Genosida

2706 Words
Flashback lima tahun lalu.. Setahun setelah Benang Merah dikalahkan, Faritzal berusaha membenahi dan membangun kembali Zakaffa yang luluh lantah. Bangunan-bangunan fasilitas umum kembali dibangun, istana di renovasi, sistem pemerintahan juga banyak yang dirombak ulang, dewan istana banyak yang diganti karena banyak yang meninggal akibat pertarungan.  Sistem militer diperkuat dan dibangun kantor resmi untuk badan intelejen kerajaan di markas utama militer Zakaffa.  Selama setahun masa pemulihan itu, Faritzal meminta Angkasa bertanggung jawab pada pembenahan militer bersama orang-orang Vocksar, termasuk pembangunan kantor intelejen dan pemilihan anggota-anggota intel yang baru. Faritzal sempat secara rahasia meminta Angkasa tinggal di istana sebagai kakaknya yang sah, sebagai anggota keluarga raja yang dihormati. Dan memberinya amanah memegang jabatan salah satu menteri atau apapun yang diinginkan Angkasa. faritzal menyadari dirinya memiliki banyak kekurangan dan kelemahan, dia membutuhkan Angkasa di sisi nya, membantunya menata kerajaan ini. tapi Angkasa menolak.  "Terima kasih atas tawaranmu Yang Mulia, tapi sungguh aku minta maaf, aku tidak menginginkan itu semua. Akan lebih baik jika dilangit hanya ada satu matahari." Angkasa mengakhiri kalimatnya dengan senyuman ramah dan penuh kasih sayang kepada adiknya. "Lalu kemana kau akan pergi kakak?" "Aku akan menjauh dari urusan pemerintahan ataupun dunia intelejen. Jadi kau tidak perlu mengkhawatirkan aku. Aku akan hidup tenang." Jawab Angkasa. "Bagaimana dengan orang-orang Vocksar? Kau akan membawa mereka bersamamu?" Angkasa diam berpikir sebentar, "tidak, aku tidak akan memaksa mereka untuk ikut bersamaku." Setelah pembicaraan itu, Angkasa pergi dari istana dan ibukota bersama beberapa orang Vocksar yang cukup dekat dengan masa kecilnya. Sisanya tetap tinggal di istana menjadi pasukan istimewa pengawal raja. Untuk keluarga Vocksar, Faritzal menghadiahi mereka sebidang tanah di sebelah timur Ibukota, mereka bisa membangun desa baru disana. Setelah hari itu Angkasa menemui Naviza diluar Ibukota, mereka menikah dan membangun sebuah keluarga kecil persis seperti impian Angkasa. tinggal jauh dari kesibukan ibukota dan segala kegiatan politik istana.  Mereka berdua sudah cukup lelah hidup sebagai mata-mata di markas Benang Merah bertahun-tahun. Menyaksikan kemelut politik yang membuat mereka semakin kesulitan bertahan. Setelah tugas berat itu selesai, Mereka berdua menginginkan hidup yang normal dan sederhana seperti layaknya orang biasa hidup. Angkasa dan Naviza bukan orang yang terkenal dikalangan rakyat bawah, hanya pejabat tinggi yang tahu siapa mereka. tidak ada yang tahu kebenaran bahwa Angkasa seorang pangeran negeri ini. "Sempurna!" pekik Angkasa menatap rumah barunya yang sederhana di sebuah desa dekat perbatasan luar Zakaffa. Naviza dan Angkasa masih berada diatas kuda saat akhirnya ada tetangga yang mampir.  Seorang ibu-ibu paruh baya yang sangat ramah berjalan pelan menyapa mereka. "Sepertinya mulai hari ini akan ada tetangga baru.." serunya.  Naviza lebih dulu turun dari kuda menghampiri tetangga pertama yang menyapa mereka. Naviza membalas sapaan ramah itu dengan senyum mengembang yang sangat ceria.  "Iya, mohon bantuannya bu, kami baru pindah hari ini." "Kalian sepasang kekasih?" tanya ibu tua itu heran melihat Angkasa dan Naviza yang sangat dekat dan bahagia. "Kami baru saja menikah beberapa bulan lalu.. apakah kami masih terlihat sangat muda? Hahahahah.." seru Angkasa bergabung dengan pembicaraan mereka. Mereka tertawa, berbincang, bercerita.. sebagai tetangga yang damai di desa yang damai.  Hari-hari berikutnya terus berjalan dengan menyenangkan. Sebuah keluarga dengan kebahagiaan yang sempurna, sekalipun rumah mereka jauh dari kemewahan seperti istana.  Setiap pagi Angkasa menemani Naviza belanja kebutuhan rumah ke pasar desa, berjalan kaki cukup menyenangkan untuk dilakukan berdua saja. Lalu setelah itu Angkasa tidak pernah absen dari membantu memasak di dapur dan mencuci pakaian bersama. Setelah hari agak siang, Angkasa berangkat kerja. Dia menjadi seorang guru ilmu bela diri di salah satu perguruan kecil di desa itu juga. saat senja datang, Angkasa sudah kembali pulang. Satu bulan tinggal di desa perbatasan, Naviza jatuh sakit. Bukan sakit yang parah. Dia mengeluh sakit kepala dan mual beberapa hari. Tabib desa yang terkenal, karena saatu-satunya di desa itu dipanggil paksa oleh Angkasa, sebab Angkasa begitu khawatir pada kondisi Naviza. Mereka berdua pernah dihadapkan pada kondisi yang jauh lebih parah dari ini sebelumnya, mereka tidak ingin kondisi yang parah itu terulang lagi. tengah malam Angkasa menyeret seorang tabib ke rumah, karena Naviza demam tinggi.  "Apa penyakitnya parah?" tanya Angkasa buru-buru "Sangat parah!" jawab Tabib, tapi dia tersenyum. Ekspresinya justru bahagia.  "Parah? Seberapa parah?" Angkasa bertambah panik mendapat jawaban seperti itu. "Tenanglah tuan, istri anda sedang hamil. Kemungkinan usia kandungannya dua bulan berjalan.." Angkasa terperangah, antaraa terkejut panik tapi juga sangat bahagia.  Akhirnya dia hanya melongo. Diam membeku.  Sebuah karunia yang luar biasa istimewa untuk keluarga kecil mereka. sebuah berita yang sama sekali tidak terduga, dia akan segera menjadi seorang ayah!  Angkasa bingung harus mengekspresikan kebahagiaannya seperti apa. Ini adalah sesuatu yang tidak pernah berani ia bayangkan. Yang selama ini hidup sebagai seorang mata-mata intelejen, hidup tanpa identitas tunggal, menghilang dari dunia, sekarang? dia seorang ayah! Setelah malam itu, Angkasa semakin perhatian lagi pada Naviza. Dia pulang kerja lebih awal dari biasanya, mengambil alih semua pekerjaan rumah, dan memasak untuk Naviza setiap pagi.  Satu bulan setelah berita bahagia itu, Ada utusan dari istana datang mencari Angkasa. hanya dua orang pria berbadan besar dengan jubah hitam menutup wajah mereka. Naviza tidak bisa mengenali siapa dua orang ini, sudah sekitar setengah tahun dia tidak tahu kondisi di istana.  Siang itu hanya ada Naviza di rumah, Angkasa belum kembali. Dua orang ini tidak ramah sama sekali kepadanya, mungkin mereka orang baru jadi tidak mengenal dirinya. Mereka berdua bersih keras menunggu Angkasa hingga dia pulang, ini adalah perintah istana jadi mereka tidak mungkin kembali dengan tangan kosong.  Hari itu kebetulan kondisi naviza tidak terlalu sehat. Tubuhnya sedang lemah, dan sejak pagi dia mual disertai demam yang tinggi. Wajahnya jelas terlihat pucat dengan keringat dingin yang basah. Firasatnya sedang buruk, dia tidak nyaman dengan kondisi ini. siapa dua orang ini yang semakin ia pikirkan semakin besar kecurigaannya. Mereka tidak berbicara sama sekali. Akhirnya Angkasa tiba di rumah. Suasana rumah masih tegang sekalipun Angkasa sudah tiba. Dilihat dari respon Angkasa melihat dua orang tamu itu, sepertinya dia pun tidak mengenal mereka. lantas dia menghampiri Naviza yang terlihat sangat pucat.  "kau sedang tidak sehat, Nav?" kata Angkasa sedikit panik karena khawatir. "tidak apa-apa, aku baik-baik saja.. " jawab Naviza menenangkan kekhawatiran Angkasa. "kau mengenal mereka berdua?" "siapa mereka?" tanya balik Angkasa sambil mengantar Naviza pergi ke kamar. "katanya mereka dikirim istana untuk menemui. Tapi rasanya sedikit aneh, mereka terlalu kaku dan menakutkan." Jawab Naviza, dia sudah rebahan di bed kamar.  Angkasa menata selimutnya lalu duduk disamping Naviza terbaring. "baiklah.. kau istirahat disini, tidak perlu memikirkan mereka, aku sudah disini. Oke?" Angkasa mengusap rambut naviza beberapa kali untuk menenangkan istrinya. "setelah itu aku akan pergi ke tabib dan membawanya kemaari untuk memeriksa kesehatanmu, dan.. anak kita."  Angkasa tersenyum diakhir kalimatnya. Dia segera keluar menemui tamu di depan rumah. Akhirnya mereka bertiga bertemu. Dua orang tamu ini membuka tudung jubah mereka, mata biru yang tajam jelas memberitahu bahwa mereka berdua adalah orang Vocksar, bagian dari pasukan khusus pengawal raja.  "Yang Mulia.. " mereka berdua membungkuk memberi salam pada Angkasa.  seluruh keturunan Vocksar tahu siapa Angkasa, dan fakta bahwa dia adalah seorang pangeran. Dan semua orang Vocksar sama hormatnya pada Angkasa seperti pada Faritzal. "ada urusan mendesak apa sampai Faritzal mengirim kalian berdua?" tanya Angkasa bingung.  "soal itu pun kami juga tidak tahu, Yang Mulia Raja memanggil anda ke istana sekarang juga." Angkasa memasang wajah tidak senang. Kenapa Faritzal tidak juga bisa membiarkannya hidup tenang jauh dari urusan negara, baru tujuh bulan semenjak ia pergi, hanya bertahan tujuh bulan dia bisa merasakan hidupnya yang normal seperti orang pada umumnya. Panggilan ke istana menandakan ada urusan penting yang perlu dibicarakan Faritzal dan tentunya urusan itu menyangkut kerajaan. Perjalanan dari tempat ini ke istana membutuhkan satu hari perjalanan tanpa berhenti dengan kuda. Sehingga minimal butuh 2-3 hari sampai dia kembali ke rumah.  Angkasa memikirkan Naviza yang saat ini sedang tidak sehat karena kondisi kandungannya yang sepertinya sedang lemah. Mereka hanya tinggal berdua saja, jika dia pergi disaat seperti ini.. tidak, dia tidak akan tenang meninggalkan Naviza dalam keadaan yang sekarang. Angkasa terlalu khawatir meninggalkan isterinya sendirian. "aku akan pergi, tapi tidak hari ini." jawaban Angkasa sangat tegas. "Yang Mulia?" mereka berdua menyesalkan keputusan Angkasa. "tidak bisa Yang Mulia, anda harus pergi malam ini juga." "tidak bisa. Isteriku sedang sakit hari ini, aku tidak bisa meninggalkannya, kembalilah dan beritahu Faritzal jawabanku. Aku yakin dia pasti akan mengerti." Jawaban Angkasa tetap tak tergoyahkan.  "kami mensinyalir ada gerakan konsolidasi mantan petinggi Benang Merah yang berhasil kabur, mereka sedang berusaha menjalin kerja sama dengan Guldora. Kemarin malam ada serangan misterius ke markas pusat, banyak anggota intelejen dan prajurit khusus yang mati. Saat ini kondisi badan intelejen sedang lemah. Kami butuh anda Yang Mulia, hal ini terlalu genting untuk ditunda lagi." akhirnya salah satu dari mereka angkat bicara. Angkasa terdiam. Dia tahu segenting apa kondisi markas pusat saat ini. tapi tetap saja, hatinya masih ragu untuk pergi.  "beri aku waktu sebentar." Angkasa masuk ke kamar Naviza, dia duduk di pinggiran bed tempat Naviza terbaring, dia pandangi wajah isterinya yang pucat dan semakin pucat, Angkasa menggenggam tangan Naviza, tangannya sangat panas. Naviza terbangun, dia tidak berkata apa-apa.  Masih berat rasanya untuk meninggalkan Naviza dalam kondisi lemah seperti ini, Angkasa menatapnya dalam sekali.  "demammu sangat tinggi, Naviza.." Angkasa memegang dahinya lalu mengusap rambutnya. "pergilah Angkasa, aku baik-baik saja.. sebentar lagi pasti akan sembuh, tenang saja.. " Naviza berusaha senyum untuk menenangkan Angkasa. dia seperti sudah tahu apa yang sedang dipikirkan suaminya itu.  "Mereka memberitahuku kalau markas pusat baru saaja diserang, dan sekarang mantan petinggi Benang Merah berusaha menghubungi Guldora untuk menjalin kerja sama." Kata Angkasa pelan.  Dia mengatakannya penuh penyesalan karena situasi ini benar-benar mengharuskannya pergi. Naviza tersenyum. Dia ganti yang memegang erat tangan Angkasa. lalu berusaha duduk. "aku bangga memiliki suami yang diandalkan negara dalam segala keadaan. Aku bangga menjadi isterimu, Angkasa. berangkatlah.. " Naviza berusaha senyum, padahal matanya menangis. Antara sedih dan bangga.  Kata berangkat, artinya dia harus merelakan Angkasa pergi untuk waktu yang lama, yang dia sendiri tidak tahu kapan Angkasa kembali. Merelakan Angkasa pergi berarti dia harus menahan rasa rindu tiada tara entah dalam berapa lama, tanpa kejelasan kabar, entah Angkasa akan kembali dalam keadaan hidup atau bahkan hilang tanpa status selamanya. Mereka berdua belum tahu tugas apa yang akan diemban Angkasa setelah ini. segala kemungkinan bisa terjadi. "maafkan aku," bisik Angkasa, dia menarik naviza kedalam pelukannya. "aku mencintaimu.." Naviza berusaha untuk tidak menjatuhkan air mata, tapi kesedihannya tidak terbendung. Angkasa berangkat, pergi ke ibukota bersama dua orang pasukan khusus raja yang menjemputnya. Mereka pergi dengan kecepatan yang luar biasa, menghilang dalam kegelapan malam, senyap tanpa suara. Keunggulan Vocksar yang menakjubkan. Tengah malam, semua tragedi memilukan itu terjadi.. yang akan terus diingat oleh Naviza dan meninggalkan bekasan luka yang dalam. Dimana dia kehilangan segalanya.  Naviza terlelap dalam demam tinggi di kamarnya. Hari itu dia benar-benar sakit. Asap tebal memaksa masuk ke ruangan dan merebut tempat udara bersih. Saat Naviza sadar, api sudah menyala dimana-mana. Rumahnya terbakar. Asap hitam mengepul, seluruhnya menjadi gelap, jalan keluar terhadang api. Naviza tidak bisa menemukan jalan ataupun pintu yang selamat dari api. Dia masih tinggal di kamarnya, dadanya mulai sesak dan sulit bernafas. "apa yang terjadi.. ?" Satu-satunya peluang yang tersisa adalah jendela kamarnya yang belum terbakar api. Tidak ada lagi waktu berpikir mencari cara yang lebih aman selain ini, Naviza melompat keluar lewat jendela kamarnya. Dia terjungkal ke tanah dalam posisi tengkurap, perutnya menghantam tanah cukup keras.  Naviza menjerit, perutnya sakit luar biasa. Kaku dan mengeras, dia tidak bisa bergerak lagi. mungkin kandungannya yang terbentur cukup keras saat dia mencoba melompat dari jendela tadi, sekarang perutnya jadi kram.  Jeritannya hanya menjadi angin lalu ketika baru ia sadari semua orang saat ini sedang menjerit, sama ketakutannya dengan dia, sama kesakitannya dengan dia, karena semua rumah tetangganya juga dilahap api malam ini.  Naviza membeku ditempatnya, kejadian apa ini?  hampir semua rumah terbakar dan orang-orang berlarian mencari bantuan, semua orang menjerit, menangis, panik! Bayi-bayi, anak-anak yang menjerit dalam dekapan ibu mereka. ibu-ibu yang lain terpisah dari anak mereka, beberapa orang tua sudah terkapar menghitam dan mati. Pemandangan yang mengerikan. Naviza terbungkam, keterkejutannya tidak bisa digambarkan dengan bahasa lagi. "lautan api.. siapa yang tega melakukan ini?" dia menamatkan pandangannya lagi, pada jarak 5 meter darinya sekarang, seorang anak laki-laki 7 tahun, tergeletak tak bernyawa. tangan kirinya terpisah sejauh setengah meter dan separuh bagian tubuhnya hangus karena api.  tak jauh dari anak itu, tergeletak bayi yang masih usia bulanan, dia mengenal bayi itu, 5 bulan lalu bayi itu baru dilahirkan, bahkan Naviza berkunjug ke rumahnya. Sekarang, Bayi itu berlumuran darah dalam dekapan ibunya. Ibunya meringkuk kaku di tanah, dan darah mengalir dari lehernya. wajahnya menghadap ke Naviza, ekspresi takut dan kesakitan yang sangat. dia pasti berteriak! dia pasti kesakitan! dia tidak bisa melawan! Naviza semakin marah! serasa ada batu besar yang benar-benar ingin ia remukkan dengan tinjunya. air matanya menetes deras.  terdengar teriakan lagi dari sisi lain! teriakan yang membabi buta! ketika serombongan pria menebaskan pedangnya memenggal wajah-wajah ketakutan dan kesakitan. satu keluarga yang selama ini selalu ceria dan menemani hari-hari Naviza, mereka sudah mati. pembunuh itu melempar jasad mereka ke kobaran api.  dan banyak lagi.  Naviza mengedarkan pandangannya. langit menjadi merah karena api. asap mengepul di angkasa. semua teriakan penduduk sangat memekakan telinga. jeritan ketakutan, jeritan kesakitan, teriakan meminta pertolongan yang sia-sia.  bahkan kenyataan ini mampu membuat dia lupa bahwa sebenarnya dirinya sendiri tidak lepas dari bahaya ini.  rumah kecilnya terbakar. apinya membubung tinggi, dan sebentar lagi akan roboh. bahkan angin mampu melempar api itu mengenai dirinya. Dengan sisa tenaga yang ada, Naviza mencoba berdiri dan menyelamatkan diri, tapi dia tidak sanggup menahan perutnya yang kram saat darah ternyata sudah mengalir dari pangkal pahanya. "tidak.. jangan! Jangan .. "  dia sadar betul bahaya apa yang sekarang mengancam calon putranya, benturan yang cukup hebat tadi membuat kandungannya menegang karena shock, dan darah yang mengalir adalah tanda ada yang tidak beres dengan kandungannya. Perutnya bertambah parah sakit. Naviza menahan tekanan luar biasa itu, sekuat mungkin dia tidak berteriak sekalipun rasa sakitnya semakin menjadi.  dia harus keluar dari situasi ini. harus! dia harus selamat supaya bisa menyelamatkan mereka! "akhirnya aku menemukanmu, Naviza.. kau tenang saja, akan aku bantu menghilangkan rasa sakitmu itu, segera." Seru Xatho,  dia datang menghampiri Naviza dengan ujung pedang yang menyeret di tanah. Mata pedang itu sudah berlumuran darah, begitu juga dengan jubah serba hitamnya yang sudah kotor bercipratan darah dimana-mana.  Terlalu sakit bagi Naviza beranjak ke tempat lain, Xatho terus berjalan mendekat ke arahnya. Dibelakang Xatho ada sekitar sepuluh orang Vocksar lainnya sedang sibuk membantai rakyat yang lemah, yang menjerit ketakutan dan sedih luar biasa terpisah dari keluarga mereka. segera, pedang Vocksar membungkam jeritan mereka dalam sekali tebasan. Perlahan jumlah jeritan yang terdengar sudah berkurang. Mereka semua mati satu per satu. Naviza merasakan bahaya besar itu telah datang, ancaman yang lebih luar biasa menakutkan dibandingkan lautan api yang membakar desa perbatasan ini. orang yang berdiri dan sedang mendekat ke arahnya, salah satu pemimpin tertinggi Vocksar sedang memegang nasib nyawanya. Pedang yang berlumuran darah itu sudah pasti panas dan meronta menginginkan darah segarnya.  Tangan dan kaki Naviza sudah gemetar ketakutan. Xatho tidak datang untuk membantunya, dia datang untuk membunuhnya. Entah apa yang telah terjadi pada Xatho yang mendadak menjadi musuh seperti ini.  beberapa hari lalu bahkan hubungan mereka baik-baik saja. Dulu, Vocksar memang dikenal ras pembunuh tiada terkalahkan yang membuat mereka akhirnya disegel raja Vafah. Tapi setelah itu Angkasa merubah mereka menjadi pasukan istimewa yang luhur budi pekertinya. Angkasa merubah status mereka dari pembunuh dingin menjadi pelindung kerajaan. Tapi malam ini, Naviza tidak merasakan kehadiran pelindung, tapi kehadiran pembunuh yang sedang sangat haus darah. "Xatho.. kau... tidak benar-benar akan melakukannya kan ?" Naviza mulai merintih ketakutan. Dia tidak sanggup berdiri bahkan membuat perlawan untuk bertahan.  "kenapa aku tidak bisa Naviza?" balas Xatho dengan senyuman licik. Dia semakin mendekat ke Naviza. "kita tidak dalam keadaan bermu-" Kalimat Naviza terpotong, dia merasakan benda besi sangat tajam mengoyak perutnya. Terus masuk lebih dalam, sisinya yang terlalu tajam mengiris apapun di dalam perutnya. organnya teriris, rasa perihnya luar biasa, dia merasakannya, darah yang luar biasa banyak tengah membanjiri rongga di dalam perutnya. Darah itu penuh hingga merembes ke permukaan. rasa perihnya begitu menyakitkan. Ujung pedang Xatho sudah menembus punggung Naviza. Xatho semakin menekan pedangnya masuk lebih dalam. Naviza menganga mati rasa, nafasnya cepat dan pendek, matanya terbelalak, dia bahkan tidak sanggup berteriak. "rasakan Naviza.. rasakan bagaimana pedang ini membelah tubuhmu, aku tidak akan membiarkanmu mati dengan cepat tanpa merasakan rasa sakit. Seharusnya kau tidak mengambil Angkasa dari kami." Bisik Xatho, tangannya masih mempermainkan pedangnya di dalam perut Naviza. Naviza hampir tidak sadarkan diri ketika mulutnya sudah dibanjiri darah.  Xatho menarik pedangnya dengan cepat, tubuh Naviza terbanting hebat. Dia setengah sadar, sekarat. tubuhnya menggeliat kesakitan di tanah, meringkuk kaku. Terlalu banyak darah yang hilang. Pedang Xatho telah menembus perutnya hingga ke punggung, bagian yang sangat dekat dengan rahim. Sekarang dia merasakan kesaakitan dua kali lebih besar, pertama karena luka tikaman itu dan kedua, kandungannya keguguran. ֎֎֎֎ Xatho berubah seperti monster dan mesin pembunuh paling senyap! apa yang membuat dia berbalik memusuhi orang yang membebaskan klannya dari penjara abadi? dan inilah yang membuat Naviza terpaksa menyembunyikan diri dari Vocksar. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD