36. Bunga Lili

1755 Words
Dimas tidak menyangka akhirnya dia dibawa ke kantor polisi. Demi apa pun, dia tidak pernah terlibat dengan urusan istrinya yang mencoba menculik Akriel. Bahkan, Dimas baru tahu kalau ternyata Akriel diculik dan terduga terkuat kala itu adalah Renita. Dan entah kenapa Dimas malah ikut terseret ke dalam masalah itu. Dimas dipaksa masuk ke ruang introgasi dan ternyata di sana sudah ada Renita. Dimas sempat mengira kalau hal itu sekadar akal-akalan Renita saja agar dia tidak dihukum sendirian. Renita memang suka membuat seseorang menjadi kambing hitam untuk menutupi kesalahannya. Dimas akhirnya duduk di samping istrinya tersebut. "Kenapa kamu gak nurut buat panggil pengacara waktu aku suruh?" Renita di sampingnya tiba-tiba berbisik. Ternyata benar, Dimas telah dijebak oleh istrinya sendiri. Dimas menatapnya tak percaya. Kenapa Dimas baru menyadari kalau Renita selicik itu? "Mohon maaf telah membuat Anda berada di sini. Tolong dengarkan pernyataan dari seorang anak buah suruhan Anda." "Anak buah?" Dimas mengernyit setelah mendengar perkataan detektif di hadapannya. "Anak buah apa yang Anda maksud? Saya tidak punya anak buah satu pun." "Sebaiknya Anda dengarkan dulu rekaman ini." 'Saya ingin mengatakan hal yang sebenarnya. Saya adalah anak buah yang disuruh oleh Tuan Dimas Haribuana untuk menculik seorang anak laki-laki bernama Akriel Zaphka Mihr. Dia menyuruh saya dengan yang lainnya untuk menyiksa Akriel dan menyekapnya di gudang. Dia juga memperlibatkan istrinya, Nyonya Renita Adinatya, untuk ikut terlibat dalam penculikan Akriel. Setahu saya dia ingin melenyapkan Akriel yang berusaha menjadi saksi di persidangan yang melibatkan anaknya, Sheryl Bianca, dan juga Addara Ghassani. Maka dengan lenyapnya Akriel, Sheryl bisa menang di persidangan itu. Tapi sekarang Akriel berhasil melarikan diri dan saya tidak tahu keberadaannya di mana'. Rekaman suara itu pun selesai. Dimas hanya bisa terdiam di tempatnya sambil kebingungan. "Saya sama sekali tidak menyuruh siapa pun apalagi sampai menyuruh anak buah seperti itu untuk menculik seseorang. Saya sendiri tidak mengenal siapa orang yang barusan berbicara tersebut." Kata Dimas mencoba menyangkal dan membela dirinya sendiri. Detektif itu pun sama kebingungannya. "Kalian berdua dinyatakan tersangka. Kalian akan diintrogasi lebih lanjut." "Kenapa kalian bisa mudah percaya begitu saja? Saya berani bersumpah, saya tidak melakukan apa-apa untuk menculik anak itu." Dimas masih menyangkal. Sementara Renita di sampingnya hanya diam saja sambil melipat kedua lengannya di depan d**a. "Lalu bagaimana bisa ada seseorang yang mengatakan kalau dia disuruh oleh Anda, Tuan Dimas Haribuana?" Detektif itu bertanya. "Apa perkataannya sudah dipastikan benar? Bisa saja yang dikatakannya itu hanya buatan." Kata Dimas lalu pria itu pun mengambil handphonenya. "Anda bisa memeriksa handohone saya apakah saya pernah menghubungi orang itu atau tidak. Tolong percaya dengan saya kalau saya tidak melakukannya." Dimas masih mencoba menyangkal tuduhan dan hal itu membuat Renita mendelik. Di tengah itu, tiba-tiba datang seseorang yang melapor membuat semua orang yang ada di sana menoleh padanya. "Detektif, kami sudah memeriksa lokasi kejadian dan menyelidiki sidik jari dan tidak terdapat sidik jari Tuan Dimas Haribuana di sana." Dimas merasa lega setelah mendengarnya. "Yang kami temukan adalah sidik jari Nyonya Renita Adinatya di selot pintu gudang dan ada satu lagi sidik jari yang tidak dikenali. Dan juga kami menemukan sebuah cincin yang berlumuran darah di lokasi kejadian." Renita yang mendengarnya langsung tersentak. Wanita itu terkejut dan panik. "Segera selidiki siapa pemilik sidik jari itu. Dan untuk Tuan Dimas Haribuana, Anda dinyatakan tidak bersalah. Sementara Nyonya Renita Adinatya Anda ditetapkan sebagai terduga pertama." *** Sheryl berlari sekuat tenaga di sepanjang lorong kantor polisi mencoba menemukan ibunya. Renita terpaksa harus ditahan di sel tahanan dan Sheryl sangat terkejut pasca mendengar kalau ibunya mendekam di penjara sekarang. Cewek itu sudah menangis dari sebelum dia masuk ke kantor polisi. Dia tidak pernah menyangka ibunya akan berakhir di balik jeruji besi seperti ini. Sheryl tidak mau punya ibu seorang narapidana. Setelah beberapa lama, akhirnya Sheryl menemukan di mana sel ibunya. "Sheryl!" Renita berseru dan sedikit kaget ketika mengetahui Sheryl berada di sini. "Mama!" Sheryl menangis semakin kencang usai melihat ibunya benar-benar ada di balik jeruji besi tersebut. "Mama, ayo pulang." Renita yang melihat anaknya tengah menangis histeris tersebut ikut teremat batinnya. Dia tidak tega melihat putri kesayangannya harus menyaksikan dirinya ditahan di penjara. Renita malu. "Tolong bawa anak saya keluar dari sini." Kata Renita pada sang penjaga. Sheryl pun memberontak ketika dia dipaksa untuk keluar dari sana dan tanpa henti memanggil mamanya. Renita memalingkan wajahnya mencoba menjauh dari pandangan Sheryl. Rasanya Renita bersalah telah membuat Sheryl menjadi anak dari seorang penjahat. Renita gagal menjadi seorang ibu yang baik. "Mama!!!" Sheryl histeris. Cewek itu pasrah ketika dia diseret paksa untuk menjauh dari sel tahanan Renita. Akhirnya dengan secara paksaan, Sheryl berhasil dikeluarkan dan dibawa ke luar kantor polisi. Sheryl tidak tahu bagaimana cara untuk membebaskan ibunya dari sana. Dia hanya bisa menangis dan tidak bisa melakukan apa-apa. Lalu saat di pelataran kantor polisi tersebut, tanpa sengaja Sheryl melihat mobil ayah tirinya, Dimas, yang baru saja sampai di sana. Sheryl mematung di tempat ketika melihatnya. Benar saja, tak lama kemudian Dimas pun turun dari sana. Pria itu langsung menghampiri Sheryl dan menggenggam lengannya begitu saja. "Ayo, pulang." Ajak Dimas pada Sheryl. Sheryl tercekat di tempatnya. Dia teringat kalau Dimas adalah ayah kandung Dara. Karena Dara, ibunya jadi dipenjara. Sheryl membenci Dimas. Cewek itu lantas mengibaskan genggaman tangan Dimas pada lenggannya hingga lepas. Sheryl memasang ekspresi sinis nan tajam. Napasnya menggebu karena amarahnya kian tersulut. "Jangan berani nyentuh aku!" Datar Sheryl. Dimas lantas mengernyit. "Gak usah peduli lagi sama anak tirimu ini." Lanjut Sheryl kemudian cewek itu berhasil menyetop taksi dan pergi begitu saja tanpa mengatakan apa pun lagi pada Dimas. *** Herman luar biasa terkejut setelah mendengar kabar kalau Tsania telah meninggal dunia. Rasanya baru kemarin dia menemui Tsania di rumah sakit dan sekarang wanita itu telah pergi untuk selama-lamanya. Saat itu juga, Herman merasa seumur hidupnya tak akan cukup untuk sekadar menyesali apa yang telah ia lakulan pada Tsania di masa lalu. Herman telah mengkhianati Tsania. Herman baru saja sampai di makam Tsania ketika matahari sudah nyaris tenggelam dan hari akan segera berganti malam beberapa menit lagi. Tidak ada siapa-siapa di sana selain dirinya. Dia berjongkok di samping makam Tsania kemudian pria itu meletakkan satu buket bunga lili. Dia teringat dulu Tsania sangat menyukai bunga lili. Saat mereka masih duduk di bangku kuliah dan masih menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, Tsania tak pernah lupa untuk mengunjungi toko bunga yang selalu menjual bunga lili di dekat kampus mereka. Bahkan tak segan Herman selalu diajaknya untuk melihat-lihat bunga lili. "Herman, bisa fotoin aku sama bung lili ini gak?" Tsania terus merengek pada Herman yang memaksanya agar mau memotret dirinya bersama para bunga lili di sana. "Gak mau." Tolak Herman lantas membuat Tsania cemberut. Tsania itu adalah satu-satunya wanita tergalak yang pernah Herman temui seumur hidupnya. Bahkan Tsania bisa lebih galak dibanding ibu Herman sendiri. Kadang, Herman senang melihat Tsania yang marah seperti itu. Atau saat ketika dia bete dan merajuk. "Fotoin!" "Nggak!" "Herman!" "Dalem?" Tsania lantas menyipit dengan sinisnya pada Herman. "Yaudah. Gak usah ngomong sama aku lagi." Benar saja, Tsania ngambek dan rencana Herman pun berhasil. Akhirnya dia telah membuat wanita itu merajuk untuk yang kesekian kalinya sejak mereka bertemu. Mungkin bagi Tsania, Herman adalah musibah karena sering membuatnya marah dan emosi. Herman menarik senyumnya lantas meneteskan air mata begitu saja tanpa ia sadari. Kenangan di masa lalu itu kerap selalu terbayang di benaknya tanpa diperintah. Herman rindu masa-masa itu. Dia rindu saat dia masih bersama Tsania menjalani hari-hari yang indah itu. Hari di mana dia dan Tsania sedang di masa asmaranya dengan perasaan cinta. Namun, semua telah terlambat. Kini semua sudah berlalu. Tidak ada lagi Tsania. Tidak ada lagi hari-hari yang indah itu. Dan tidak ada lagi cinta. Cinta hanya palsu. Dan sejuta kata maaf pun tidak akan mampu untuk menebus semua kesalahan Herman Soetomo pada Tsania Larasati. Dan penyesalan Herman sebesar apa pun sekarang tidak akan pernah ada gunanya lagi. Herman tersenyum pilu melihat nisan di sana. Air matanya tak kunjung reda seperti hujan deras di bulan Januari. Lalu pria itu pun mengusap nisan itu dengan perasaan yang amat menyakitkan. "Tenanglah di Surga sana." *** Kasa dan Kisa baru sampai ke asrama mereka setelah seharian berada di kantor polisi. Rasanya mereka sangat lelah dan ingin segera beristirahat. Keberadaan Akriel belum juga mendapat titik terang. Laki-laki itu masih belum juga ditemukan. Kisa berniat untuk mandi. Namun, pikirannya entah kenapa seperti terus ada yang mengganjal akhir-akhir ini. Dia memikirkan Rangga yang dengan tiba-tiba menghilang begitu saja tanpa kabar sedikit pun. Sama halnya dengan Liura, keduanya sama-sama tidak memberi kabar pada Kisa. Memang sebetulnya Kisa harus sadar diri dan menyadari kenapa Rangga dan Liura bisa dengan tiba-tiba berteman dengannya. Jelas mereka adalah orang-orang yang bergelimang dollar sejak lahir dan bisa-bisanya Kisa malah bergaul dengan Rangga maupun Liura. Pemikiran Kisa terlalu dangkal untuk menyadari hal itu. Apalagi saat Pak Bondan mengatakan kalau kedatangan Rangga ke sini hanya untuk menjadi mata-mata dan mengawasi seseorang. Kisa penasaran dengan tujuan Rangga dan seperti apa pula orang yang tengah diawasi cowok itu. Kisa takut kalau selama ini dia hanya diperdaya oleh orang-orang itu. Cewek itu menghela napas panjang mencoba merelaksasi pikirannya. Akhir-akhir ini dia banyak sekali dihadapkan dengan pemandangan masalah-masalah yang tidak biasa. Mulai dari masalah kakak kelasnya Sheryl dan Dara, lalu sekarang Akriel yang hilang entah ke mana. Mungkinkah dunia sudah berubah? Ada apa dengan dunia dan ketidakwarasan ini? "Kasa." Panggil Kisa pada cewek yang tengah terdiam di depan laptop tersebut dengan nada pelan dan lemah. "Hm?" Respon Kasa. "Menurut lo kangen itu ada hubungannya gak sama cinta?" Tanya Kisa dengan randomnya sampai membuat Kasa yang mendengarnya agak mengernyit. Jarang-jarang Kisa membahas soal cinta-cintaan. Kasa terdiam sesaat sebelum menjawab. "Mungkin." Kasa bisa melihat Kisa agak kacau akhir-akhir ini. Kasa juga sempat tahu kalau Rangga yang digadang-gadang adalah teman sultan Kisa tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Mungkin karena itulah Kisa kelihatan agak murung. Padahal kalau lagi good mood, Kisa bisa lebih aktif dibanding sama balita yang lagi belajar hal-hal baru. "Kenapa lo nanya gitu?" Kasa penasaran. Terlihat Kisa tersenyum pasi. Wajahnya menunduk. "Gue lagi kangen seseorang. Tapi gue tau, gue bukan siapa-siapa di matanya." "Rangga?" Kasa menerka. "Jangan sebut nama dia lagi." Kata Kisa. "Kenapa hidup ini berat ya?" Kasa memutar kedua bola matanya. "Asal lo tau, ini baru permulaan. Kita baru aja 16 tahun dan seiring bertambahnya usia, hidup kita akan jauh lebih berat dari ini." Kisa tertegun. Cewek itu rasanya ingin menangis sekarang. Kali ini bukan tentang Rangga maupun Liura, melainkan ayahnya. Kisa benci traumanya kembali lagi setelah kejadian telepon beberapa waktu lalu. Setiap mengingat ayahnya, Kisa selalu ketakutan. Ini semua karena kejadian di masa lalunya. Kisa menghela napas lagi. "Apa gue nyerah aja ya sama hidup ini?" pelannya kemudian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD