57. Nasi Goreng dan Es Teh

1322 Words
Selama hidupnya, Rangga memang termasuk anak yang beruntung terlahir dari keluarga yang bergelimang harta. Dia tidak pernah kekurangan dalam segi materi. Apa pun yang dia butuhkan akan segera terpenuhi dengan uang yang dia miliki. Seolah dia sudah ditakdirkan menjadi seseorang yang punya mesin pengabul harapan. Yah, meskipun tidak semua yang dia inginkan bisa terwujud. Terkadang ada yang paling sulit ia dapatkan dan belum terwujud hingga sekarang adalah sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan uang. Kisa contohnya. Rangga tidak bisa mendapatkan hati cewek itu sekalipun harus menukarnya dengan uang yang luar biasa banyaknya. Tetap saja, Rangga tidak bisa mendapatkan Kisa hanya dengan uang saja. Perasaan itu adalah sesuatu yang tidak bisa dibeli secara materi. Rangga lelah pulang pergi untuk singgah di 3 kota yang berbeda negara, Massachusetts, Jakarta dan sekarang Seoul. Rangga capek rasanya harus bolak-balik ke sana kemari. Jadi, dia memilih untuk kembali singgah ke Seoul sebelum kembali ke Massachusetts, Amerika. Rangga kini berada di kamarnya. Di sana gelap karena cowok itu sengaja menutup jendela dan mematikan lampu. Hanya ada sedikit intensitas cahaya yang masuk ke dalam ruangan itu dari celah pintu serta dari sinar monitor laptopnya yang menyala. Rangga tengah menghapus banyak data di sana. Yang mana itu adalah data-data tentang gadis bernama Markisa Firaya. Bertahun-tahun yang lalu, Rangga sering melakukan background check tentang identitas Kisa mulai dari tanggal lahir, alamat, nama orang tua, sampai nama tetangga dan ketua RT-nya pun dia lacak. Tapi, itu semua sudah tidak penting lagi. Rangga tidak membutuhkan data-data itu lagi karena dia rasa dia sudah selesai dengan perasaannya. Meskipun terlalu berat untuk melupakan, Rangga harus terpaksa menghilangkan jejak Kisa dalam pikirannya karena cewek itu sendiri yang menyuruhnya untuk pergi dari kehidupannya. Cklek Rangga menoleh ke arah pintu yang baru saja dibuka oleh seseorang. Tak lama, mamanya masuk ke dalam kamar sambil menyalakan saklar lampu. Wanita itu menghampiri putranya sembari membawakannya sedikit camilan. "Kenapa kamu tutup gordennya? Kan jadi gelap." Ucap mamanya sedikit memarahi Rangga dengan lembut. Rangga menyeringai sedikit. "Aku gak suka ada banyak cahaya yang masuk ke mataku." "Cahaya layar laptop malah lebih bahaya, lho. Kamu gak boleh main laptop di tempat yang gelap." Mamanya menasehati. "Iya, Mama. Maaf." Mamanya geleng-geleng kepala kemudian meletakkan camilan yang ia bawa sedari tadi ke atas meja di dekat Rangga. "Kamu lagi ngapain?" Mamanya bertanya. Rangga langsung tersentak dan dengan segera menutup layar laptopnya tersebut sampai tidak memberi kesempatan pada mamanya untuk melihat sedikit pun. Mamanya sampai mengernyit keheranan. "Lho, kenapa? Mama mau lihat." "Itu bukan apa-apa, Ma." "Ya udah kalo gitu. Oh iya, kamu mau makan apa buat nanti? Biar Mama masakin sekalian." Tawar mamanya. "Aku gak mau makan." "Lho, kenapa? Kamu bisa sakit kalo gak makan. Mama mau masakin makanan kesukaan kamu apa pun itu. Cepet, kamu mau makan apa?" Rangga diam saja. Dia sangat tidak selera untuk makan apa pun. Tapi, di sisi lain dia juga tidak ingin membuat mamanya kecewa. "Nasi goreng. Mama bisa bikinin aku nasi goreng, kan?" Mamanya tersenyum manis. "Iya, Sayang. Mama bakal bikinin kamu nasi goreng. Terus, kamu mau apa lagi selain nasi goreng?" "Es teh." Mamanya nyaris terjengkang ketika Rangga meminta es teh kepadanya. Bukan apa-apa, melainkan dia cukup kaget karena tidak seperti biasanya Rangga mau makan dan minum dengan menu sesederhana itu. Dan tanpa disadari, menu makanan yang Rangga minta itu sebagai cara lain bagi Rangga untuk mengenang Kisa yang suka makan nasi goreng dan es teh di kantin. Sejenak, Rangga merasa ada sesuatu yang baru saja menyenggol dadanya. Dia sudah berekspektasi kalau dia tidak akan pernah bisa melepaskan Kisa dari pikirannya sampai kapan pun. Rangga merasa khawatir pada dirinya sendiri terlebih dia yang ingin melupakan Kisa, justru dia malah mengenang dengan hal yang berhubungan dengan cewek itu. Tentu hal itu malah akan menyulitkannya. *** Kehidupan Rangga dan Liura tak jauh berbeda. Mereka lahir dari keluarga yang kaya raya. Kedua orang tuanya sama-sama orang berpengaruh di negaranya sekaligus orang-orang terpandang. Mungkin, semua orang menganggap Liura maupun Rangga orang yang beruntung karena terlahir sebagai sultan. Tapi sejujurnya, keduanya sama-sama tertekan. Apalagi Rangga yang merasa kalau hidupnya seperti robot yang serba dikendalikan dengan remot. Begitu pun dengan Liura yang hidupnya seolah sudah diatur dalam sebuah buku yang mengatur gerak-gerik hidupnya. Mereka selalu dipaksa untuk sempurna tanpa melakukan kesalahan apa pun. Liura tengah menuangkan teh dari poci kecil berwarna pink ke dalam gelas untuk ayahnya. Mereka tengah melakukan piknik kecil-kecilan di depan halaman rumah mereka. Ayah dan anak itu tengah menikmati waktu santai mereka hanya berdua. Liura kembali duduk berhadapan dengan ayahnya. Cewek itu senyum-senyum sambil memperhatikan ayahnya yang sedang meneguk teh. Ayahnya sampai kebingungan kenapa putrinya tersenyum random saat melihatnya. "Kamu kenapa senyum-senyum gitu liatin Ayah?" Liura malah makin tersenyum dengan manisnya bak seorang malaikat. "Aku mau minta satu permintaan, boleh gak?" Sudah tertebak di balik kenapa Liura bisa selembut itu pada ayahnya, pasti ada sesuatu yang tengah diinginkannya. "Kebiasaan, kalo kamu merayu pake senyuman begitu, pasti ada maunya. Emangnya kamu mau apa, hah?" Liura mencoba mendekatkan wajahnya sampai sedikit lebih dekat dengan ayahnya. "Aku mau Ayah sekarang gak usah ngekang aku lagi. Aku masih bisa ngejalanin hidup dengan aturan yang Ayah buat, tapi kalau perintah itu terlalu berat bagi aku, Ayah gak boleh memaksa aku buat melakukannya. Kalau aku keberatan dengan aturan itu, itu semua ada di tangan aku. Cuma aku yang bisa memutuskan untuk menjalankan perintah Ayah itu atau nggak. Aku gak mau kejadian yang sama terulang lagi. Ayah setuju, kan?" Namun, ayahnya justru terdiam tak berkutik. Pria itu hanya memasang senyum pasi. "Mungkin Ayah juga tau apa yang aku maksud. Awalnya, Ayah berusaha menjodohkan aku dengan Rangga. Dan karena hidup aku sama Rangga yang sama-sama dikekang aturan dan gak bisa ngebantah, akhirnya kami terpaksa ngejalanin apa yang Ayah dan Om Lee suruh. Kalian gak pernah peduli gimana gak sukanya aku sama Rangga saat pertama kali. Tapi, karena aku gak bisa membantah aturan, terpaksa aku dan Rangga mencoba mendekatkan diri satu sama lain meskipun dengan setengah hati." "Liura, kenapa kamu membahas ini lagi?" "Karena hal ini gak pernah kita bahas secara serius. Ayah selalu menganggap hal ini sepele padahal kenyataannya ini masalah yang cukup besar. Dengan memaksa aku untuk menyukai seorang laki-laki secara sepihak." Liura menatap ayahnya dengan sedih. "Dan meskipun dengan seiring berjalannya waktu, aku sama Rangga semakin dekat. Tapi, apa hasilnya? Hanya perasaan aku yang bergerak maju, sedangkan Rangga nggak sama sekali. Dan ketika Rangga bilang kalo perempuan yang dicintainya itu bukan aku, aku merasa kecewa dan menyesal. Apa Ayah bisa mengembalikan semuanya? Semuanya udah terlanjur. Ayah membuat aku jatuh cinta sama Rangga secara sepihak dan apa Ayah gak tau seberapa menyakitkannya itu?" "Liura, dengerin Ayah. Ayah sangat minta maaf. Ayah sama sekali gak pernah menyangka hal ini akan terjadi seperti ini. Ini semua di luar ekspektasi." "Maka dari itu," Liura menyela perkataan ayahnya dengan nada suaranya yang sedikit meninggi. "Maka dari itu, Ayah, jangan paksa aku melakukan hal yang gak aku suka sama sekali. Aku masih terlalu muda untuk mengenal apa itu cinta. Perjalananku masih panjang untuk sampai di sana. Aku ingin mengejar karir dan cita-citaku terlebih dahulu. Mulai sekarang, aku ingin melakukan apa yang aku sukai. Dan untuk urusan cintaku di masa depan, itu terserah aku. Ayah harusnya percaya kalau yang terbaik itu ada di tangan aku sendiri." Ayahnya terdiam dengan perasaan penuh bersalah. Harusnya dia juga sadar di usia Liura yang begitu belia, dia tidak perlu mengiakan ajakan Lee Soo-man untuk menjodohkan kedua anak mereka. Liura maupun Rangga punya kehidupan yang tak kalah berbeda. Mereka sama-sama dipaksa dewasa di usia yang masih muda. Ayahnya membawa Liura ke dalam dekapannya. Dia memeluk putrinya dengan penuh kasihan sambil menciumi pucuk kepalanya. "Sekali lagi, Ayah minta maaf, Nak. Kamu selama ini merasa terbebani dan Ayah gak pernah peduliin kamu sama sekali. Kamu benar kalo pilihan yang terbaik itu ada di tangan kamu sendiri. Maka dari itu, Ayah mengizinkan kamu untuk hidup sesuka kamu mulai sekarang. Ayah gak akan mengekang kamu lagi." Liura tersenyum gembira di balik dekapan ayahnya. Dia pun membalas pelukan ayahnya lebih erat lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD