30. Ayah

1759 Words
Seusai mengobati luka Akriel dengan peralatan seadanya, Dara keluar dari ruang UKS. Cewek itu berkali-kali dibuat ngeri dengan luka-luka di punggung Akriel. Ada banyak luka lebam bekas pukulan besi yang sempat diceritakan Akriel beberapa waktu lalu. Sejak tadi, Dara khawatir mungkinkah orang-orang yang menghajar Akriel adalah suruhan Renita alias ibu Sheryl sendiri. Tidak mungkin kalau orang-orang itu menghajar Akriel tanpa sebab dan alasan. Dara yakin, Renitalah dalang di balik semua kejadian ini karena wanita itu pasti merasa terancam saat Akriel tiba-tiba masuk ke ruangan sidang waktu lalu dan mengacaukan semuanya. Dia memang wanita psikopat. Di sisi lain, Dara semakin takut kalau Renita akan bertindak lebih jauh lagi untuk mencelakai Akriel. Jam sekolah masih berlangsung, Dara berniat untuk segera pulang. Dia harus ke rumah sakit untuk menjenguk ibunya. Namun, langkahnya terhenti ketika tahu-tahu Pak Bondan menegurnya. Dara sempat tercekat di ambang pintu. "Dara!" Seru pria tua itu dan Dara pun menoleh. "Iya?" "Bagaimana kabar kamu? Kamu baik-baik saja, kan?" Tanya Pak Bondan. Sejujurnya kalau Dara boleh mengatakan, dia tidak baik-baik saja sekarang. Dia terlalu frustasi karena kasusnya yang mengakibatkan dirinya diblacklist dari sekolah tak kunjung selesai, belum lagi tentang kondisi ibunya yang semakin memburuk hari demi hari. Dara tidak mungkin mengatakan hal itu. Sebisa mungkin dia akan menyembunyikannya sampai semua orang mengira cewek itu baik-baik saja. Dia memang pandai memakai topeng. "Hari ini tidak begitu buruk. Tapi setidaknya hari ini lebih baik dari kemarin." Katanya sambil tersenyum tipis. Pak Bondan yang mendengarnya menyeringai. "Syukur kalau begitu. Sebetulnya Bapak sangat ingin menolong kamu. Sebisa mungkin, Bapak akan bertanggung jawab agar kebenaran yang sebenarnya segera terungkap agar masalah yang kamu hadapi cepat selesai." Dara hanya tersenyum pasi. "Saya tidak khawatir sama sekali. Jika saya memang tidak bersalah, kenapa saya harus khawatir? Saya hanya harus menunggu kebenaran sampai terungkap." "Kamu benar. Akriel sudah bersedia untuk menjadi saksi kamu di sidang besok. Sudah berkali-kali dia mengatakan hal itu pada saya." Mendengarnya, Dara malah tertegun. Dara sangat khawatir karena kenekatan Akriel. Mengingat cowok itu baru saja mengalami hal tak terduga yaitu dipukuli orang-orang tak dikenal. Kalau memang benar orang-orang itu adalah suruhannya Renita, semakin jauh Akriel bertindak maka akan semakin besar juga Renita untuk mencelakai Akriel bahkan mungkin wanita itu tak segan untuk membunuhnya bagai semut kecil. Siapa pun tahu kalau Renita tak segan menyingkirkan orang yang menghalangi jalannya dengan mudah. "Dara?" Dara yang kedapatan melamun langsung tersentak. "Kenapa kamu melamun?" Dara menggeleng. Dia ingin kasus ini segera berakhir, tapi kalau sampai kasus yang kedua kalinya ini sampai membuat seseorang celaka lagi, Dara pun tak tega. Cukup Karan, orang yang menjadi korban karena kasus Dara di masa lalu. Tidak, untuk Akriel atau siapa pun lagi. "Apa itu satu-satunya jalan? Akriel belum sembuh secara total. Lukanya masih parah." Kata Dara. "Kalau bukan Akriel, siapa lagi? Kamu tidak punya orang lain lagi untuk bersaksi di pihak kamu. Kalau begitu, bisa-bisa kamu akan dikeluarkan dari sekolah dan yang lebih parah adalah diblacklist dari semua sekolah di Indonesia." Ujar Pak Bondan. Dara terdiam lagi. Pikirannya bergelut. "Kalau memang Akriel benar-benar bersedia, saya dengan terpaksa menerimanya." *** Herman Soetomo, pria berusia 41 tahun itu terasa teremat batinnya ketika melihat seorang wanita tengah terbaring di atas ranjang bangsal dengan tidak berdayanya. Wanita itu tak lain dan tak bukan adalah Tsania Larasati yang kini menderita gangguan jiwa. Herman merasa menjadi manusia paling berdosa telah mengkhianati wanita yang merupakan cinta pertamanya tersebut. Dan melihatnya mengalami gangguan jiwa seperti ini membuat Herman semakin merasa bersalah. Ketika Tsania menyimpan cinta yang besar padanya saat mereka masih muda, Herman justru malah tergoda dengan Renita Adinatya, wanita yang bahkan mengkhianatinya dan berselingkuh dengan Dimas Haribuana. Kini Herman kehilangan keduanya baik Renita maupun Tsania. Dari kondisi Tsania sekarang, Herman bisa merasakan betapa tersakitinya Tsania ketika kekasihnya berkali-kali direbut oleh wanita bernama Renita. Mulai dari Herman sendiri sampai Dimas yang merupakan mantan suami Tsania dan kini telah menjadi suami Renita. Mereka semua berdosa telah menyakiti Tsania. "Maafin aku." Bisik Herman sambil menggenggam tangan Tsania, kepalanya menunduk menyembunyikan wajahnya yang menangis. Tsania terbangun, wanita itu membuka matanya perlahan dengan sangat lemah. Wajahnya sudah sepucat mayat. Tatapannya pun makin sayu. Herman yang menyadari Tsania tersadar menatap wanita itu dengan sedih. Ia menggenggan tangan kurus Tsania makin erat. Herman menyesal, pria itu sangat menyesal telah meninggalkan Tsania dan lebih memilih Renita. Meskipun Herman terlambat menyadarinya. Andai Herman tidak meninggalkannya saat itu, Tsania akan baik-baik saja sekarang dan hidupnya pun pasti akan bahagia. "Tsania." Herman menyebut namanya sambil meneteskan beberapa air dari matanya. Tsania balik menatap Herman dengan lemah. Bibirnya seperti hendak mengucapkan sesuatu namun terlihat kesulitan. "Kamu mau bilang sesuatu?" Tanya Herman. "A... nak... ku." Kata Tsania terbata-bata. Herman hanya mengangguk-anggukan kepala saat mendengarnya. "To... long ja... ga anak... ku." "Dara?" Herman menerka meskipun dia sudah tahu yang dimaksud Tsania adalah Addara Ghassani, anak dari Tsania dan Dimas. Tak lama, ada setetes air mata yang jatuh meluruh dari sudut mata wanita itu. Herman pun mengusapnya. Herman merasa simpati melihat wanita di depannya tersebut. Pasti Tsania sangat tertekan pasca bercerai dari Dimas sampai kondisi jiwanya terenggut. "Iya, aku akan jaga putri kamu seperti anakku sendiri." Ucap Herman. "Sekali lagi, tolong maafin aku. Aku bersalah udah ninggalin kamu." Entah kenapa, Herman malah semakin terisak. Dan tanpa diduga, tangan kurus Tsania yang satunya tengah menggenggam tangan kekar Herman. Herman hanya bisa menatapnya dengan sendu. Herman pun balik menggenggam tangan Tsania. Tanpa disadari siapa pun, Dara tengah menatap keduanya dari balik jendela. Ibunya tengah bersama seorang pria yang dia ketahui adalah ayah kandung Sheryl. Dara sempat tercekat dan kebingungan. Dia tidak tahu sejak kapan ayah Sheryl datang kemari untuk menemui ibunya. Namun, Dara lebih penasaran lagi kenapa ayah Sheryl sampai mau menjenguk ibunya di sini. Rupanya, Herman menyadari kehadiran Dara saat itu. Dia menoleh ke arah jendela dan Dara pun berhasil tercekat di tempatnya. Herman berjalan ke luar menemui Dara. Anak perempuan itu menatapnya keheranan. Herman semakin berjalan mendekatinya dan tanpa diduga Herman pun memeluk Dara. Dara hanya bisa diam sambil mendengarkan Herman yang kala itu berkata, "Mulai sekarang kamu bisa panggil Om dengan sebutan ayah." Namun, Dara dibuat kebingungan dengan perkataan pria itu. *** Sehabis solat Isya, Saka kaget ketika mendapat pesan dari Liura. Ngomong-ngomong, mereka sudah bertukar nomor telepon beberapa waktu lalu melalui dm **. Saka sampai nyaris dibawa ke ICU ketika jantungnya rasanya berhenti berdetak pasca membaca pesan dari cewek bule tersebut. Bagaimana Saka gak kaget, soalnya Liura minta pada Saka buat ditemenin makan malam di warung lesehan di Jakarta. Saka sedikit kebingungan karena bisa-bisanya Liura yang sehari-harinya makan di restoran mewah atau gak makanannya dibuat oleh chef-chef khusus malah minta ditemenin makan di warung lesehan. Jadi, Liura itu beneran orang kaya atau bukan sih? Ah, lagipula suka-suka orang kaya dong mau makan di mana aja terserah. Saka pun setuju. Buru-buru dia berpakaian meskipun cuma setelan denim ala-ala bujang kekinian. Setidaknya penampilannya yang seperti itu tidak akan terlalu terbanting ketika bersanding dengan Liura nanti. Tak lupa cowok itu juga memakai parfum sampai habis setengah botol. Kisa yang tadi sempet memergoki Saka saja sampai mau mabok karena Saka pakai parfum terlalu banyak. Liura baru saja turun dari mobilnya. Saka pun langsung menghampirinya. Cewek itu kedapatan memakai celana jeans hitam dengan atasan cardigan berwarna coklat muda. Penampilannya memang tak semewah Syahrini saat itu tapi cewek itu tetap kelihatan menawan. Mungkin saja Liura mau menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar soalnya dia mau makan di warung lesehan. Kalau sampai Liura pakai dress atau pakaian yang bisa bikin dia jadi pusat perhatian semua orang, bisa-bisa acara makannya akan terganggu karena dikira artis berujung orang-orang di sana pada minta foto atau tanda tangan. "Lo kok ngajak gue buat nemenin makan? Emang gak ada orang lain gitu?" Saka melontarkan pertanyaan. Liura malah cemberut. "Lo gak mau?" "Bukan gak mau. Cuma aneh aja." "Daripada mikir, mending cepetan kita ke warung pecel lele. Gue udah laper." Saka hampir melotot. Ternyata orang kaya bisa semerakyat itu mau cepet-cepet makan di warung lesehan. Liura sempat meminta bodyguards yang mengantarnya untuk tak menjaganya. Dia ingin makan sendirian. Malah Saka yang gelagapan. Kalau misal di tengah jalan mereka dipalak sama preman bisa gawat soalnya Saka gak bisa beladiri apalagi ngejagain Liura. Tapi, Liura bilang kalo gak bakal terjadi apa-apa. Setelah berjalan selama 5 menitan, sampailah mereka di warung lesehan pecel lele milik Cik Siti. Ngomong-ngomong, warung itu favorit Kasa, Kisa maupun Saka sendiri makanya dia rekomendasiin warung itu ke Liura. Mereka duduk di salah satu bangku yang ada di sana. Ada banyak pelanggan malam itu. Mereka sampai harus antre untuk mendapat pesanan. "Lo kesurupan apa sampe mau makan di tempat ginian?" Saka bertanya bikin Liura terkekeh. "Gue baru pertama kali ke sini. Ternyata seru juga bisa nikmatin angin malam-malam terus banyak orang lagi." Ujar Liura. "Enaknya angin malam apa? Yang ada ntar masuk angin." Jelas Saka. Saka benar-benar gak habis pikir. Liura begitu dusun saat berada di sana. Dia sampai terkagum-kagum dengan tisu warna-warni berbentuk segitiga di atas meja. Katanya dia baru pertama kali melihat tisu yang punya berbagai macam warna. Ada kuning, hijau dan pink. Seumur hidup, Liura cuma tahu kalau tisu itu cuma warna putih. Kalau saja Saka ajak Liura ke kondangam pernikahan, Liura bisa menjumpai banyak tisu warna-warni yang suka berjejer di meja prasmanan. Setelah menunggu agak lama, pesanan mereka pun tiba. Liura tampak girang ketika melihat pecel lele itu mendarat di atas meja. Maklum, Liura dusun baru pertama kali makan pecel lele. "Lo bisa makannya?" Saka nanya. "Lo ngeremehin?" "Bukan, barangkali lo gak bisa makan pake tangan. Lo kan biasanya makan pake sendok sama garpu kayak orang kaya kebanyakan." Liura berdecak. "Bisa kok." "Eh, bentar." Saka tiba-tiba menghentikan Liura bikin cewek itu gagal menyuapkan makanan itu ke mulutnya. "Lo harus pisahin dulu durinya biar gak kemakan. Sini gue yang pisahin." Saka mengambil piring Liura. Lalu cowok itu mulai memisahkan daging dari durinya agar Liura bisa makan dengan aman. Takut kalau Liura salah makan dan berakhir dia tersedak duri ikan lele. "Nih, udah." Kata Saka sambil mengembalikan piring itu ke Liura. Tapi ternyata Liura tertegun. Cewek itu terdiam, Saka jadi mengernyit. "Kenapa? Ada yang salah?" Liura menggeleng pelan lalu perlahan menatap Saka dengan teduh. "Baru kali ini ada orang yang seperhatian itu sama gue. Baru kali ini juga gue ngerasa dipeduliin kayak gini." "Emang lo gak punya pacar atau temen sampe gak ada yang peduli?" Liura terdiam sesaat. "Gue punya pacar, tapi gue gak pernah sekalipun diperhatiin sama dia. Jangankan diperhatiin, ditanya kabar aja jarang." Saka bisa melihat Liura memasang wajah sedih. Suasana makan pecel lele pun mendadak menjadi kaku dan canggung. Apalagi ketika Liura mengatakan kalau dia sudah punya pacar. Seperti ada suara kretek-kretek di dalam hati Saka ketika mengetahui hal itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD