini aja, ya, Pram...." "Ra...." "Hahaha. Bercanda." Aku mengelus dadanya, lalu mengecup lembut. "Aku juga mau tinggal bareng kamu di surga nanti." "Yakin banget bakalan masuk surga?" "Ya ampun!" Aku menjerit. Seketika tersadar, "Iya, sih. Tuhan Mau nggak ya maafin masa laluku?" "Dia itu maha segalanya. Kita yang sungguh-sungguh aja kalau minta apa pun." "Aku cinta kamu." "Aku tahu." Fucker! Aku melihat secangkir kopi sudah tersedia di atas meja, bersama koran hari ini. Bayangkan, sembari menonton tv, dia masih sempat membaca koran. Aku agak tidak yakin kalau dia adalah manusia normal. "Kopi buatanmu selalu enak." Aku meletakkan kembali di atas meja, setelah berhasil mencicipinya. "Bilang Mbak Ijas, nanti tolong masakin rendang, dong. Lagi pengin." "Tinggal beli nasi padang, sih." "Enakan masakkan Mbak Ijas." Suami kejam. Terang-terangan memuji perempuan lain di hadapan istri sendiri. Baiklah, di situasi religi ini, aku memaafkannya. . . . . "Hai... Ya Allah ucul banget. Namanya siapa Mbak Din?" Aku terus menciumi pipi bayi tembam berusia 36 hari ini. Mbak Dina, istri dari Mas Prabu hanya tersenyum simpul sembari terus menceritakan bagiamana perbedaan kelahiran anak pertama dan keduanya. "Namanya Ragil Natanegoro. Aku udah. Mau punya dua aja." "Kenapa?" "Sakit, Ra.... Haha." Sakit. Benarkah? Tetapi aku justru ingin merasakan rasa sakit itu. Sakit yang membawa kebahagiaan untuk masa depanku dan Pram. Aku akan menunggunya. Tenang saja. "Kamu mau nyobain bubur merah-putihnya nggak?" "Merah-putih?" Dia mengangguk antusias, lalu mengajakku ke dapur dan menyodorkan dua piring dengan warna bubur yang berbeda. "Ini putih, karena cuma dikasih santan. Tapi gurih banget." Aku mengangguk. "Yang ini merah, dikasih gula merah. Belum pernah lihat?" Aku menggeleng. Mengambil sendok, lalu perlahan menyuapkannya ke dalam mulutku. Hm, rasanya sedikit aneh tetapi tidak terlalu buruk. Adat Jawa memang sungguh menarik untuk diikuti. Acara syukuran bayinya, makanan seperti buburnya ini, dan lain-lain. Seperti pernikahanku dulu. Aku sampai harus kuliah satu hari penuh bersama Ibu. "Gusti pangeran.... Ini Ramelia? Kok, nambah ayu gini kamu, Nduk?" Aku menoleh ke belakang, mendapati Ibu berdiri sangat cantik dengan kebaya panjang berwarna marun. Ekspresinya sama persis seperti Mbak Dina. Tetapi jauh lebih berlebihan. "Beneran nambah cantik, Bu?" "He'em. Ibu tadi sampai pangling tenan, lho. Pram itu ternyata, ya, pinter milih istri." Aku tertawa kecil, obrolan mengalir seputar kegiatan nanti saat pemotongan rambut dan pembacaan doa dari Ustadz. Aku yakin, nanti aku akan mengalami hal yang sama. Aku hanya perlu bersabar. "Tin! Tina!" Aku mengikuti arah pandang Ibu, Bule Tina berjalan mendekati kami berdua, sedangkan Mbak Din sudah masuk ke ruang tengah bersama Ragil mungil. "Kamu lihat menantuku, makin cantik, tho?" "Lho, ini Ramelia? Tak kirain tadi MC-nya. Hahaha. Gusti.. Aku pangling, Mbak." "Ah, Bule... Aku jadi seneng, nih." Semuanya tertawa. Aku memang hidup seorang diri di Jakarta, setelah Ayah dan Bunda memutuskan tinggal di California. Tetapi semenjak menikahi Pram, aku merasa kalau mereka benar-benar keluargaku. Tidak ada drama saling singgung dan tidak merestui. Karena aku punya segalanya. Bahkan, kalian harus tahu, kalau aku salah satu menantu kesayangan di keluarga besar ini. "Sudah ada tanda-tanda, Ramelia?" Bule Tina kembali bertanya. Aku berhenti mengunyah bubur, "Hamil maksudnya, Bule?" Beliau mengangguk. "Belum. Nggak tahu, nih, lama banget. Padahal Pram jago banget, lho." "Ternyata nggak menjamin, ya..." Aku ikut tertawa. Ya, sejago apa pun Pram, tidak menjamin aku langsung hamil. "Nggak papa, ya, Sayang. Masih muda. Pacaran aja dulu sama Pram, kan dulu nggak sempat pacaran lama." Ibu selalu membelaku. Aku menatapnya penuh haru, bahkan Bunda selalu menyalahkan masa lalu dibalik keadaanku sekarang. "Emang nggak pengen punya cucu pertama, Mbak?" Bule Tina menatap penasaran. "Yaa mau tho. Nanti, kan, ada waktunya. Yang penting sekarang anakku bahagia. Istrinya juga bahagia. Kamu bahagia, kan, Ra?" "Iyalah. Siapa yang nggak bahagia hidup bareng presenter seksi itu." Aku tidak berbohong. Mereka berdua tertawa. Menertawakanku. Lihatlah, Pram sayang. Aku selalu membanggakanmu. "Ramelia ini hebat, lho, Tin. Buat Pram berubah banyak." Bule Tina menoleh, semakin penasaran. "Kamu, kan, tahu kalau Pram ndak suka pedas, tho?" Bule mengangguk. Aku hanya tersenyum melihat percakapan mereka. "Sekarang itu jadi suka makan! Ya, walaupun keringatnya sejagung-jagung pas makan sambel, tetap aja ngeyel makan." Aku terbahak. Sungguh, aku sangat menyukai suku Jawa. Meskipun tidak semuanya, tetapi mereka itu sangat hiperbolis. Ibu adalah mertua terbaik. Well, karena aku hanya mempunyai satu mertua saja, jadi aku tidak terlalu yakin. Aku akan membandingkannya nanti, kalau aku sudah memiliki suami kedua. Oopss! Kalian jangan comel dan mengatakan ini pada Pram, dia akan mengamuk seperti anak kecil, padahal rambutnya sudah tumbuh uban. Hell, aku menemukan satu uban saat sedang memangku kepalanya beberapa waktu lalu. "Pram di mana, Nduk?" "Tadi lagi ngobrol sama Pakde. Makanya aku nyamperin Mbak Din." "Sini," Ibu menarik tanganku dan menunjuk sesuatu dengan telunjuknya. "Kamu lihat perempuan berkerudung hitam itu?" "Iya." "Dia dulu calon istrinya Pram. Tapi gagal karena kabur sama lelaki lain." Aku tercengang. Berita apa ini? Pram sudah memilik calon istri? Aku mengabaikan Ibu yang terus berbicara mengenai perempuan itu. Otakku terus memikirkan bayangan-bayangan mereka dulu. Sedetik, aku merasa sangat tidak rela kalau Pram pernah memiliki perasaan ke perempuan lain. Dia milikku. Hanya milikku. Apa... ini alasan dia langsung melamarku tanpa persiapan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD