CHAPTER 2

1759 Words
Oase berdiri di depan restoran Maria, dia membawa sekardus keju. Dari keju parmesan, mozzarella, edam, stilton, emmental, cheddar, sampai keju chevre pun ada. Alasannya simpel, karena Maria membuka restoran Italia dan orang Italia menyukai keju. Maka Oase yakin, hadiah tanda terima kasih yang ia bawa akan membuat Maria bahagia. Oase percaya bahwa tak ada seorang manusia pun yang tak bahagia diberi makanan enak. Pintu depan restoran masih tertutup rapat, papan close yang digantung di depan pintu pun masih belum dibalik menjadi open. Oase ingin berteriak memanggil, tapi kemudian dia sadar bahwa dia tidak suka berteriak. Berteriak itu melelahkan. Karenanya, Oase berjalan ke pintu belakang. Mengintip dari jendela kecil di sana, kepalanya ia masukkan lewat jendela yang kacanya terbuka. “Maria, buka pintu dong!” Oase memanggil Maria saat akhirnya ia menemukan wanita itu sedang sibuk membuat adonan naan. Maria tersentak, hampir saja melemparkan adonan yang tengah ia uleni itu. “Kamu buat naan? Itu, kan roti India.” Untungnya, Maria bisa menahan diri untuk tidak melakukannya. Maria kembali meletakkan adonannya, menghela napas saat menemukan wajah datar Oase di jendela, disertai dengan cuapan Oase yang serba tahu soal makanan itu membuat Maria sedikit tenang. Tanpa banyak tanya, Maria membukakan pintu untuk Oase, dia tersenyum. “Masih bentuk adonan mentah saja kau sudah bisa menebak?” Heran deh, ini Oase mahasiswa universitas musik atau siswa akademi chef? “Soalnya tercium bau bawang dan banyak rempah-rempah di atas meja. Kalau mau buat roti pizza, kan enggak butuh rempah.” Oase masuk, meletakkan kardus besar yang ia bawa ke atas kursi karena meja Maria sudah penuh dengan bahan makanan. “Ini buatmu, baunya enak. Nanti boleh cicip?” Sudah itu, Oase berpindah ke belakang tubuh Maria yang mulai kembali menguleni adonannya. “Tahu saja kamu, boleh kok. Tunggu ya, sebentar lagi sudah bisa masuk oven.” Kemudian Oase pindah lagi, duduk di depan oven. Bantu Maria memanaskan ovennya. “Itu untuk apa? Masa termasuk menu untuk dijual?” Tak lama, Oase bertanya karena tak senang, terlalu aneh ada naan di restoran Italia. “Permintaan tamu khusus, untuk jamuan keluarga. Dihidangkan dengan ayam parmigiana.” Sudah diberi tahu itu hanya request pun, Oase masih saja tak senang. “Enggak cocok ah, roti naan lebih enak dimakan sama yang pedas-pedas.” Oase protes, merasa bahwa mencampur makanan India dan Italia dalam satu piring itu sebuah hinaan terhadap kehormatan sajian tersebut. Bikin Maria gemas. “Ya sudah, aku buatkan kari untukmu.” Tergerak untuk menyenangkan anak anjing satu ini. Maria kemudian memasukkan adonan yang sudah dibentuk ke oven, membersihkan meja untuk menyiapkan bahan memasakan kari. Sedangkan untuk bahan-bahan memasakan pesanan pelanggannya nanti saja. Lagian mereka memesan untuk makan malam. “Mau banget!” Oase tak tahu malu, mengangguk antusias ditawarkan makanan. Dia sama sekali tak berpikir kalau Maria masih harus melakukan hal lain, membantu pun tidak. Oase hanya diam di depan oven, melihat perkembangan roti yang dipanggang. Setelah sepuluh menit, dia bosan. Memerhatikan Maria yang terlalu serius menakar rempah itu membosankan, jadinya Oase mulai berkeliling dapur yang tak terlalu luas namun tertata dengan rapi hingga cukup untuk digunakan oleh dua hingga tiga orang chef. Perut Oase mulai lapar, rese-nya kambuh. Keju yang ia bawa untuk Maria mulai dicomot sedikit-sedikit. Tak hanya itu, Oase bahkan mulai berani membuka kulkas, makan buah yang ada di dalam sana. Maria yang sudah selesai membumbui kari terkejut, buru-buru menghampiri Oase. “Jangan dimakan! Itu untuk membuat apple strudle.” Tangan Oase dipukul, membuat apel yang ia pegang jatuh kembali ke keranjang dalam kulkas. Oase menoleh, menatap mata Maria memohon, berharap Maria membiarkannya makan satu atau dua buah lagi, “Taruh kembali!” tapi Maria tak paham arti tatapan Oase. Di mata Maria, tatapan Oase terlihat seperti ikan mati. Jadi, tangan Oase dipukul sekali lagi ketika ia mencoba mengambil apel yang dijatuhkan tadi. “Tapi, lapar.” Oase mengembalikan apelnya ke dalam kulkas, jalan pelan menjauh saat Maria menutup kulkasnya. “Yang sabar, kari dan naan-nya matang sebentar lagi.” Maria jadi kasihan, refleks mengusap kepala Oase memanjakan. Oase masih saja murung, tangannya kembali ia masukkan ke dalam kardus keju, comot sedikit lagi. Maria jadi menaruh perhatian pada kardus yang ia abaikan dari tadi. “Itu apa?” Keningnya mengernyit ketika melihat isinya. Keju berbagai jenis dengan jumlah yang terlalu banyak. “Tanda terima kasih untukmu,” jawab Oase. Maria tertawa. “Kok dimakan, katanya untukku?” Dia sedikit menggoda Oase. Kali ini muka datar Oase menghilang, terganti dengan ekspresi wajah bodoh. “Eh!?” baru tersadar dengan apa yang ia lakukan. Hadiah balas budinya malah sudah dimakan setengahnya. “Maafkan aku! Besok aku bawakan lagi!” Tangan Oase refleks berhenti mencomot, mukanya berubah lagi, memucat dengan polosnya. “Tidak perlu, itu juga masih terlalu banyak kok.” Maria tertawa. “Enggak! Pokoknya besok aku bawakan lagi!” Oase memaksa. Mereka terdiam sesaat, hingga bunyi perut Oase memecah keheningan. “Hahaha ... memangnya tadi belum makan? Sepertinya karinya sudah cukup lembut. Akan kuambilkan sekarang.” Akhirnya dia diberi makan lagi. “Sudah kok.” Oase benaran sudah makan sebelum datang kemari, tapi apa daya, perutnya tak bisa diajak berdamai terlalu lama. “Ini, rotinya juga sudah matang.” Raut wajah Oase berubah lagi ketika Maria membawakan kari dan naan yang dijanjikan, dengan tambahan beberapa potong tiramisu. Tanpa ada malu-malunya langsung menyantap semua itu dengan rakus. Hebatnya, meski makan sangat cepat, Oase benar-benar menyantap dengan rapi dan bersih. Maria hanya duduk di depan Oase, bertopang dagu melihat ekspresi wajah imut Oase. Terlihat sangat manis ketika makan dan hanya saat makan. Rasanya dia seperti baru saja memelihara seekor anak anjing yang jinak. “Besok datang lagi ya, Oase,” ucap Maria lembut. “Tidak disuruh juga aku bakal datang.” Oase berhenti mengunyah, menjawab dengan serius. Oase bahkan akan datang setiap hari meski Maria bilang jangan datang. Kalau tak diizinkan masuk sebelum jam buka, dia akan datang sebagai tamu. “Besok kumasakan apa yang kamu mau.” Maria tak menanggapi Oase dengan serius, dia memancing dengan makanan. “Apa ada makanan yang kau tak suka? Lalu makanan kesukaanmu apa?” Maria memperlakukan Oase layaknya binatang kecil liar yang perlu diberi makan perlahan-lahan hingga ia mendapatkan kepercayaannya, setelah itu baru bisa dia tangkap dan bawa pulang. Maria tidak tahu kalau hati Oase sudah terpikat pada rasa masakannya, tidak tahu bahwa Oase bukan binatang kecil yang suka dipelihara dan dipajang dalam kandang. Oase itu hewan buas yang selalu bebas. Datang kalau sedang lapar, pulang kalau sudah kenyang. “Aku suka semua masakan kamu.” Dengan polosnya, Oase menjawab. Membuat Maria senang tanpa disadarinya. “Kata-katamu manis.” Tangan Maria diulurkan ke wajah Oase, mencubit pipinya gemas. “Sama dengan mukamu, banyak makan tapi kenapa kurus?” Oase membiarkan Maria berbuat sesukanya, mau cubit-cubit silakan. Elus-elus kepalanya yang dianggap sama dengan bulu juga oke-oke saja. Yang penting Maria memberinya makan. “Aku kan banyak olahraga, bunda aku strict.” Bagi Oase makan nomor satu, musik nomor dua dan sisanya tak ada. Hidup Oase hanya berpusat di dua hal itu, dia tak peduli dengan sekitarnya, tak mau repot dan terlibat dengan hal-hal menyusahkan. Selama dia bahagia, hidup di dalam dunia kecil itu tak apa-apa. Misalnya lupa diri juga tak masalah, akan ada bundanya yang akan menyadarkan. Seperti ketika ia terlalu sibuk makan dan bersantai hingga menggemuk, ada Bunda yang akan menyeretnya untuk diet. “Jadi kamu tinggal bersama ibumu?” Maria yang melihat kejinakan Oase mulai bertanya-tanya, ingin tahu lebih banyak tentang lelaki manis itu. “Enggak, aku tinggal sendirian, tapi mata Bunda ada di mana-mana. Kalau tiba-tiba aku menggemuk, Bunda bakal kirim email ancaman.” Meski ujung-ujungnya Maria tak paham maksud dari jawaban Oase. Yang ia tanggap hanya Oase mau banyak makan, tapi tak mau gemuk. “Padahal gemuk sedikit tak apa-apa, kan lebih manis.” Sedikit perhatian, Maria berucap tanpa berpikir, senyum ramah seperti kakak baik hati di mata Oase. Oase jadi makin melonjak, “Tambah!” minta makan lagi setelah semua yang Maria berikan habis ia babat. *** Setelah puas mengisi perutnya di tempat Maria, Oase merasa amat gembira. Datang ke kampus sambil bersenandung. Tujuan utamanya adalah kafetaria, tempat di mana ia menghabiskan waktu paling banyak selama di kampus. Oase memesan tiga loyang pizza dan dua porsi lasagna, lalu pergi menghampiri temannya Revino dan Ciro yang tengah bersenda-gurau di meja dekat jendela. “Hei, tumben siang?” sapa Ciro. “Hari ini di rumahmu ada makanan ya?” Di saat yang sama, Revino bertanya. Keduanya heran melihat Oase baru datang jam segini. Karena biasanya Oase yang mereka kenal selalu datang tepat di jam buka kafetaria, mau ada kelas atau tidak. Alasannya tak jauh-jauh dari makanan, yakni tak ada makanan di rumah. Makanya Oase sampai jadi penghuni tetap kafetaria kampus mereka. Oase menggeleng, duduk di kursi berhadapan dengan mereka yang duduk bersebelahan. Membuka tasnya, mengeluarkan buku catatan. “Tak ada, tapi aku habis diberi makan sama Maria.” Selanjutnya, Oase menarik buku milik Ciro untuk dicocokkan dengan jadwalnya. Selama itu berkaitan dengan musik, Oase masih mau usaha sendiri. Dia tak sampai semalas itu hanya untuk memeriksa jadwal-jadwal seleksi kompetensi yang mau dia ikuti. “Memangnya kau ini binatang peliharaan, dikasih makan sama wanita?!” komentar Revino. Agak bercanda, mana mungkin, kan? Temannya itu sampai jadi peliharaan segala cuma demi makanan. “Bukannya Oase memang begitu?” Ciro menanggapi Revino sok serius, padahal dalam hati ia berpikiran sama dengan teman dekatnya itu. Mengira bahwa serakus-rakusnya Oase, tak akan sampai jadi peliharaan hanya demi makanan. “Iya, Maria perlakukan aku seperti puppy.” Namun, ternyata dugaan mereka salah, Oase lebih mementingkan perut dari segalanya. Pernyataan santai itu seketika membuat mereka tercengang, “Serius?” berseru dengan kompaknya. Oase tak menjawab, malah sibuk menyantap lasagna yang baru diantarkan. Dengan muka datarnya, dia mengalihkan pembicaraan. “Tanggal interview buat Orkesta Sejuta Malam, kapan?” Lebih tepatnya dia tak peduli, saat ini fokus Oase lebih ke soal orkesta yang ia minati. “Oase!” Kedua temannya mulai memanas kembali, setengah berteriak kepada Oase. “Jadi kapan?” Oase menyahut dengan datar, sambil makan. “Perempuan itu berbahaya, lebih baik kau jauhi.” Rivano mulai berprasangka. Menurutnya, seorang wanita yang memperlakukan laki-laki seperti puppy itu tak wajar. “Ada baiknya kamu tak membiarkannya memberimu makan terus, takutnya nanti malah membawa masalah.” Ciro juga jadi ikut mengkhawatirkan masa depan Oase. Oase masih saja makan dengan lahap, baginya Maria itu malaikat dengan tangan ajaib yang bisa meramu makanan enak. Mana mungkin berbahaya? “Tidak mau. Masakan Maria enak.” Oase tak takut sama sekali dengan dugaan-dugaan temannya. Oase jauh lebih takut tak bisa menikmati makanan enak selama sisa hidupnya belajar di Austria ini.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD