PROLOG

700 Words
Amel dan Pram sedang duduk di sofa, dua pasang mata itu menatap lurus ke layar kaca di depannya. Bukan karena adegan menarik dari sebuah film, atau pun iklan promo dari pusat perbelanjaan. Tetapi di sana, di dalam layar kaca itu, ada seorang psikolog sedang menjadi bintang tamu di sebuah program pagi. Temanya kali ini mampu menyedot perhatian pasangan ini. Amel, yang memang menyukai program apa pun, kini terpaku sempurna. Pikirannya melayang jauh. Matanya bahkan merekam satu persatu huruf yang diucapkan oleh Psikokog itu. Sejak lama, dia menginginkan topik ini dibahas. Klise memang. Tetapi itu selalu ada mengitari kehidupan manusia. Maka, dia memasang baik-baik semua inderanya untuk menangkap kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh psikolog itu. Berbeda dengan Pram, dia yang memang tak menyukai segala jenis program, kecuali berita. Tetapi, karena sang istri yang memilih channel, dia diam memerhatikan. Itung-itung untuk menghabiskan waktu liburnya dengan duduk menatap layar kaca itu. Menemani Amel menonton televisi memang menjadi salah satu kegiatan favorit Pram. Setelah program berganti iklan, keduanya secara bersamaan menolehkan wajah, menatap satu sama lain. Sepertinya tidak ada yang berniat untuk memulai. Oh ayolah, mereka tidak bisa melakukan telepati. Untuk itu, seperti biasa, Pram memang harus selalu mengalah dengan memulai terlebih dahulu. "See?" Dia menaikkan alis, dan mengangkat bahunya tak acuh. "Anak bukan satu-satunya faktor untuk membuat keluarga bahagia. Jadi berhenti merengek dan memintaku buat hamilin kamu." Amel masih diam. Pram memutar bola mata sebal. Lantas, diraihnya tangan Amel, lalu digenggam erat. "Cukup, ya, Ra. Buang semua pemikiran kamu, kalau anak bisa mengeratkan hubungan kita..." Pram menarik napas sejenak, sebelum melanjutkannya kembali. "... Langgeng atau nggaknya sebuah hubungan, tergantung aku sama kamu. Kalau aku ninggalin kamu dengan alasan kamu nggak bisa kasih aku anak, itu sebenernya karena emang aku nggak niat hidup bareng kamu. Is it clear now?" "Tapi itu cuma pendapat psikolog itu. Bisa aja karena dia juga nggak punya anak." Amel menggigit bibirnya. Sesekali, ia menggerakkan mata ke atas, berharap airnya tak segera tumpah. "Tapi kita baru satu tahun menikah. Kita bisa punya anak kalau kamu emang pengin banget." "Kalau nggak bisa?" Pram terdiam. Dia bingung harus mencari alasan apalagi agar istrinya percaya, kalau yang ia butuhkan hanya Amel berada di dekatnya. Oke, dia mungkin sedikit berbohong. Dia pun sangat menginginkan seorang anak. Membayangkan Jagoan atau Putrinya berada di dalam perut rata Amel, membuatnya seperti remaja yang sedang jatuh cinta. Tapi seperti ini pun cukup. Pram tidak pernah meminta lebih. "Aku akan jadi anak kamu." Amel mendengus. Berbicara dengan lelaki ini, sama saja berlatih untuk tidak mengamuk saat ia mendengar keluhan pelanggan yang menyebalkan. "Kita adopsi anak. Kita cari bayi dan kita bisa jadikan dia anak kita." Pram menambahkan. "Aku maunya anak kamu!" Amel berteriak sembari menutup wajah dengan kedua tangannya. "Aku maunya anak kamu, Pram... Darah daging kamu yang tumbuh di sini...," ucapnya lirih. Tangannya menunjuk perut berkali-kali. "Aku maunya anak kamu...." Pram berlutut, menggenggam tangan Amel kuat. Yang selalu Pram yakini adalah Amel setegar pekerjaannya. Amel sekuat kalimat saat memarahi karyawannya. Amel seyakin dirinya saat mempertahankan pendapat. Pram yakin Amel sehebat itu. Tetapi sekarang, yang Pram lihat, mata karamel itu tidak lagi seindah dan sehangat biasanya. Di sana, Pram tahu ada begitu besar rasa kekecewaan, putus asa, dan... terluka. Apa yang harus dilakukan saat melihat orang yang biasanya terlihat sangat kuat, tiba-tiba menjadi begitu lemah? Jika biasanya ia yang selalu memberi semangat kepada semua orang yang jatuh, namun kini dirinyalah yang jatuh, sejatuh-jatuhnya? Pram juga tahu, sebanyak apa pun kata motivasi yang ia berikan untuk Amel, tidak akan sepenuhnya mengubah suasana hati istrinya. Yang Amel butuhkan, hanya kepastian kapan perutnya akan membesar. Kapan bayi kecil mereka akan tumbuh di rahimnya. Hanya itu. Dan, buruknya adalah Pram tidak tahu kapan semua itu terjadi. Tidak akan pernah tahu. "Nggak cukup dengan ada aku di samping kamu?" Amel menatap Pram lekat, ingin sekali ia menjambak rambut lelaki di depannya ini. Tidakkah dia tahu, kalau semua perempuan menginginkan bayi dari lelakinya? Adopsi dia bilang? Menyayangi orang lain, tidak akan pernah bisa sama dengan darah daging sendiri. Meskipun kecil, tetapi perbedaan itu pasti ada. Dan Amel yakin itu. "Mau kemana?" Pram menarik tangan Amel, ketika dilihatnya istrinya berdiri. "Makan. Laper." Pram terkekeh. Lagi-lagi, Amel selalu lapar setelah menangis atau marah-marah. "Aku temenin, ya..."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD