EMPAT

1169 Words
“Pa, gak bisa begini juga dong. Masa mau langsung nikah begini. Orangnya aja Mama gatau!” ujar Nitya tidak terima dengan ide suaminya. “Loh bagus dong Ma! Ada yang mau menikah sama Nico! Kita gak perlu repot-repot jauhin Nico sama Hilda” ujar Sutedja enteng. “Pokoknya Mama gak akan restuin kalo Mama belum ketemu orangnya. Paling gak, Mama bisa habiskan seharian sama perempuan itu. Kalo emang lebih baik dari pada Hilda, baru Mama setuju” ujar Nitya. Sutedja langsung memberikan sebuah kartu nama pada istrinya dari dompetnya. “Nih, Mama hubungin aja calon mantu” saran Sutedja enteng. Nitya menerima kartu nama tersebut dan langsung menyambar ponselnya di meja nakas. “Maira Goenardi” Nitya membaca nama di kartu nama tersebut sambil menekan nomor di ponselnya.                                                                                              ***   Maira berjalan dengan santai menuju sebuah cafe. Setelah selesai dengan dari meeting, Maira langsung memenuhi keinginan seorang wanita yang kelak akan menjadi ibu mertuanya, Nitya. Ia celingkungan mencari wanita paruh baya itu karena keduanya belum pernah bertemu. Ini kali pertama Maira akan bertemu dengan ibu mertuanya. Tidak ada rasa canggung sedikitpun. Jantungnya juga berdetak dengan normal, tidak seperti wanita lain yang detak jantungnya seketika berdetak lebih kencang dari biasanya. Maira membaca pesan terakhir dari calon mertuanya itu. Tante pakai  blouse warna merah   “Okay, calon mertua gue pake blouse warna merah” ujar Maira mantap. Pandangannya pun tertuju pada seorang wanita paruh baya dengan blouse merah yang duduk sambil menatap keluar jendela cafe. Maira pelan-pelan berjalan ke arah wanita tersebut. “Maaf, tante Nitya ya?” tanya Maira sopan. Wanita itu langsung menoleh dan mendapati Maira di hadapannya. “Iya, kamu Maira ya?” tanya Nitya ramah. Maira mengangguk lalu tersenyum ramah. “Maaf tante jadi nungguin saya lama” ujar Maira sambil mengulurkan tangannya. Jabatan tangan tersebut di sambut ramah oleh Nitya. “Gak apa-apa, tante juga baru dateng kok ini. Tante belum pesan apa-apa juga" ujar Nitya ramah. Tanpa menunggu Maira memanggil waitress untuk di bawakan buku menu untuknya dan Nitya.  Setelah keduanya memesan, Nitya menatap Maira yang tengah membalas pesan di ponselnya. Wanita ini jauh dari yang ada di pikirannya. "Tadi ke sini macet gak Tante?" tanya Maira sopan. "Gak kok, jarak dari rumah ke sini gak begitu jauh,. Tante lumayan sering ke sini untuk arisan atau kumpul keluarga juga" jawab Nitya. Ia tidak menyangka Maira akan seramah ini. Ia sempat berpikir Maira sama dengan wanita seusianya yang lupa dengan sopan santun. Nitya salah besar. "Kamu sibuk di kantor? Kalo sibuk mungkin kita gak usah lama-lama" ujar Nitya. "Gak kok, Tante. Aku gak begitu sibuk hari ini" jawab Maira santai.  "Tante sudah tahu soal urusan kamu dengan Om” ujar Nitya. Hal ini membuat senyuman manis di wajah Maira seketika surut. Maira hanya mengangguk kecil. “Yang kamu harus tahu, menikah itu bukan urusan kecil. Urusannya seumur hidup” ujar Nitya. Mencoba meyakinkan Maira jika keputusayang ia buat ini berlaku seumur hidupnya. Maira mengangguk. “Aku udah yakin. Keputusan aku sudah bulat untuk menikah dengan anak tante. Gak ragu kok aku” ujar Maira. “Apa yang buat kamu yakin untuk menikah? Kamu bahkan belum pernah tatap muka sama anak tante ini” tanya Nitya. “Satu-satunya alasan aku mantap  menikah karena aku gak mau perusahaan yang sudah Papa bangun susah payah malah jatuh ke tangan orang lain” ujar Maira menahan seluruh perasaannya. “Makanya aku siap dan yakin, seklaipun aku belum pernah ketemu sama anak tante” tambah Maira. Nitya bisa merasakan beban yang di pikul Maira, terlebih ia adalah anak sulung perempuan yang harus hidup tanpa sang ibu. "Tante bisa paham posisi kamu, tapi ini untuk kamu ke depannya juga. Menikah urusannya masa depan" ujar NItya sambil mengelus pelan punggung tangan Maira. Seketika Maira bisa merasakan kehangatan seorang ibu. Kehangatan yang sudah lama tidak ia rasakan sejak sang mama berpulang.  "Tante gak minta macam-macam. Tante cuman ingin kamu bisa menerima anak tante apa adanya. Anaknya emang keras kepala, jadi perlu extra kalo ngadepin dia" ujar Nitya.  Maira hanya terseyum kecil.  Gimana gue yang lebih keras kepala lagi batin Miara dalam hatinya. "Masih ada waktu, tante harap kamu bisa pakai sisa waktu ini untuk berpikir. Weekend ini tante akan ke rumah kamu. Kalau kamu berubah pikiran bilang saja, gak ada paksaan" ujar Nitya. "Aku sudha bilangkan, keputusan aku udah bulat" ujar Maira yakin. Nitya menatap wanita cantik yang ada di hadapannya. Melihat mantapnya sikap Maira membuatnya juga semakin mantap untuk merestui pernikahan putranya ini.  "Tante nanti mau aku masakin apa?" tanya Maira. "Apa aja, tante sih masakan rumahan juga suka kok. Kalo anak tante itu sukanya ayam bumbu rujak" ujar Nitya. Maira mengangguk-angguk. Sepertinya memang harus egera mencari resep ayam bumbu rujak favorit calon suaminya ini.                                                                                           *** Sutedja duduk di ruang kerjanya dengan tenang sambil memperhatikan laporan perusahaannya. Nico, putranya masuk ke ruangannya dengan gerakan kasar. "Maksudnya Papa apaan sih? Masa iya aku nikahin perempuan itu? Papa kan udah tau aku udah punya Hilda!" ujar Nico marah. Sutedja menoleh ke arah putranya dengan tenang. "Kamu udah tau kan jawaban Papa dan Mama untuk Hilda? A big no" ujar Sutedja jelas. "Cuman buat nebus hutang Papanya?! Ide gile macam apa Pa?" Nico semakin kesal. "Kamu gausah ngebantah Nico! Sampai kapan pun Papa dan Mama gak akan pernah setuju hubungan kamu sama Hilda. Berani kamu nikahin Hilda, Papa coret kamu dari keluarga ini" ancam Sutedja keras.  Nico benar-benar tidak habis pikir bagaimana Papanya memiliki ide gila semacam ini.  Tanpa berpikir panjang, Nico memilih untuk keluar dari ruangan kerja Sutedja dan menutup pintu dengan sedikit keras.  "Apa-apaan sih?! Punya sopan gak sih sama Papa?" Dennis, kakak Nico menegur sikap adiknya itu. Nico tidak menggubris ucapan kakaknya dan berjelana meninggalkan kakaknya.  Dennis masuk ke dalam ruangan Sutedja, menanyakan apa yang terjadi di antaranya Nico dan Sutedja.  "Pa?! Serius?!" Dennis pun kaget mendengar usulan Sutedja. "Pa, tapikan ini urusan bisnis masa di campur ke urusan pribadi dih? Papa juga kalo ngomong di pikir-pikir dong" ujar Dennis. "Udahlah Nis, yang Papa lakuin ini demi kebaikan adikmu juga. Sudi kamu adikmu terus-terussan sama perempuan gak jelas macam Hilda begitu? Gak jelas latar belakangnya gimana, bisanya mortin duitnya Nico terus!" sahut Sutedja. "Pokoknya weekend ini kita ke rumah mereka. Kamu siap-siap. Bilangin istrimu" ujar Stuedja. Dennis hanya menghela napas dan keluar dari ruangan Papanya. Jika ia berada di posisi Nico, ia juga mungkin akan melakukan hal yang sama seperti yang di lakukan oleh Nico.  Dennis hanya menghela napas dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk mmebantu adiknya.                                                                                             *** Maira duduk dengan santai di ruang televisi. "Tadi gimana? Sudah ketemu sama istrinya Om Sutedja?" tanya Agung pada putrinya. Maira mengangguk. "Beda banget sikapnya sama suaminya" ujar Maira enteng. "Hus! Gitu-gitu sebentar lagi jadi Papa mertua kamu" ujar Agung. Maira hanya tertawa kecil. "Kalo aku nanti nikah, ikut tinggal bareng mereka Papa gak masalah?" tanya Maira tiba-tiba. "Ya jelas gak masalah dong. Istri ya harus ikut suami. Kamu gimana?" sahut Agung meladeni pertanyaan Miara yang retoris.  "Kamu baik-baik di sana ya. Kurang lebih sama mertua dan ipar" pesan Agung. Maira menoleh ke Agung dan tersenyum.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD