dua

1248 Words
TANGANKU membawa secangkir kopi lengkap dengan piring kecilnya. Melangkahkan kaki, menuju ruang tengah untuk menemui Pangeran di sana. Benar saja, dia sedang menunduk, mengikat tali sepatu. Kemudian mengangkat wajahnya kembali, dan membenarkan jaket denim-nya. Satu tahun lalu, tidak pernah terbayangkan aku akan dipertemukan dengan lelaki ini. Lelaki yang datang ke Kafeku dengan rambut berantakan dan kaus oblong abu-abu, tetapi luar biasa menggairahkan. Oh ayolah, aku sudah 28 tahun saat itu dan terlalu lama puasa. Dia duduk di kursi dekat jendela, bersama beberapa orang yang mengenakan pakaian biru seragam. Salah satu stasiun televisi milik politikus itu. Aku tidak ingin menyebutnya, karena Pram tidak suka. Menurutnya, saat aku menyebut nama lelaki berumur itu, aku terlihat seperti menginginkannya. Betapa luar biasa suamiku, ya? "Mbak?" Saat itu aku melihat dia sedang berbicara dengan Tari, salah satu karyawanku. Karena aku duduk di meja depan mereka. "Kok, kopinya pahit, ya?" Jelas saja, aku berkerut bingung. Bukankah di mana-mana kopi memang pahit? Lalu apa masalahnya? Aku tetap memasang wajah biasa dan memperhatikan reaksi dari karyawanku. Sebelum menjawab, Tari sempat menoleh ke arahku. "Pahit? Um, mau ditambah gula. Begitu, Mas?" jawabnya, sembari tersenyum ramah. Itu adalah peraturan pertama dalam perukrutan karyawan baru. Semua yang ingin bekerja di Kafeku harus siap menjadi orang munafik dengan baik. Tidak boleh terbawa situasi hati, tidak boleh gampang berasumsi, tidak boleh sinis terhadap tamu dan tidak boleh melakukan hal buruk lainnya. Aku adalah bos, ingat? Karena aku sungguh muak dengan pelayanan beberapa Kafe atau tempat-tempan lainnya. Mereka memperlakukan tamu seakan kami bukan manusia yang tidak butuh basa-basi. Aku tekankan sekali lagi; basa-basi di bisnisku adalah perlu. "Boleh ditambah gula?" Lelaki itu tersenyum sembari menyodorkan cangkir kopinya. "Diabetes ntar, Mas." Suara salah satu temannya yang aku bahkan tidak mengetahui namanya sampai sekarang. Lelaki yang dipanggil 'Mas' itu hanya tersenyum kecil. Kemudian mereka kembali berbincang dan sesekali kedua temannya menunjuk layar laptop dan menulis sesuatu di sebuah kertas. Aku terus memperhatikannya. Karena sesungguhnya, perempuan sepertiku tidak memiliki kegiatan lain. Tari datang dengan secangkir kopi yang tadi ia bawa, lalu meletakkan di hadapan lelaki itu. Kemudian dia berjalan ke arahku, dan duduk di kursi kosong. "Anjir! Lo tahu nggak, Mbak? Dia itu Pramuja...." Aku mengangkat sebelah alis, apa urusannya dengan Ramelia Azzahra? "Lo nggak kenal?!" Dalam hitungan detik, aku sudah menggeplak kepalanya dengan sendok kopi milikku. Tidak menghiraukan pekikan tertahannya. Aku tidak peduli. "Dia presenter Metro TV itu, loh.... Buset dah, masa nggak kenal?" "Bukan urusan gue ya, Ri!" Dia nyengir. Karyawan yang paling berani sekaligus gemar membuatku darah tinggi dengan ulah ajaib hanyalah Tari. Hell. "Potoin gue kali, Mbak. Please...." "Najis lo!" "Please...." Hingga akhirnya, dengan sisa kebaikan, aku menuruti permintaannya saat itu. Dia mendekati gerombolan lelaki Metro TV, berbisik pelan. Aku tidak bisa mendengarnya. Sama sekali. Yang kuingat, lelaki yang Tari sebut presenter itu berdiri, kemudian Tari memanggilku untuk mendekat. "Nih, potoin. Jangan ngeblur. Awas aja lo." Berengsek! Aku merebut ponselnya kasar, lalu memasang senyum kecut saat mataku dan mata lelaki itu bertemu. Membuka aplikasi kamera, aku segera mengambil beberapa gambar mereka supaya Tari puas. Ada ekspresi Tari yang sedang tersenyum lebar, kemudian ada juga foto yang memperlihatkan tangan lelaki itu di pundak Tari. "Mbaknya nggak?" Aku tertawa kecil. Dia pikir, wajahku adalah wajah perempuan norak seperti Tari? Oh Tuhan, dia jelas sedang bercanda saat itu. "Saya nggak doyan selebriti." "Btw, saya bukan selebriti. I am Pramuja." Dengan cepat aku kembali memfokuskan pandangan padanya, kulirik Tari sedang tersenyum-senyum memandangi lelaki itu. "Perlu saya menyebutkan nama?" "Nggak." Ekspresi senyum itu muncul lagi. "Saya bisa tanya sama Mbak ini. Boleh tahu nama temannya?" "Oh? Um, dia..." Tari gelagapan. Dasar perempuan sialan. "Ramelia Azzahra. Namanya Ramelia Azzahra." "Halo, Ramelia." Lelaki yang mengaku namanya Pramuja itu mengangkat sebelah tangannya bersama cengiran lebar. "Terima kasih sudah mau menjadi fotografer. Mau saya traktir besok malam di sini?" Dan kalian tahu? Aku benar-benar datang lagi ke Kafeku besok malamnya. God! Aku tidak menyangka akan menjadi perempuan sebodoh Tari. Sejak malam kedua pertemuan kami, dia sering mengisi hari-hariku kalau aku tidak datang ke Kafe. Dengan harga diri yang kupatok lumayan tinggi, aku sedikit menjaga jarak dengannya. Tetapi lambat hari hingga sekarang, aku yang dibuat gila dan dia hanya seadanya. Sialan! "Kenapa berdiri di situ? Siniin kopinya." Aku mengerjap, segera menyadari kalau aku terlalu banyak melamun. "Ini bukan Downy, ya, Ra?" "Sok tahu." Tangannya menggesek kaus di lengannya lalu mengendus seperti kucing. "Kok baunya beda ya? Biasanya nggak gini." "Lagian apal banget, sih. Cuma beda warna doang." Dia berdecak. "Balik lagi yang itu ajalah. Males aku yang ini." Kalian lihat, semakin lama dia ini semakin menyebalkan. Adakah pria di luar sana yang mempermasalahkan warna dari pewangi pakaian? Kurasa tidak. "Pulang jam berapa?" Dulu, dia yang akan bertanya hal demikian, karena aku terlalu cuek. Sekarang, aku yang dibuat belingsatan, takut kalau dia lupa pulang. "Kelar jam delapan. Um, paling malem jam dua belas, deh." "Terus ngapain empat jam itu?" Napasnya berhembus kasar, dia meletakkan kopi di meja, lalu menghadapku. "Jam delapan selesai on air. Beres-beres setengah jam. Perjalanan dari kantor ke rumah itu lama lho, Sayang. Atau aku nggak usah pulang aja?" "Puasa satu tahun!" Tawanya terdengar seketika. "Yaudah, gampang itu mah. Banyak kok, selebriti cantik yang mau." "Pram..." "Hahahaha.... Ya ampun. Istri galakku makin seksi." Dia mencubit pipi kananku. "Nggak mungkinlah ada yang bisa ngalahin kamu. Kamu kan udah yang paling liar." "Pram..." "Beringas lagi kalau ditinggal sampai seminggu." "Pram..." "Hahaha. Iya iya. Aku kalah." Kedua tangannya diangkat ke udara. Terpaksa, senyum menjijikkan keluar juga dari mulutku. "Kamu bilang, aku juga liar kalau nggak ketemu kamu dua minggu, yah?" "Tuh tahu!" Dia kembali tertawa. Dia memang benar. Kalau dia sedang ke luar kota sampai dua minggu, dia akan sangat berbeda saat di ranjang. Lebih berani hingga lupa bertanya apakah aku nyaman atau tidak. "Omaigad! Ini lagu kita!" Aku berteriak cukup kencang, saat tiba-tiba lagu Dan + Shay yang berjudul From The Ground Up diputar di acara pagi di televisi itu. Bersamaan, aku dan Pram mengikuti lirik lagunya. Lagu sakral dan akan menjadi selamanya lagu terbaik sepanjang masa. Bagaimana tidak? Lelaki menyebalkan ini melamarku di dalam bus saat perjalanan menuju kampung neneknya. Saat itu, alam sedang menangis, dan suasana bus semakin dingin. Sembari merapatkan jaket, aku terus mengatakan dingin pada Pram. Dan dengan tiba-tiba, dia memasangkan headset dan memutar lagu itu. "Dengar, dan pahami maksudnya. Bisa bahasa inggris, kan?" ucapnya saat itu. Aku berusaha tidak menghiraukan pertanyaan kurang ajaranya dan memilih fokus pada lagu yang kudengar. Dan seketika, senyum bodoh tercetak di wajahku. "Menikah denganku, ya, Ra? Kita buat bayi yang mirip kamu, kita buat kamar bayi, dan kita besarkan mereka." Dia tidak tahu cara melamar perempuan dengan baik! "Kita belum lama pacaran." "Aku nggak mau macarin kamu terus, nikah aja, ya?" Karena tidak ada yang terpikirkan oleh otakku saat itu, maka yang bisa kulakukan adalah mengangguk. Kenapa aku menerimanya, di saat dulu, aku begitu terikat dengan Romi? Baik fisik mau pun jiwaku? Karena Pram adalah apa yang kubutuhkan. Dia tidak paham menjadi aku, tetapi dia menawarkan tempat baru di sisinya. Dia tidak mengerti bagaimana sakitnya aku karena lelaki, tetapi dia menawarkan hatinya untukku. Dia tahu dia bukan menjadi yang pertama, tetapi dia memberiku yang pertama dan terutama. Dialah suamiku. Sekarang, esok, dan kuharap selamanya. "Aku berangkat, ya... Nanti kalau Mbak Ijas udah pulang dari supermarket, bilangin jangan masak buat kita." "Kenapa?" Dia mendekatkan kepalanya, berbisik di telingaku. "Aku mau beliin kamu sate padang." "Serius?" Kepalanya mengangguk. "Thank you..." "Lipstiknya nempel di bibirku!" protesnya, saat aku mencium bibirnya kasar. "Aku Ramelia, lho. Dan ini Kissproof." Dia baru saja memutar bola matanya? Tuhan!  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD