39. The Psycho

1765 Words
Renita berada di kamar mandi kantor polisi. Wanita itu kedapatan sedang diam-diam menelepon dengan seseorang tanpa diketahui siapa pun. Orang di balik telepon itu adalah Roger, salah satu anak buahnya. "Jadi selama ini Akriel sebetulnya bersama Herman? Herman yang menyembunyikan Akriel?" Renita luar biasa marah ketika tahu kalau Herman yang telah membantu Akriel melarikan diri. 'Iya, Nyonya. Saya melihat Herman bersama Akriel di sebuah jembatan tadi pagi. Selama ini, Herman telah menyembunyikan Akriel di sebuah rumah sakit.' Jelas Roger dari balik telepon. Renita geram mendengarnya. Jika Akriel telah kembali, maka tamatlah riwayatnya. Bisa-bisanya Herman mencoba menjerumuskannya ke penjara dengan menggunakan Akriel. 'Satu lagi, Nyonya. Saya punya informasi yang lebih penting dari ini.' Renita agak mengernyit. "Cepat katakan!" 'Saya sempat membuntuti Herman yang datang ke cafe saat itu. Dia mengobrol dengan seorang anak perempuan seumuran Sheryl yang diketahui bernama Fany.' Ujar Roger dan hal itu membuat Renita makin penasaran. "Apa yang dia bicarakan dengan anak itu?" 'Fany rupanya mengetahui kalau Anda telah membunuh anak laki-laki bernama Karan Sabintang 8 bulan lalu. Herman berencana untuk mengungkap kasus itu lagi dengan bantuan Fany. Fany ada di lokasi kejadian saat di mana Karan meninggal dan dia mengetahui kejadian sebenarnya.' Mendengarnya, Renita benar-benar tersentak dan sangat terkejut. Wanita itu membekap mulutnya sendiri dan merasa tidak percaya dengan apa yang telah dikatakan Roger. Jadi, Herman benar-benar telah mencoba menghancurkannya. "Di mana anak itu tinggal? Di mana dia sekarang?" 'Dia tinggal di asrama sekolah. Kami sedang memata-matai keadaannya secara diam-diam.' "Bagus. Buat dia tidak sadarkan diri lalu bawa dia ke ujung Jalan Akasia. Aku akan menemui kalian bersama Fany di sana. Jangan ada satu orang pun yang mengetahui keberadaan kalian." Renita memerintahkan. 'Baik, Nyonya. Kami akan segera melakukan apa yang sudah Anda perintahkan.' Ujar Roger kemudian. 'Sebenarnya ada satu hal lagi yang belum saya sampaikan pada Anda. Tapi, saya tidak tahu berita ini cukup penting atau tidak untuk Anda.' Renita mengernyitkan dahi. "Katakan saja!" 'Tsania Larasati diketahui telah meninggal dunia.' Renita yang baru saja mendengarnya geming sesaat. Lalu, ada sebuah senyum yang tertarik dari kedua sudut bibir wanita itu. Renita diam selama beberapa saat bahkan dia tidak merespon perkataan Roger di sana. "Tentu, ini adalah berita yang sangat penting. Cepat lakukan tugasmu sekarang juga!" Renita lantas menutup sambungan telepon begitu saja. Pikirannya sempat tak tenang ketika tahu kalau Akriel berhasil kembali berkat bantuan Herman atau Fany yang mencoba membongkar fakta kematian Karan untuk menjerumuskan Renita ke penjara. Tapi, mendengar kabar kalau Tsania telah meninggal dunia membuat Renita merasa menjadi seorang pemenang. Renita telah menang dan Tsania kalah telak darinya. Dan satu lagi, Renita sangat bahagia mendengar kabar kematian wanita itu. Wanita yang telah menjadi musuhnya selama bertahun-tahun. Dan akhirnya, dia telah meninggal lebih dulu dan menjadikan Renita pemenang dalam permainan mereka sendiri. Renita tersenyum miring sambil berkata pelan, "Akhirnya aku adalah seorang pemenang. Kamu telah kalah dariku, Tsania." Renita akhirnya keluar dari toilet itu. Dan baru saja membuka pintu, dirinya sudah dibuat nyaris jantungan oleh kehadiran dua polisi wanita yang sudah menjemputnya di depan pintu. Renita nyaris memekik. "15 menit. Anda menghabiskan banyak waktu sekali di dalam sana." Kata polisi itu. Renita memijit pelipisnya. "Saya sedikit pusing. Saya butuh waktu untuk menenangkan diri." "Tapi Anda harus kembali ke sel sekarang juga." Renita mengangguk saja apa yang dikatakan polisi tersebut. Dia pasrah dan akhirnya dia berjalan menuju selnya diikuti kedua polisi tersebut yang berjalan di sampingnya. Namun, saat hendak masuk ke sel tahanannya, Renita malah jatuh pingsan dan langsung tak sadarkan diri membuat semua orang panik termasuk kedua polisi tersebut. *** "Renita mengalami peradangan di lambungnya. Itu karena dia tidak makan dengan teratur selama di penjara. Dia butuh istirahat total kurang lebih selama 3 hari." Jelas sang dokter pada dua polisi yang telah membawa Renita ke rumah sakit. Renita kini terbaring di ranjang bangsal. Katanya dia masih tidak sadarkan diri. Saat tiba-tiba pingsan di penjara, polisi langsung membawa Renita ke rumah sakit. Polisi sempat berpikir kalau wanita itu hanya berpura-pura saja, tapi setelah diperiksa oleh dokter ternyata dia benar-benar sakit dan harus menjalani perawatan serius. "Apa dia tidak bisa sembuh lebih cepat? Dia tidak boleh terlalu lama di rumah sakit." Polisi itu menawar. "Harusnya dia istirahat selama satu minggu, dan 3 hari itu adalah waktu yang paling cepat untuk dia beristirahat. Kalau tidak ditangani dengan baik, kondisi lambungnya akan semakin parah dan berisiko terkena kanker lambung." Jelas sang dokter. Kedua polisi itu pun tak punya pilihan lagi selain membiarkan Renita dirawat di rumah sakit selama beberapa hari. "Baiklah kalau begitu, tapi rumah sakit ini akan kami jaga ketat karena dikhawatirkan Renita akan melarikan diri." Dokter itu mengangguk. "Silakan saja." "Kalau begitu kami akan menunggu di luar." Kata polisi tersebut dan segera meninggalkan ruangan itu. Setelah dirasa kedua polisi itu pergi dari sana, dokter itu pun menghampiri lemari di samping ranjang bangsal Renita. Dia mengambil kunci mobil dari sana. "Bangunlah!" Ucapnya dan dengan segera Renita membuka matanya. Wanita itu beranjak dari tempat tidurnya dan dengan segera mengambil jas dokter yang dia sembunyikan dari dalam lemari. Tanpa menunggu lama, dia kenakan jas itu lengkap dengan sarung tangan dan sepatunya. Renita menyamar menjadi seorang dokter. "Ini kunci mobilnya." Kata dokter di sampingnya pada Renita dan dengan segera mengambil kunci mobil itu dari tangannya. "Pakailah masker agar tidak ada yang menyadari keberadaanmu." Renita menganggukkan kepala lantas tersenyum. "Terima kasih sudah mengingatkan saya. Anda telah bekerja dengan sangat baik." Sang dokter itu membungkuk di hadapannya sebagai tanda hormat. Lalu, Renita berjalan ke luar ruangan dengan penampilannya yang selayaknya dokter sungguhan. Dia berpura-pura menjadi seorang dokter sampai hebatnya tidak ada orang yang mampu mengenalinya bahkan polisi yang baru saja dia lewati di lorong itu. Mereka sama sekali tidak menyadari kehadiran Renita. Renita langsung menghampiri sebuah mobil yang terparkir di pelataran rumah sakit. Beruntung, tidak ada seorang pun yang mengetahui penyamarannya. Dia berhasil melarikan diri. Renita lantas menelepon Roger. Tanpa butuh waktu lama, Renita langsung mendapat jawaban dari anak buahnya tersebut. "Apa semuanya beres?" Tanya Renita. 'Kami semua sudah melakukan apa yang Anda katakan. Fany sudah ada di sini sekarang. Kami sudah membiusnya sehingga dia tidak sadarkan diri.' Ujar Roger. "Bagus." Renita terlihat tersenyum gembira. "Tunggu aku di sana. Aku akan datang sebentar lagi." 'Baik, Nyonya.' *** Fany merasa kepalanya pusing. Rasanya dia baru saja berada di atas gasing yang besar dan terus dipaksa berputar tanpa henti. Dia tidak ingat apa yang sudah terjadi pada dirinya beberapa waktu lalu. Terakhir, dia masih berada di asramanya dan tiba-tiba saja ada beberapa orang yang menghampirinya. Selebihnya, dia tidak ingat apa-apa lagi. Kini, dia berada tepat di tengah jalan yang tidak dia kenali sama sekali tempatnya. Ia juga tidak tahu bagaimana dia bisa tiba-tiba terbangun di sini dalam keadaan luar biasa pusing. Satu lagi, dia tidak tahu tempat semacam apa dirinya berada sekarang. Dia seperti berada di sebuah jalan yang dikelilingi pepohonan pinus dan akasia di dalam hutan. Lalu, dari arah belakang, cewek itu seperti mendengar suara deru mesin mobil. Fany menoleh ke belakang dan rupanya mobil itu tengah mengarah ke arahnya dengan sangat kencang. Dengan tergopoh-gopoh, Fany segera menepi dan menyingkir dari tengah jalan tapi sepertinya mobil itu tengah mencoba menabraknya. Mobil itu tengah mengincar Fany. Fany berlari dengan ringkihnya berusaha menghindari kejaran mobil itu. Fany tidak mengetahui siapa orang di dalam mobil yang kini terus mengejarnya. Tapi, pikirannya terus mengatakan kalau itu adalah Renita. Mungkin Renita berniat untuk menghabisinya karena dia mengetahui kalau Renitalah orang yang telah membunuh Karan dan memalsukan kematiannya. "Ahhh!" Fany terjerembab ke atas aspal jalan. Lutut dan sikunya sampai tergores. Tapi, cepat-cepat cewek itu bangkit dan segera berlari lagi. Mobil itu rupanya masih mengejarnya. Fany rasanya tidak kuat melanjutkan langkahnya lagi. Dia benar-benar kelelahan. Dia hanya bisa menatap mobil yang semakin mendekat ke arahnya. Fany tidak bisa menghindar lagi. Brak Mobil itu berhasil menabrak Fany sampai cewek itu terguling-guling di jalanan. Ada banyak luka dan darah di kaki dan tangannya bahkan di dahinya sekalipun. Fany tidak bisa bangkit. Tubuhnya terlalu kesakitan. Dia menatap ke arah mobil yang kini berhenti tak jauh dari hadapannya. Dari sana, Fany bisa tahu kalau ternyata benar orang di balik sana adalah Renita. Dengan begitu susah payahnya, Fany masih mencoba untuk berdiri. Selagi mobil itu masih diam, Fany sekuat tenaganya menghindari kejaran Renita. Dengan ringkihnya, cewek itu berjalan membawa tubuhnya untuk menghindar dari sana. Memang tubuhnya terlalu sakit akibat luka-luka yang ia dapatkan kala itu, tapi dia tetap mencoba berlari meskipun dengan sangat ringkih. Sialnya, dia malah menjumpai jalan buntu. Tidak ada jalan lain lagi selain jurang yang di bawahnya terdapat sungai yang dalam. Fany ketakutan sekarang. Dia tidak bisa melakukan apa-apa. Mungkinkah ini akhir dari hayatnya? Apakah dia akan mati di tangan Renita? Terlihat, mobil yang dikendarai Renita mulai mendekatinya lagi. Fany semakin berjalan mundur dan dalam beberapa langkah lagi, mungkin dia akan segera terjatuh ke dalam sungai. Fany benar-benar ketakutan setengah mati. "Saya mohon!!!" Fany tiba-tiba berteriak membuat Renita yang sedikit lagi menabraknya terpaksa menghentikan mobilnya. Fany tengah menangis sekarang. Dia sebegitu ketakutannya. "Saya mohon biarkan saya hidup." Pintanya sambil menempelkan kedua telapak tangannya mencoba memohon pada Renita. "Saya tidak akan mengatakan apa-apa pada semua orang. Saya tidak akan melaporkan apa yang saya lihat tentang Anda yang telah menghabisi Karan di masa lalu. Tolong lepaskan saya. Biarkan saya hidup." Renita tersenyum miring di sana. Sayangnya, dia bukan jenis wanita yang akan cepat luluh sekalipun Fany tanpa henti memohon ampun sambil menangis darah. Renita sama sekali tidak merasa kasihan. Dia akan menyingkirkan siapa saja yang bisa mengancamnya. "Saya mohon lepaskan saya. Saya tidak ingin mati. Saya tidak akan macam-macam dengan membongkar rahasia Anda." Deraian air mata Fany kian deras di pipinya. Inilah yang dia takutkan sejak lama. Dia benar-benar takut kalau Renita benar-benar akan membunuhnya sekarang juga. Namun, Renita kembali menyalakan mobilnya. Fany semakin ketakutan ketika mobil kembali melaju ke arahnya. Cewek itu terus memundurkan langkahnya sampai tidak ada lagi sisa-sia pijakan. Dia hanya bisa menangis sekarang. Dia tidak bisa memohon bantuan pada siapa-siapa lagi. Sekarang, nyawanya ada di tangan Renita. Dalam beberapa detik, Renita pasti akan dengan mudah menabraknya sampai jatuh ke dalam sungai. "Aku tidak akan percaya sedikit pun dan melepaskanmu begitu saja." Kata Renita kemudian menginjak pedal gasnya dan kembali melajukan mobilnya sampai menghantam tubuh Fany di ujung jurang sana. Renita bisa melihat dengan jelas ketika Fany akhirnya terjatuh ke dalam jurang dan tenggelam di sungai. Renita keluar dari mobilnya untuk menyaksikan anak itu hanyut di air sungai yang dalam tersebut. Renita tersenyum puas karena lagi-lagi dia telah berhasil menyingkirkan orang-orang yang mencoba menghancurkannya. Namun, senyum Renita tak lama kemudian harus memudar. Dia lupa kalau dia harus menyingkirkan orang lain lagi untuk bisa selamat, yaitu Akrel dan Herman. Dia berjanji dia akan menghabisi kedua orang itu dengan tangannya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD