DUA PULUH SATU

1215 Words
"Hilda?" Maira kaget melihat berada di dalam kamar bayinya ini. Hilda yang tertangkap basah langsung gugup bukan main. Ia pun berbalik badan dengan segala keberanian dan juga keangkuhan yang ia miliki. "Kenapa?" tanya Hilda dengan tenang. Meski menjawabnya dengan tenang, Maira bisa melihat raut kegugupan di wajah Hilda.  "Ngapain di sini?" tanya Maira super jutek. "Cuman mau liat-liat aja" ujar Bianca seadanya. "Mau liat-liat apaan?" sahut Maira cepat. "Ya kamar bayi lah. Emang gak boleh cari-cari inspirasi?" sahut Hilda dengan sewot.  "Kamu tau soopan santun kan? Gak sopan masuk ke kamar orang lain tanpa izin pemiliknya?" tanya Maira judes.  "Ya emangnya kenapa? Emang ini ruangan kamu?" tanya Hilda lagi. "Pake nanya lagi!" ujar Maira kesal. "Pergi sana! Dasar gak punya sopan santun!" usir Maira kesal. Usiran Maira ternyata sukses membuat perhatian Nico teralihkan. "Ada apaan sih?" tanya Nico sambil berkacak pinggang di ambang pintu. Melihat Nico yang berada di depannya, Hilda langsung menghampiri Nico dan bergelayut mesra.  "Sayang masa aku di omelin Maira sih, emang gak boleh kalo aku liat-liat kamar bayi? Kan sama-sama mau punya baby juga? Aku masa gak boleh sih cari inspirasi" rajuk hilda. Seolah-olah ia yang di salahkan. "Saya gak akan marah kalo kamu masuk kamar orang gak ngomong sama yang punya" tandas Maira dengan dingin, Melihat ucapan Maira dan menyadari nada bicaranya yang sangat menindas, Nico bisa menyimpulkan bahwa di sini Hilda yang membuat masalah. "Udah-udah. Ini masih pagi, ribut aja. Kamu kalo mau liat-liat, mau cari inspirasi apalagi ini di kamar orang ya ngomong. Kalo ngomong ya pasti di ijinin kok" ujar Nico. Hilda tidak menyangka Nico akan lebih membela Maira daripada dirinya. Nico pun keluar dari kamar itu.  "Puas kamu di belain Nico?" sungut Hilda.  "Ya emang harusnya begitu kan?" balas Maira sambil menyeret Hilda keluar dari dalam kamar, lalu mengunci kamar tersebut. Maira pun meninggalkan Hilda yang masih bersungut kesal dengan apa yang baru saja terjadi.  Melihat apa yang terjadi barusan sejujurnya mmebuat Maira kaget bukan main.  Hilda berani-beraninya masuk ke dalam kamar bayinya tanpa sepengetahuannya.  Hal ini jelas membuat Maira semakin memikirkan keselamatan bayinya setelah lahir nanti. "Kayaknya emang harus pasang CCTV deh. Kalo gue ngantor otomatis ini anak kan di rumah, si mak lampir juga gak kerja. Kalo dia macem-macem pas gue pergi? Gimana?" Maira menebak-nebak sendiri kemungkinan yang terjadi. "Gue harus pasang CCTV, tersembunyi banget kalo bisa. Supaya gue punya bukti otentik, in case dia macem-macem" tanpa berpikir panjang, Maira langsung mencari jasa penyedia CCTV untuk di pasang di kamar bayinya ini.  Lebih cepat, lebih baik bukan? "Kamu tuh ngapain sih masuk-masuk kamar orang?" tanya Nico sambil menyetir. Hilda yang duduk terdiam sambil memanyunkan bibirnya. "Kan aku udha bilang aku cuman mau cari inspirasi doang. Barang-barang apa aja yagn udah di beli Maira. Lagian sama-sama mau punya bayi juga kan" Hilda masih terus berusaha untuk membela diri. "Ngomong-ngomong itu boksnya Maira dan Mas Dennis?" tanya Hilda. Sebisa mungkin Hilda tidak ingin terdengar kepo mengenai boks bayi itu. "Itu warisan dari Papa, dulu di pake Mas Dennis, aku sama Arya. terus di pake anak-anaknya Mas Dennis. Ya abis ini di pake anak aku" ujar Nico. "Ohh gitu" jawba Hilda manut-manut mengerti. Sejujurnya, ia menaruh rasa iri yang amat sangat luar biasa pada Maira. Terlepas dari alsaan perjodohan Miara dan Nico, Hilda sungguhiri dengan Maira yang mendapatkan perlakuan baik dari Nitya. Bisa saja Nitya dingin terhadap Maira, apalagi menyangkut hutang putiang antara perusahaan. Namun nyatanya Nitya sama sekali tidak pernah bersikap kasar pada Maira. Wanita itu bahkan memperlakukan Maira selayaknya putrinya sendiri.  Berbeda dengan diirnya yang sudah di tolak sejak awal berhubungan dengan Nico. Tentu saja bagian yang membuat Hilda iri adalah Maira yang mendapatkan kamar dan juga boks bayi peninggalan keluarga Nico. Dari segi manapun Maira memang sudah sepantasnya menerima semuanya. Ia istri sah dari Nico Sutedja. "Aku drop kamu di sini, nanti kamu sore aku jemput di sini juga. Kita kontrol barengan ya" ujar Nico saat mobilnya memasuki plataran sebuah pusat perbelanjaan. Setelah turun dari mobil, Hilda berjalan dengan tatapan kosong memasuki pusat perbelanjaan itu.  "Emang cuman belanja yang bisa ilangin stress gue!"                                                                                         **** "Jadi kamar anak lu gimana Ra?" tanya Jenita pada Maira yang duduk dengan santainya di sofa. "Baru mau di cat. Temen gue yang desainer interior bakalan ngasih beberapa contoh gambar buat di dinding. Gue cuman butuh satu benda ini lagi, dari kemaren gue cari-cari kagak nemun-nemun juga" ujar Maira penuh kegelisahan. "Emang lu butuh apaan Ra?" tanya Jenita. "Gue butuh CCTV. Lu tau? Si mak lampir itu kemaren tiba-tiba nyelonong masuk ke kamar anak gue!" ujar Maira yang gemas jika mengingat Hilda yang merasa tidak bersalah itu. Jenita langsung melotot. "Idih! Dia pikir sokap?! Jenita bereaksi tidak terima. "Makanya itu Ta, gue mau masang CCTv di akamr anka gue, tapi yang gak keliatan sama orang juga gitu. L bayangin aja Ta, kalo gue kerja, anak gue di rumah nanti sama suster, terus si mak lampir itu kan gak kerja. Kalo anak gue kenapa-kenapa gimana?" cerocos Maira. "Bentar kayaknya mantan gue ada yang nyediain jasa CCTV deh" Jenita langsung membuka ponslenya dan mencari kontak mantan pacarnya itu. "Si Dimas ya?" tebak Maira. "Iya-iya! Bener nih, ada kontaknya. Gue ngomogn ke dia dulu deh lu butuh CCTV, siapa tau dia mau harga lebih bersahabat. Lu tenang aja Ra, gue sama Dimas putusnya baik-baik kok. Gak ada dendam di antara kita" ujar Jenita semangat. Maira tidak bisa menahan tawanya kala mendengarkan penjelasan Jenita. "Tuh kamar sebelah udah di kasih apaan aja?" tanya Nico sambil tetap fokus pada ponselnya. "Perlengkapan sih udah enam puluh persen. Sisanya masih sambil jalan belinya, kamarnya juga udah mulai di cat kok" jawab Maira kalem.  "Oh ya, aku pasang CCTV juga" tambah Maira. Nico terhenti beberapa saat dari aktifitasnya itu. "Hmmm" jawab Nico dengan gumaman. "Kamu sibuk gak minggu depan?" tanya Maira hati-hati. "Kenapa emangnya?" tanya Nico. "Temenin aku periksa kandungan mau gak? Sekali aja, janji aku gak akan mint akamu temenin aku lagi abis ini" ujar Maira lebih hati-hati lagi. "Gak bisa. Aku banyak kerjaan" sahut Nico tanpa berpikir lagi.  Maira hanya mengangguk. Mengerti bahwa sampai kapan pun suaminya ini tidak akan pernah mau memperdulikannya. "Aku turun dulu ya bentar, tadi bikin makaroni schotel" ujar Miara beranjak dari tempat tidurnya. "Heh, bikin apaan?" Nico menarik tangan Maira, menyebabkan Maira hampir terjatuh namun dengan tanggap Nico menangkap istrinya itu hingga ke pangkuannya.  "Aku bikin, makaroni schotel. Mau?" tanya Maira di hadapan wajah Nico. Suaminya itu mengangguk antusias. Belum sempat Nico membuka mulutnya Maira langsung memotong dengan cepat. "Iya, aku ambilin juga buat Hilda, sekalian ama sambelnya" ujar Maira yang langsung berdiri dari pangkuan Nico.  "Maaf ya aku berat" imbuh Maira lagi sambil menoleh sebentar ke arah Nico. Nico hanya terdiam hingga Maira keluar dari kamarnya. Pikirannya yang tadinya berkeliaran hanya seputar pekerjaan kini terpaku pada pertanyaan Maira tadi. "Gue gak siap buat nemenin lu Ra. Sori banget, gue gak siap kalo harus jadi ayah. Ya gue juga salah sih kenapa kemaren gue mabok begitu. Tapi sori banget Ra, gue gak siap untuk ini" ujar Nico pada dirinya sendiri. Ia menyadari sendiri apa yang ia lakukan. Tidak siap dengan kehamilan Maira, namun bersedia sepenuh hati untuk bertanggung terhadap janin yang ada di kandungna Hilda, meskipun itu bukan darah dagingnya sendiri. "Yang penting tiap bulan gue kasih kewajiban gue nafkahin kalian, I think it's more than enough dengan nominal segitu tiap bulannya" ujar Nico.                                                               
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD