22. Mimpi

1764 Words
"Semua yang kita lakukan adalah fana. Kita sama sekali tidak abadi. Datangnya kita hanya sementara. Kelak kita semua akan kembali kepada-Nya." Akriel menatap damai wanita di sampingnya. Baju putihnya yang basah karena tersapu ombak pantai serta rambutnya yang berantakan karena tertiup angin seolah memberi kesan ketenangan. "Bunda." Wanita itu pun menoleh. "Apakah cinta juga fana?" Wanita yang Akriel sebut sebagai bunda itu menarik kedua sudut bibirnya sampai menghasilkan senyum semanis madu. "Kita memang fana. Tapi asal kamu tahu bahwa cinta sejati itu tidak pernah mati. Cinta dan perasaan kita abadi." "Bunda, kalau boleh aku ingin cinta Bunda kepadaku itu abadi." Wanita itu tersenyum lagi. "Sampai jantung berhenti berdetak, sampai matahari berhenti terbit, sampai waktu berhenti berhitung dan sampai dunia berhenti berjalan, cintaku selalu menyertaimu, Nak. Cinta untukmu dariku tidak akan pernah fana dan akan terus abadi, menyala di lubuk hatimu." Wanita itu kemudian membawa Akriel ke dalam dekapannya, memeluk putra pertamanya tersebut penuh sarat akan kerinduan. Akriel pun rindu berat pada bundanya. Bunda yang sudah tidak bisa dia temui lagi. "AKRIEL!!!" Kalau bisa, mungkin seluruh tulangnya sudah rontok dari tubuhnya sampai laki-laki itu tak sanggup berdiri lagi. Pandangannya pun mulai kabur dan semakin tak jelas ketika tubuhnya menghantam sisi tebing. Yang bisa ia dengar hanyalah teriakan Eremiel, adiknya, yang samar-samar terdengar dari kejauhan. Akriel bahkan tak bisa menggerakan sayapnya sedikit pun, jangankan sayap, menggerakkan jari telunjuknya saja laki-laki itu amat pasrah. Bahkan ketika tubuhnya semakin jatuh ke dalam jurang, yang laki-laki itu lihat adalah wajah bundanya. Namun, semakin membayangkan wanita itu, semakin Akriel terjatuh ke dalam jurang yang dalam. Akriel mati rasa. Mungkinkah ini waktu yang tepat untuk bertemu bunda? "AKRIEL!!!" Grep Akriel bisa merasakan genggaman tangan Dariel berhasil mencengkeram penuh pergelangan tangannya. Sontak tubuh Akriel pun berhenti jatuh dari jurang. Dariel kembali membawa kakaknya tersebut ke atas tebing. Di sana sudah terlihat Bariel, Castiel dan Eremiel yang khawatir setengah mati. Ternyata ia belum diizinkan untuk bertemu bundanya. Akriel masih hidup setelah sebelumnya hampir mati karena serangan dari Alodra membuatnya menghantam tebing yang tinggi sampai dirinya jatuh ke jurang. Akriel bisa merasakan Castiel kini menggenggam telapak tangannya, gadis itu menangis karena ia betulan dibuat khawatir dengan kondisi Akriel. Akriel bahkan tak bisa mengucapkan sepatah kata pun dari mulutnya, pandangannya semakin kabur dan lama-lama menggelap. Ia mulai kehilangan kesadaran. Pendengarannya pun semakin tidak jelas. Saat itu, Castiel sekuat tenaga meneriakkan nama kakaknya namun Akriel tak mendengar apa-apa. "Akriel!!!" Akriel terbangun. Namun, bukan di Flat. Dia di Bumi. Napasnya sesak serta keringat mengucur di seluruh badannya. Tanpa dia sadari, setetes air mata membasahi pipinya sejak beberapa waktu lalu. Dan entah kenapa ia menangis. Dan ternyata ia baru saja bermimpi. Mimpi tentang bundanya dan keempat adiknya, Bariel, Castiel, Dariel dan Eremiel. Mimpi yang terasa amat begitu nyata sampai Akriel sendiri kebingungan apa benar dirinya baru saja bermimpi atau itu adalah kejadian nyata? "Kenapa lo bangun?" Akriel sempat terperanjat namun ternyata itu Saka yang bersuara. Cowok itu lagi duduk di meja belajarnya sambil ditemani minuman kaleng dingin dan beberapa makanan ringan di malam hari. Biasalah, Saka kalau perutnya sudah keroncongan, mau itu tengah malam atau waktu subuh, dia tidak bisa untuk tidak makan. Nanti tidurnya jadi tidak nyenyak kalau perutnya dalam keadaan kosong. "Lo abis mimpi?" Entah kenapa Saka malah bertanya lebih lanjut, padahal sejujurnya dia tidak peduli amat dengan apa yang dimimpikan Akriel. Hanya saja karena pertanyaan yang bercokol di ujung bibirnya itu seolah meminta untuk dilontarkan. "Sepertinya begitu, tapi apa yang baru saja saya mimpikan adalah kejadian yang pernah saya alami di masa lalu. Itu seperti kilas balik." "Mimpi apa?" Akriel tampak menghela napas sesaat. "Bunda dan keempat adik saya." *** Keesokan harinya, Akriel sedikit tidak bisa menjalani kesehariannya dengan tenang. Karena mimpinya semalam, laki-laki itu jadi sering gelisah dan cemas. Di kelasnya, tidak ada lagi Dara. Akriel bahkan kesulitan untuk bertemu dengan gadis itu karena Dara diketahui sudah tidak tinggal di asrama sekolah lagi. Dibanding murid lain yang dominan aktif, Akriel di kelas cuma jadi anak kuper dan anti sosial tapi bukan berarti dia culun. Hanya Dara orang yang bisa Akriel ajak bicara, selain itu tidak ada lagi di luar Saka, Kasa dan Kisa. Baru saja masuk ke dalam kelas, Akriel berhasil dihadang oleh seorang anak perempuan yang merupakan teman sekelasnya. Sebut saja namanya Fany. Akriel tidak tahu kenapa Fany tiba-tiba menghadangnya, namun gadis itu kemudian mengatakan, "Bisa kita ngobrol sebentar?" Akriel mengernyit. Laki-laki itu tidak terlalu kenal dengan Fany, tapi ketika cewek itu bilang mau mengobrol dengannya Akriel pun tentu tidak bisa menolak. Meskipun entah apa yang akan dikatakan gadis itu, Akriel sendiri tidak tahu. Akriel menurut saja ketika dia diminta untuk mengobrol di tempat yang agak sepi. "Kamu mau mengatakan apa?" Tanya Akriel. "Gue gak tau apa hubungan lo sama Dara, tapi kayaknya lo orang yang paling deket sama dia sekarang." Fany merogoh sakunya lalu menunjukkan sebuah foto pada Akriel. "Lo liat foto ini, kan? Dia Mira, dia disuap sama ibunya Sheryl buat jadi saksi palsu atas kasus antara Dara dan Sheryl sendiri. Dan gue dapet foto ini secara gak sengaja saat gue berjalan di lorong dan kebetulan gue liat ada Mira sama ibunya Sheryl yang kedapatan lagi ngasih duit suap." Akriel semakin mengernyit terkejut. "Lalu?" "Kesimpulannya Sheryl bikin kasus palsu buat ngehancurin Dara. Lo tau kan Dara lagi terancam diboikot dari semua sekolah?" Fany menghela napas kasar. "Beberapa hari lalu ibunya Sheryl menyuap semua orang yang ada di kelas waktu kejadian Sheryl dan Dara dan nyuruh mereka buat mengatakan fakta palsu kalau Sheryl adalah korban dari Dara. Padahal kenyataannya sebaliknya, Dara dijebak. Gue salah satu orang yang hampir disuap tapi gue menolak. Gue cuma bilang sama ibunya Sheryl kalau gue gak bakal bilang apa-apa dan gak bakal ikut campur. Gue gak terima uang suapnya. Tapi lama-lama gue gak tahan, ini sama aja kayak kejahatan. Gue kasihan sama Dara." "Tapi, kenapa Sheryl melakukan itu? Sebenarnya apa yang terjadi antara Dara dan Sheryl?" "Sheryl dan Dara berselisih sejak dulu. Delapan bulan lalu pernah kejadian hal yang sama. Saat itu pengumuman peringkat pertama untuk siswa kelas 11 dan Dara yang mendapat posisi nomor 1 sedangkan Sheryl di nomor 2. Karena Sheryl juga ingin di posisi 1, dia atas bantuan kedua orang tuanya sendiri mencoba mencelakai Dara tapi naas bukan Dara yang celaka melainkan orang lain yang ingin mencoba melindungi Dara." "Siapa?" "Dia seorang laki-laki, namanya Karan. Karan meninggal karena mencoba melindungi Dara waktu itu." Karan 'Cukup hanya Karan. Gue gak mau kehilangan lo, Akriel.' Otak Akriel rasanya berputar ketika mendengar kata Karan. Seperti deja vu namun dia buru-buru ingat tentang perkataan Dara waktu lalu. Jadi, dialah orangnya, Karan. "Karan? Meninggal?" "Dia meninggal karena pembunuhan dan kedua orang tua Sheryl sempat jadi tersangka pembunuhannya. Tapi mereka bebas dari tuduhan itu karena membuat alibi dengan memalsukan kematiannya dan bilang kalau Karan meninggal karena tertabrak kereta." Fany berujar. "Semenjak semua orang tau kejadian itu, semua orang menjauhi Dara dan menganggap kalau bergaul dengannya bisa mendatangkan kesialan." Lanjut Fany kemudian. "Dan gue gak nyangka perselisihan antara Dara dan Sheryl terjadi lagi sekarang. Maka dari itu gue ngasih tau lo karena lo adalah orang yang deket sama Dara. Gue yakin lo bisa bantuin Dara dan ngebebasin dia dari jebakan Sheryl. Lo bisa gunain foto Mira sebagai buktinya." Fany lagi-lagi menunjukkan foto yang dimaksudnya pada Akriel. Dengan ragu Akriel mengambil foto itu dari tangan Fany. "Sebelumnya saya harus mengetahui lebih jauh tentang Karan." "Gue gak terlalu tau banyak soal Karan. Gue cuma tau itu aja. Dan satu lagi, tolong lo jangan kasih tau ke siapa-siapa kalau gue yang ngasih tau lo soal foto itu." Akriel mengangguk paham. "Saya mengerti. Tapi, apa kamu tahu siapa orang yang bisa saya tanyai dan mengetahui lebih banyak soal Karan?" "Mungkin jawabannya Dara sendiri. Tapi, seinget gue Karan juga punya adik." "Adik?" Akriel mengernyit penasaran. "Iya, Karan punya adik dan mungkin adiknya juga tau soal kematian kakaknya. Tapi, gue juga kurang tau dia siapa dan keberadaannya di mana." Akriel menghela napas. "Baiklah. Terima kasih sudah mengatakan hal itu pada saya." Ucap Akriel kemudian. *** "Jadi gue harus gimana?" Kisa menenggelamkan kepalanya diantara dua bantal di kasurnya. Cewek itu frustasi sekarang. Itu lho pasal pesta ulang tahun Liura. Dia jadi kepikiran buat gak jadi datang. Tapi kalau Liura sakit hati gimana? Wah, Kisa pusing. Tapi sepertinya Kasa yang lebih pusing. Melihat Kisa yang terus merengek kayak habis diputusin si bebeb bikin Kasa kepingin minum jus baygon sekarang juga. Sudah sekitar 2 jam Kisa merengek begitu. "Salah siapa lu bilang iya waktu itu." Kasa menoleh lalu setelah mengatakan itu dia kembali lagi pada aktivitasnya di depan meja belajar, biasalah kalau lagi mode rajin biasanya Kasa memilih mengerjakan PR. Tapi kalau mode malasnya kumat, ya PR terpaksa ditelantarkan lalu berujung gelagapan minta contekan ke orang lain agar PR-nya bisa disetorkan. "Lo gak ngerti sih nolak orang kaya tuh gimana akibatnya. Kalo gue sekelas Nagita Slavina sih gue gak segan buat nolak terus gue tinggal bilang alasannya sibuk ngitung sahamlah atau sibuk beli rumahlah. Tapi kan kenyataannya gue cuma rakyat jelata, Kasa. Gue harus nyari alasan apa yang masuk akal buat gak hadir di pesta itu." Kisa ber-cang-cing-cong lagi. "Ya emang kenapa lo gak mau amat datang ke pesta itu?" "Gue gak mau pake dress sama sepatu selop lagi, Kasalira! Yakali gue ngasih alasan gitu ke Liura. Gue lebih milih dipaksa makan Indomie 10 bungkus pake cabe level 10 daripada harus pergi ke pesta pake sendal selop yang bikin kaki gue sengsara." "Ye kalo itu mah gue juga mau." Kasa mendelik. "Bilang aja alasan lo tuh sakit." "Sakit apaan?" "Sakit orang miskin. Bilang aja lu meriang kek, demam kek, atau pilek." "Buset, itu sakitnya orang miskin?" "Jangan rasis lu ya." "Heh, lu yang mulai ya." Kasa mendelik lagi. Cewek itu menutup buku PR-nya meskipun tugasnya belum 100% selesai. Kebetulan mode malasnya sudah mulai ada tanda-tanda bangkit, jadi dia memutuskan buat menyudahinya saja. Dia baru ingat kalau mereka habis pesan makanan lewat gofood. Kayaknya sudah sampai, Kasa berniat buat mengambilnya. "Heh lu mau ke mana?" Tanya Kisa ketika melihat Kasa membuka pintu, sudah pasti cewek itu akan keluar. "Tamasya ke Afrika Selatan." Kisa berdecih dan Kasa akhirnya keluar dari sana. Saat berjalan di lorong dia berpapasan dengan seseorang yang sudah jelas itu adalah Akriel. Mereka hanya bertukar pandang. Akriel pun tampak tak menggubris Kasa sama seklai. Laki-laki itu fokus saja berjalan sesuai tujuannya. Dan tanpa sengaja Kasa melihat sesuatu yang dipegang Akriel di tangannya. Seperti sebuah polaroid yang entah apa gambarnya. Kasa penasaran tapi dari ujung sana si mamang gofood keburu datang dan terpaksa Kasa harus menjemput pesanannya. Namun entah kenapa Kasa merasa kalau belakangan ini Akriel tampak berubah, berbeda dengan Akriel yang dia temui pertama kali tepat di kamar asramanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD