28. Bukan Cinta

1784 Words
Rangga tidak bisa melakukan apa-apa selain terdiam di kamarnya yang terkunci. Puluhan kali dia mencoba mendobraknya namun percuma, dia tak sekuat itu untuk mendobrak pintu sekeras baja tersebut. Belum lagi seisi rumahnya yang dijaga ketat oleh puluhan bahkan mungkin ratusan bodyguard yang melindungi rumahnya. Seluruh alat komunikasinya mulai dari handphone, laptop, komputer bahkan iPadnya sekalipun dirampas oleh papanya. Rangga jadi kesusahan untuk menghubungi Kisa. Mungkin Rangga sendiri yang bodoh telah memberi tahu papanya soal perasaannya pada Kisa. Kalau saja Rangga tidak mengatakan bahwa dia tidak memiliki perasaan apa pun pada gadis biasa itu, papanya tidak akan keberatan membiarkan Rangga menetap di Jakarta. Tapi Rangga benar-benar menyukai Kisa. Dia tidak bisa membohongi perasaannya lagi. Bagaimanapun dia menyukai gadis itu sejak 4 tahun terakhir. Empat tahun lalu, Rangga di Jakarta hanya bersama ibunya di sebuah toko permen. Tanpa sengaja, dia melihat ke luar toko dan ada seorang anak gadis seusianya yang tengah menangis di dekat pohon. Rangga menghampirinya dan menyadari anak gadis itu menangis karena permen lolipopnya terjatuh sampai hancur berkeping-keping dan sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Dengan inisiat baiknya, Rangga rela memberikan permen lolipopnya pada anak gadis itu supaya tidak menangis lagi. Gadis itu akhirnya menerimanya dan berhenti menangis. Rangga ikut senang. Dan tanpa disangka, gadis itu memberikan gelang yang dia pakai pada Rangga sebagai tanda terima kasih. Rangga sempat menolak tapi gadis itu memaksa. Rangga pun menerimanya. Markisa Firaya Begitulah sebaris nama yang tertulis di gelang itu. Rangga menyunggingkan senyum melihat gelang berwarna ungu dan pink disertai nama gadis itu sendiri. Entah bagaimana, Rangga langsung menyukai gadis bernama Markisa Firaya tersebut. Namun sayang, sejak saat itu dia tidak bisa bertemu dengannya lagi. Bahkan Rangga sudah puluhan kali bolak-balik ke tempat itu, namun gadis itu tetap tidak ketemu. Sejak 4 tahun, Rangga terus melakukan background check pada gadis bernama Markisa Firaya. Cukup sulit untuk menemukan identitas dan latar belakang gadis itu. Dan setelah 4 tahun lamanya, Rangga baru bisa mengetahui di mana sekolah gadis itu, siapa orang tuanya, dan di mana rumahnya. Sejak memgetahui hal itu, Rangga memutuskan untuk mengunjungi sekolah Markisa Firaya. Kisa, dialah orang yang Rangga cari selama ini. Dia jugalah yang menjadi cinta pertamanya. Tapi, baru beberapa minggu dia bertemu dengan gadis itu, Rangga dipaksa untuk menjauh. Dunia mereka berbeda. Rangga berasal dari keluarga yang terpandang dari berbagai penjuru negeri. Sedangkan Kisa, mungkin gadis itu hanya orang biasa dari kalangan menengah yang tak akan bisa setara dengan keluarga Rangga. Rangga membenci hal itu. Tok tok tok Rangga yang sedari tadi melamun tiba-tiba disadarkan oleh suara orang mengetuk pintu. Tak lama pintu pun dibuka dan menampilkan mamanya. Rangga mendelik menatap mamanya sendiri. Dia kecewa sudah menuruti perkataan mamanya untuk kembali ke Seoul. Kalau saja dia menolak, dia masih di Jakarta sekarang dan tidak akan dikurung seperti ini. "Rangga." Ucap mamanya pelan sambil mengelus rambutnya lembut. "Satu jam lagi kamu akan kembali ke Amerika." Namun, Rangga malah mengibaskan tangan mamamya membuat wanita itu tercengang dan kaget. "Rangga!" "Aku gak mau!" "Kamu harus ke Amerika. Kamu harus melanjutkan sekolah kamu di Middlesex School." Kata mamanya. "Apa Mama gak denger kalo aku gak mau?" Rangga mendelik lagi. "Kalian berdua sama sekali gak mentingin kebahagiaan aku." "Rangga, Mama sama Papa udah ngelakuin apa pun untuk kamu. Merawat kamu, menyekolahkan kamu di sekolah bergengsi dan memberikan apa pun yang kamu mau. Lalu apa lagi?" Rangga menyunggingkan sebelah bibirnya sambil mendelik menjauhkan pandangan dari mamanya sendiri. "Rangga." Mamanya memegang kedua pundak cowok itu. "Tolong turuti apa pun permintaan kedua orang tua kamu. Kamu berjanji tidak akan mengkhianati kami, kan? Bagaimanapun Mama sama Papa adalah orang tua kandung kamu." Rangga tertegun. Dia tetap tak membalas perkataan mamanya. Cowok itu terus menggerutu di dalam hatinya. Dia ingin marah, tapi tidak bisa. *** "Bagaimana kalau saya menjadi saksi untuk persidangan selanjutnya?" Akriel dengan percaya dirinya berkata begitu. Sementara Pak Bondan malah dibikin cengo sesaat. "Kamu yakin?" Tanya Pak Bondan. "Kenapa tidak?" Akriel sebegitu terobsesinya untuk menjadi saksi di persidangan kasus Dara selanjutnya. Sidang itu memang sempat ditunda beberapa waktu lalu dan rencananya akan kembali dibuka setelah penyelidikkan kasus penyuapan saksi yang dilakukan ibunya Sheryl benar atau tidak. Akriel punya semua buktinya. Dia mengetahui kalau Sheryl kerap berbuat jahat pada Dara di beberapa waktu. Contohnya saat Sheryl dan teman-temannya memasang ember berisi air yang membuat Dara basah kuyup waktu lalu. Atau saat Akriel berhasil memergoki Sheryl yang tengah mencoret-coret meja Dara di kelas dengam kata-kata yang tidak pantas. Namun, sayangnya ibunya Sheryl telah mengganti meja itu sehingga berhasil menghilangkan bukti. "Boleh saja. Kalau kamu memang mengetahui kejadian yang sebenarnya kamu bisa menjadi saksi." Ucap Pak Bondan. Akriel senang mendengarnya. "Tapi, bagaimana kamu tahu kalau ibunya Sheryl menyuap Mira waktu itu?" Pak Bondan bertanya. "Sebenarnya, saya tidak melihat ibunya Sheryl dan Mira secara langsung waktu kejadian. Ada seseorang yang meminta saya mengatakan hal itu lalu dia memberikan bukti berupa foto itu pada saya." "Lho, jadi itu benar penyuapan atau tidak?" Pak Bondan tercekat. "Siapa yang ngasih tahu kamu soal itu?" "Saya tidak bisa memberi tahu siapa dia. Saya sudah berjanji." Pak Bondan keheranan. "Memangnya, Bapak belum menyelidiki soal kasus suap itu?" Pak Bondan geleng-geleng kepala sambil melepas kacamata beningnya. "Saya udah mengintrogasi setiap saksi yang hadir waktu itu. Tapi, mereka kompak menjawab mereka tidak disuap." Akriel berdecak. "Tentu saja mereka mengatakan hal yang sama. Mereka sudah terpengaruh dengan uang suap." "Baiklah kalau begitu, saya dan guru yang lain akan berusaha menyelediki lebih lanjut soal kasus ini." Akriel menyunggingkan senyum. "Ngomong-ngomong, apa saya boleh bertanya lagi?" Pak Bondan mengernyit. "Bertanya apa?" "Ini tentang laki-laki bernama Karan. Apa Bapak tahu siapa dia?" Pak Bondan berusaha mengingat-ingat. Maklum, usianya sudah kepala 5 jadi dia agak kesusahan buat mengingat sesuatu yang sudah lama. "Karan? Maksud kamu anak yang meninggal sekitar 8 bulan lalu?" Akriel mengangguk. "Iya. Apa semua orang percaya kalau dia meninggal karena kecelakaan kereta?" Pak Bondan lantas mengernyit. "Kamu ini bicara apa, Akriel? Kenapa kamu nanyain orang yang udah meninggal?" "Saya ingin tahu yang sebenernya." Pak Bondan mengernyit lagi. "Hal yang sebenarnya? Memang apa?" "Karan meninggal bukan karena kecelakaan kereta api. Melainkan, dia meninggal karena pembunuhan yang direncanakan." Pak Bondan tak habis pikir. Dia setengah percaya dengan perkataan anak muridnya tersebut. Bagaimana Akriel bisa berpikiran seperti itu? Jelas-jelas, Akriel belum lama tinggal di sekolah ini. Dan dari mana dia bisa tahu masa lalu dari sekolah itu? *** Tidak ada Dara. Akriel sudah tidak bisa melihat Dara lagi di sekolah. Terakhir dia melihat cewek itu di persidangan beberapa hari lalu. Dan sampai sekarang, Dara tak kunjung kelihatan lagi batang hidungnya. Karena tidak ada Dara, Akriel jadi harus membersihkan taman itu sendirian. Dia menata pot, mencabuti rumput liar dan menyirami tanaman sendirian. Melelahkan memang. Biasanya Dara yang akan melakukan semua itu, sementara Akriel lebih banyak diamnya dibanding membantu Dara mengerjakannya. Akriel mencoba mengeluarkan air dari selang. Tapi, dia tidak tahu bagaimana cara melakukannya. Cowok itu mulai garuk-garuk kepala. Dia kebingungan. Namun, tiba-tiba saja lengan putih kurus menyapa penglihatannya tatkala dia menarik tuas dan air pun berhasil keluar. Itu Dara. Akriel sempat tercekat ketika tahu-tahu Dara ada di sana meskipun cewek itu tidak mengenakan seragam sekolah seperti biasanya. Dara mengambil selang itu dari tangan Akriel tanpa permisi dan langsung menyiram tanaman-tanaman itu. Akriel masih tertegun, tak percaya kalau gadis yang ada di hadapannya adalah Dara. "Dara." Pelan Akriel sampai siapa pun tak bisa mendengarnya kecuali dirinya sendiri. Dara menoleh keheranan melihat Akriel yang berdiri mematung. "Lo mau gue siram pake air?" Akriel langsung mengerjap ketika Dara sudah ancang-ancang mau menyiramnya pakai air dari selang. "Tidak." "Terus kenapa lo diem terus? Kayak manusia patung aja." Akriel sedikit tersenyum. "Kenapa kamu di sini?" Dara mengernyitkan kening. "Lo mau ngusir gue karena dateng ke sekolah?" Akriel menggeleng. "Tidak. Bukan begitu. Soalnya sejak kemarin lusa saya tidak melihat kamu. Dan saya terkejut melihat kamu di sini sekarang." Dara ber-oh kecil. "Kenapa kamu tidak memakai seragam?" Akriel bertanya. Namun, Dara cukup lama untuk menjawab. Selama beberapa detik, cewek itu tertegun. "Kamu akan tetap sekolah di sini, kan?" Akriel bertanya lagi. Dara menoleh. "Pasti." Entah kenapa, atmosfer diantara mereka kian berubah. Agak canggung setelah Akriel melontarkan pertanyaan itu. Seperti ada yang salah dengan pertanyaan tersebut. "Saya sudah berbicara pada kepala sekolah. Saya sudah menyerahkan semua bukti bahwa kamu tidak bersalah. Mulai dari waktu Sheryl menaruh ember berisi air di atas pintu dengan sengaja, atau Sheryl yang mencoret-coret meja kamu dengan kata-kata tidak pantas sampai Sheryl dan orang tuanya yang merekayasa kejadian itu. Saya sudah memberi tahu Pak Bondan tentang semuanya." Ujar Akriel. Entah kenapa, Dara yang mendengarnya matanya mulai berkaca-kaca tanpa diperintah. Dia tidak menyangka Akriel senekat itu orangnya. Dara tidak pernah mengharapkan Akriel akan bertindak sejauh ini. "Kenapa lo ngelakuin itu?" "Karena saya ingin melakukannya." "Nggak! Jangan bertindak lagi. Cukup sampe di situ." "Saya sudah melakukannya. Saya tahu kejadian yang sebenarnya dan saya tidak bisa diam saja. Saya akan menjadi saksi di persidangan selanjutnya dan mengatakan hal yang sebenarnya." Akriel lagi-lagi membuat Dara tertegun. Gadis itu tak bisa berkata-kata. Bukan karena kebaikan Akriel telah melakukan hal itu untuk Dara, tapi jika Akriel terus nekat melakukannya dia akan celaka karena berurusan dengan keluarga Sheryl apalagi ibunya. "Gua minta lo berhenti ngelakuin itu. Gue gak mau lo terus terlibat sama masalah gue." "Saya tidak bisa." Kata Akriel. "Maaf, tapi saya juga ingin tahu tentang laki-laki bernama Karan. Saya ingin tahu tentang dia dan kematiannya." "Akriel!" Dara membentak dan Akriel berhasil tercekat karena suara Dara yang lantang. Kedua mata gadis itu semakin berkaca-kaca san air matanya nyaris bercucuran. Rasanya napas Dara semakin sesak. Setiap mendengar kata Karan, Dara selalu merasa tak karuan. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi dari sana. Dia pergi dari sekolah itu dan tanpa dia sangka Akriel justru mengejarnya. "Dara!" Akriel terus memanggilnya dari arah belakang. Tapi Dara terus berjalan di sepanjang trotoar jalan tanpa memedulikan laki-laki itu sama sekali. Gadis itu sambil menangis. Tangisnya kian deras ketika di otaknya muncul nama Karan berkali-kali. Akriel berhenti mengejar Dara. Dia sadar kalau gadis itu tengah menangis. Maka dari itu, Dara pasti butuh waktu untuk menyendiri. Akriel tidak tahu kalau menyebut nama Karan begitu sensitif bagi Dara. Akriel jadi sadar, kalau dia perlu berhati-hati dengan ucapannya. Akriel memutuskan kembali ke sekolah. Namun, tiba-tiba ada mobil hitam yang berhenti tepat di depannya. Tak lama, ada sekitar 4 orang yang turun dari mobil tersebut. Mereka mengenakan setelan jas rapi dengan kaca mata hitam. Akriel tercekat ketika masing-masing dari mereka membawa lonjoran besi. Akriel benar-benar was-was ketika dia mulai dikepung dan dalam beberapa detik laki-laki itu bisa merasakan lonjoran besi yang menghantam punggungnya dengan kuat sampai membuat Akriel sempoyongan seketika. Lama kelamaan, pandangannya pun kabur disertai rasa sakit yang semakin menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia hanya bisa melihat segerombolan orang itu kembali masuk ke mobilnya dan segera pergi. Akriel semakin tak berdaya dan perlahan penglihatannya mulai gelap. BRUK Akriel tersungkur ke jalanan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD