Ketukan pintu tak berirama mengusik ketenangan sosok yang tampak pulas dalam tidurnya. Remaja berbalut selimut itu meregangkan otot-ototnya sebelum bangkit dengan tergesa-gesa untuk membuka pintu.
“Ya ampun! Apa Mama harus ketuk pintu sampai jebol biar kamu keluar?” sembur wanita berambut pendek, tepat ketika bocah itu membuka pintu kamarnya.
“I-iya, Ma. Maaf, habis salat Subuh tadi aku ketiduran,” cicit si anak tak berani melawan.
Wanita itu, Luna Dwika, ingin sekali memukul kepala bocah di hadapannya. Akan tetapi ia tahan, ketika urusan menyiapkan sarapan jauh lebih penting daripada emosinya.
“Dipikir kamu aja yang ngantuk, Mama juga. Udah nggak usah banyak alasan, sekarang ke dapur dan bantu siapin sarapan. Mama nggak mau rawat anak yang cuman jadi beban.”
Wanita itu berlalu begitu saja usai mengucapkan kata-kata yang sungguh membuat batin Sagara teriris. Luna selalu seperti itu, menghardik Sagara dengan ujaran pedas ketika dirasa tindakan cowok itu tak sesuai keinginannya.
Nyaris enam belas tahun, tetapi Sagara tak sepenuhnya paham. Kesalahan apa yang sudah ia perbuat hingga sosok di mana surga berada justru membencinya. Bahkan ketika marah, Luna pernah mengatakan bahwa kelahirannya di dunia ini tidak layak.
Sedih? Tentu saja. Akan tetapi, setelah beranjak remaja, Sagara mulai mengerti. Sang ibu tidak membencinya, melainkan ia hanya butuh waktu untuk berdamai dengan masa lalu. Dan hingga saat itu tiba, Sagara akan setia menunggu.
***
“Ma … Mama ….” Teriakan lantang mengagetkan Luna yang sedang menata piring di meja.
“Iya, Sayang. Ada apa? Pagi-pagi kok udah teriak gitu. Turun dulu sini, nggak bagus teriak-teriak gitu.” Luna balas berteriak, meski begitu tangannya masih gesit bekerja.
Di lain sisi, Sagara yang sudah lengkap dengan seragam sekolahnya kembali membantu sang ibu. Remaja gingsul itu membuat dua gelas su*su untuk dirinya dan juga adiknya.
“Ma, sepatu yang biasa aku pake buat futsal rusak. Hari ini aku latihan futsal, loh. Aku nggak mau bolos hanya karena sepatuku rusak. Gimana ini?” Dengan muka masam, sosok yang tadinya berteriak kini berdiri di hadapan Luna.
“Kok bisa rusak? Perasaan Papa baru belikan dua minggu lalu.” Sebuah suara berat menyahut dari belakang punggung remaja sipit itu.
“Tuh, kaki kamu kaki kuda apa gimana, sih, El? Masa sepatu baru beli dua minggu udah rusak?” Luna mengambil piring dan menyendok nasi ke dalamnya. Dia mempersilakan sang suami untuk duduk.
Remaja dengan name tag Elio Pradipta itu mengerucutkan bibir. “Mama jangan bercanda, dong. Aku ini serius.”
Mau tak mau Luna tertawa melihat putranya merajuk. Wanita itu meraih kedua bahu Elio dan memaksanya untuk duduk. Lantas ia juga mengambilkan piring untuknya.
“Udah, jangan ngambek. Dimakan dulu sarapannya. Nanti kamu pakai aja sepatu Saga, dia ‘kan juga punya sepatu futsal,” saran Luna.
Sosok yang sedari tadi hanya diam dan menyimak, kini mengangkat kepala begitu namanya disebut.
“Tapi aku juga ikut klub futsal, Ma. Hari ini aku juga latihan. Kalau aku bolos latihan, aku bisa kena marah. Dan lagi, juga dapat tanggungjawab buat urus adik-adik kelas.” Sagara protes, walau dia tahu apa konsekuensi jika dia menyanggah ucapan mamanya.
Luna menatap sinis pada Sagara. “Ya, sekali-kali kamu ngalah, biar Elio yang pakai sepatu kamu dan kamu libur latihan. Lagi pula, kalau Elio bolos. Dia juga bakal kena marah,” tukasnya dengan nada sedikit tinggi.
Sekali-kali mengalah.
Entah sudah berapa ratus kali Sagara mendengar kalimat itu, dia sampai lupa. Jika terus terulang, bukankan itu namanya sering? Bagaimana Luna bisa lupa bahwa Sagara selalu mengalah untuk adiknya.
Di sisi lain, Elio tampak diam. Sepertinya dia salah bicara. Remaja itu mengutuk dirinya sendiri dalam hati. Hanya karena sifat manjanya yang kadang susah ditahan, Sagara harus menerima tekanan dari sang ibu.
“Ah, nggak usah, deh. Hari ini aku bolos aja. Capek juga hari Senin, paginya upacara, sorenya keringetan,” tukas Elio usai menandaskan segelas su*su.
Sang ibu menyanggahnya, “Nggak bisa gitu, dong. Kamu nanti malah yang dihukum, Nak. Mama nggak mau kamu kecapaian.”
Hanya karena sebuah sepatu, suasana sarapan yang damai menjadi tegang. Sang kepala keluarga yang sedari tadi diam dan menyaksikan, kini kehilangan selera makan.
Dirga meneguk minumannya kemudian bangkit. “Kalian kalau mau berangkat sama Papa, cepat selesaikan makannya. Hari ini Papa ada meeting, jangan bikin Papa telat hanya karena urusan sepatu,” tuturnya sambil berlalu. Pria itu pergi ke garasi untuk memanaskan mobilnya.
Dari gerak-geriknya, Sagara cukup peka untuk mengerti bahwa papanya tak nyaman dengan keributan kecil yang tercipta. Sosok Dirga memang sangat irit bicara dan malas untuk ikut campur dalam perdebatan kecil semacam ini.
“Ya udah, El. Lo pake sepatu gue aja. Hari ini gue bolos nggak apa-apa. Nanti biar gue ngomong sama Bang Aldi,” pungkas remaja gingsul itu. Lebih baik dia segera mengakhiri perdebatan daripada terlambat datang ke sekolah.
Elio ingin menolak, tetapi dia ingat. Penolakannya hanya akan mempersulit Sagara. Remaja itu akhirnya menganggukkan dan menyelesaikan sarapannya dengan cepat. Begitu juga dengan Sagara, dia memasukkan suapan terakhir nasi ke dalam mulutnya dan meneguk habis susunya.
Dengan napas memburu, Sagara berlari dari halte menuju gerbang sekolahnya yang berjarak kurang lebih seratus meter. Jarum jam di pergelangan tangannya yang menunjukkan pukul tujuh kurang satu menit, membuat remaja itu semakin memacu langkah.
Dia tidak ikut berangkat bersama Dirga dan Elio karena harus mampir ke tukang fotokopi. Sebenarnya dia bisa saja mencetak tugas di tata usaha sekolah, tetapi sialnya tugas itu harus dikumpulkan di jam pelajaran pertama.
Sebenarnya ini juga salah Sagara, karena dia baru menyelesaikan tugas yang sudah satu minggu lalu diberikan. Kebiasaan menumpuk tugas terkadang membuatnya kewalahan, tapi sampai sekarang dia tidak ada niatan untuk mengubahnya.
“Pak Tardi! To-tolong jangan tutup dulu, Pak. Saya belum masuk. Uhhhuukk ….” Dengan napas kembang-kempis, cowok itu menahan pintu gerbang yang nyaris menyatu.
Pak Tardi, begitu ia kerap dipanggil, satpam yang bertugas menjaga pintu gerbang SMA Abdi Nusantara itu sempat terkejut dengan teriakan Sagara, tetapi dengan sigap membukakan jalan agar cowok itu masuk.
“Duh Gusti. Le cah bagus, ndak usah teriak-teriak begitu. Bapak sudah tua, lho. Kamu bilang pelan-pelan aja tetep tak bukain ini gerbangnya,” protesnya sembari mengelus d**a.
Meski demikian, pria yang kental dengan logat Jawa itu tak benar-benar marah. Hanya saja dia sedikit heran dengan kebiasaan siswa yang suka terlambat dan meneriakinya untuk membukakan gerbang.
Sagara tersenyum hingga menampakkan dua gigi gingsul di sebelah kanan dan kiri. “Hehe, maaf, Pak. Refleks teriak karena takut Bapak langsung gas ke kantin beli kopi,” kilahnya cengengesan.
Pria itu tertawa mendengar balasan yang dilontarkan Sagara. “Iya, ndak apa-apa. Nak Saga juga udah langganan masuk telat, jadi saya kasih keringanan. Udah, sana masuk. Upacaranya sudah mulai sepuluh menit yang lalu, takutnya nanti Nak Saga dihukum,” balas Pak Tardi.
“Ah, iya.” Sagara menepuk dahinya. “Kalo gitu, makasih, ya, Pak. Saya ikut upacara dulu.
Assalamualaikum!”
“Wa’alaikumsalam.”
Sagara tak benar-benar mendengar balasan salam dari Pak Tardi karena bocah itu sudah lebih dulu berlari memasuki halaman sekolah.
Benar kata si penjaga gerbang, kegiatan upacara bendera sudah dimulai. Sagara melihat segerombolan siswa yang berdiri terpisah dari kerumunan peserta upacara. Sudah bisa ditebak bahwa mereka adalah orang yang terlambat dan siap mendapat hukuman.
Kelas Sagara berada di ujung utara gedung. Itu artinya dia harus melewati lapangan untuk sampai ke kelas. Namun, dia tidak sebodoh itu untuk berlari menuju kelas hanya untuk meletakkan tas.
Cowok itu berjalan dengan mengendap-endap di belakang siswa yang ikut upacara hingga dirinya sampai ke kelas terdekat. Tanpa peduli akan kerusakan yang ditimbulkan, Sagara melempar asal tasnya ke dalam kelas itu melalui jendela dan buru-buru pergi. Niat hati ingin bergabung dalam barisan, tetapi nasib sial lebih dulu menghampirinya.
“Hei, anak kelas mana kamu? Sini! Jangan berkamuflase jadi paduan suara.”
Suara tegas dan jari menuding terarah pada Sagara, membuat remaja itu menghentikan gerakan mendekat ke gerombolan siswa yang ternyata adalah tim paduan suara, bukan barisan kelas biasa.
“Aduh, mampus gue,” keluhnya pasrah. Dia merasa usahanya agar tidak tertangkap jadi percuma.
“Eh, kok malah bengong. Sini kamu! Gabung sama yang telat, jangan berani kabur, ya.” Lagi, guru BK yang tadi memergoki memanggil Sagara untuk mendekat.
Sagara cengar-cengir dan berjalan mendekat. “Hehehe, maaf, Bu Mel. Saya telat.”
Seakan tak peduli dengan tingkah muridnya, Bu Mel mencubit pelan lengan Sagara.
“Heha, hehe. Kayak nggak punya dosa aja kamu. Udah, berdiri di barisan ini.” Bu Mel menarik lengan Sagara untuk masuk ke barisan anak terlambat.
“Habis upacara selesai, kalian hormat ke bendera setengah jam. Yang cewek lima belas menit aja. Kalau pingsan, nanti saya yang disalahkan,” lanjutnya menuturkan isi hukuman.
Terdengar sorakan protes dari kaum Adam yang tak terima dengan perpedaan durasi hormat pada bendera.
“Ssst … lagi upacara, jangan berisik! Kalau mau dapat waktu lima belas menit, ada syaratnya,” tukas wanita itu dengan senyum mencurigakan.
Mendengar tawaran itu, Sagara tentu tertarik. Bocah itu bertanya, mewakili murid laki-laki lainnya.
“Syaratnya apa, Bu?”
Bu Mel tersenyum. “Kamu jadi cewek dulu. Nanti boleh mengajukan permohonan agar hukuman diringankan,” balasnya yang membuat Sagara dan murid laki-laki lain bersorak sebal.
Wanita berkacamata kotak itu lagi-lagi mengisyaratkan agar siswanya diam, karena sorakan yang dihasilkan menarik perhatian peserta upacara.
“Kalau nggak mau dihukum, makanya jangan suka telat. Lagian, masih sekolah aja udah punya kebiasaan telat. Gimana nanti kalau jadi penerus bangsa?” gerutunya tak habis pikir.
Suasana kelas cukup ricuh ketika Sagara dan badan letihnya memasuki ruang bertuliskan XI IPS 2 itu. Dia langsung menjatuhkan bokongnya ke atas kursi dan menguap panjang.
“Ini dia jagoan kita, baru selesai mengabdi pada bendera,” ejek sosok yang duduk di samping Sagara. Siswa lain yang juga berada di situ tertawa mendengar ejekannya.
Sagara memukul pelan kepala kawannya. “Kali ini gue telat bukan karena ketinggalan bus atau ditinggal sama bokap. Tapi karena nge-print tugas,” ucapnya membela diri.
“Rajin banget juara kelas kita ini, sampe tugas seminggu lalu baru dicetak sekarang.” Sosok itu masih melancarkan ejekannya.
“Lebih baik mepet daripada tidak sama sekali.”
Sagara meletakkan tasnya ke atas meja dan menjadikannya sebagai bantal. Sebelum itu, dia mengeluarkan beberapa lembar kertas dari dalamnya dan menyarankan pada si teman sebangku.
“Tuh, tugasnya. Gue mau tidur bentar. Nanti kalau gurunya dateng, bangunin gue.” Sagara berpesan.
Melihat wajah lawan bicara yang tampak pucat dan tak bertenaga. Cowok yang tadinya mengejek Sagara kini beralih khawatir. Dia menepuk pundak Sagara pelan.
“Lo sakit?” tanyanya sedikit was-was.
Sagara menggeleng. Masih dengan kepala tertanam di antara lipatan tangan, dia menjawab, “Nggak. Cuman pusing aja abis mengabdi pada bendera. Makanya jangan ganggu, biar pusingnya ilang pas bangun nanti.”
Sudah mendapat jawaban seperti itu, teman sebangku Sagara tak berani lagi untuk mengganggu. Bocah itu mencari kesibukan lain, yaitu menagih tugas yang akan dikumpulkan hari ini.
“Daffin!” panggil salah satu siswi yang berdiri di depan pintu kelas.
Cowok berkulit kuning langsat yang sedang asyik menagih tugas teman-temannya pun menoleh.
“Oi, apaan?”
Gadis itu menjawab, “Ketua kelas disuruh ke ruang guru sama Pak Lucky sambil bawa tugas minggu lalu.”
Siswa bernama Daffin itu mengangguk. “Oke, makasih. Habis ini gue ke sana,” sahutnya kemudian kembali mengumpulkan kertas dari masing-masing siswa.