49. Menyerah

1728 Words
"Tolong, datang sebentar saja. Kamu hanya perlu meluangkan sedikit waktu untuk mengunjungi Kisa di stasiun. Hal kecil seperti itu akan sangat berharga bagi Kisa." Istrinya terus mengomel di depannya sampai membuat Jo pusing seketika. Pria itu memijit pelipisnya sambil sesekali berdecak. Lalu, Jo menatap istrinya, Mariana. "Aku udah bilang kan kalo aku lagi sibuk sama tugas aku di sini. Aku gak punya waktu saru menit pun apalagi buat datang ke stasiun." Mariana menghela napasnya. Hari ini adalah hari kedatangan Kisa ke Yogyakarta. Namun, Jo yang merupakan suaminya serta ayah dari Kisa tak mau menyempatkan waktunya untuk menemui anaknya sendiri dan malah fokus pada pekerjaannya. Padahal, Mariana sudah mencoba membujuk suaminya untuk ikut bersamanya ke stasiun. Tapi, apa boleh buat karena siapa pun tahu hati pria itu memang sekeras batu. "Harusnya aku sadar dari dulu, kamu memang tidak akan pernah punya waktu untuk anak kamu sendiri." Ucapan istrinya tersebut membuat Jo menoleh lalu pria itu membisu seketika. "Kamu masih tidak menyukai Kisa. Ayah macam apa kamu ini. Laki-laki atau pun perempuan, Kisa tetap anak kamu sendiri. Apa kamu gak sadar kalo kamu udah merusak mental Kisa bahkan hatinya sekalipun? Harusnya kamu mikir kalo terus menganggap anak kamu sendiri kayak makhluk ghaib." Lanjut Mariana dan Jo benar-benar tercekat di tempatnya. Ke mana saja Jo selama ini sampai tega tidak menganggap anaknya sendir? Hanya karena dia anak perempuan, Jo sampai bersikap berlebihan seperti itu untuk tidak menyukai Kisa selama 16 tahun lebih. Dari sana, Jo harusnya sadar kalau kedewasaan itu tidak dilihat dari tingginya angka usia. Jo sama sekali tidak dewasa. 'Kamu adalah anak Ayah,' bisik Jo dalam benaknya sambil menciumi pucuk kepala Kisa yang kini dalam dekapannya. Sebuah pelukan yang baru pertama kali dia berikan pada anaknya, Kisa. Melihat pemandangan kala itu, Mariana merasa hatinya ikut tersentah. Sungguh pemandangan yang sangat langka di mana suaminya dan anaknya bisa berpelukan penuh kasih sayang seperti itu. Baru pertama kali juga Mariana melihatnya selama hidupnya. "Ayah akhirnya mengunjungi aku?" Kisa sambil menoleh dan menatap ayahnya penuh haru. Jo mengangguk tegas. "Tapi, Bunda bilang, Ayah sibuk." Jo tersenyum lebar. "Bunda kamu bohong mungkin. Buktinya Ayah ada di sini sekarang buat nemuin kamu." Kisa luar biasa bahagia sekarang. Tidak sia-sia dia pulang dari Jakarta ke Yogyakarta dan akhirnya dia bisa merasakan kasih sayang ayahnya untuk pertama kali. "Ayah gak terpaksa kan buat datang ke sini cuma buat jemput aku doang?" "Kenapa Ayah harus terpaksa? Semua Ayah rela lakuin demi kamu, Sayang," ucap Jo kemudian. Jo melepas pelukan putrinya tersebut. Lalu, hal yang pria itu lakukan selanjutnya hampir membuat Kisa maupun Mariana tercengang. "Hormat, Komandan! Anda diperintahkan untuk segera pulang ke rumah!" Jo tiba-tiba hormat dengan tegas pada Kisa seolah cewek itu adalah komandannya. Hal itu pun sontak membuat Kisa terkekeh melihat kelakuan ayahnya tersebut. Lalu, Kisa balas hormat pada ayahnya. "Siap, laksanakan!" Jo ikut terkekeh, pria itu lantas merangkul pundak Kisa serta istrinya tersebut untuk dibawa pulang. Benar kata Mariana, hal kecil yang dia lakukan untuk datang menjemput Kisa di sini sejujurnya akan membuat Kisa sangat bahagia. Andai Jo dari lama menyadarinya mungkin dia akan dari dulu memberi kasih sayang yang lebih pada Kisa. *** Dara dan Akriel tengah sengaja berjalan-jalan mengitari kota Jakarta. Hanya mereka berdua. Bukan untuk merayakan hal khusus atau tujuan tertentu, mereka hanya ingin menyegarkan pikiran saja. Iya, itu adalah ide Dara sampai dia mengajak Akriel untuk menemaninya jalan-jalan di hari Minggu. Awalnya, Akriel enggan dan terus menolak karena dia tidak terbiasa berjalan berduaan takut orang-orang akan mengira mereka tengah berpacaran. Tapi, Dara terlalu memaksa sampai tidak mengizinkan Akriel untuk menolaknya. "Sampe sekarang, gue belum tau asal-usul lo gimana. Lo gak pernah ceritain keluarga lo atau rumah dan tempat tinggal lo." Kata Dara membuat Akriel menoleh seketika. "Saya beri tahu pun kamu bukannya tidak peduli, kan? Kamu yang selalu bilang jangan mengatakan apa pun pada kamu tentang apa yang tidak penting buat kamu. Mungkin menceritakan asal-usul, keluarga, atau rumah saya pun sama sekali tidak penting buat kamu." Jawab Akriel dan Dara langsung bete seketika. Memang sih dari dulu Dara selalu mencetuskan prinsip, 'I do my own bussiness, you do your own bussines,' di dalam hidupnya. Dara selalu tidak peduli dengan masalah orang lain dan untuk sekadar tahu pun, Dara sebegitu masa bodohnya. Tapi, entah kenapa pertanyaannya yang menanyakan latar belakang Akriel seolah meminta untuk dilontarkan dari mulutnya. Dara sendiri tidak tahu kenapa. Dara menghela napas dengan betenya. "Kalo gue nanya itu artinya gue emang pengen tau. Tapi, kalo lo gak mau ngasih tau latar belakang lo yang masih abu-abu menurut gue ya gak pa-pa. Gue juga gak maksa lagian." Melihat Dara yang terlihat kesal begitu, Akriel menyunggingkan sedikit senyumnya. "Mungkin lain kali saja saya akan menceritakannya." Dara berdecak. "Iya deh, terserah lo aja." Setelah berbincang-bincang selama di perjalanan, tak terasa mereka akhirnya sampai di taman kota. Terakhir, Dara mengunjungi tempat ini satu tahun lalu. Dara begitu rindu tempat itu dan setelah sekian lama akhirnya dia bisa mengunjunginya lagi. Meskipun suasananya rasanya berbeda dari dulu kala, tapi Dara seolah begitu menikmati suasana di sana. Akriel yang melihatnya saja begitu teduh melihat Dara yang sekarang. Dia tidak seperti Dara yang pertama kali dia temui dengan banyak beban dan begitu misterius. Dara sangat berbeda. Mungkin karena dia sudah benar-benar kehilangan beban dan lepas dari perundungan Sheryl. Maka dari itu, Dara merasa lebih bebas sekarang. "Akhirnya gue bisa ke sini lagi." Kata Dara sambil sesekali menghirup udara segar di sana. "Ini baru pertama kalinya juga saya ke sini," balas Akriel. "Sekali lo ke sini, lo pasti gak bakal bisa lupain momen lo selama di sini. Lo bakal terus mengingatnya dalam otak lo." "Oh, iya?" Dara mengangguk dengan tegas sampai kepalanya nyaris copot. "Gue jamin. Sampe sepuluh tahun ke depan lo gak bakal lupain kejadian di sini. Apa yang lo lakuin, lo gak bakal lupa." "Mari kita buktikan." Kata Akriel. "Tapi, mau mulai dari mana? Apa saya harus melakukan sesuatu supaya saya bisa terus mengingatnya sampai sepuluh tahun ke depan?" "Terserah lo mau lakuin apa pun di sini." Akriel sedikit mengernyitkan dahi. "Apa pun?" Dara mengangguk pelan. Lalu, cewek itu dibuat tercekat oleh Akriel yang tiba-tiba berjongkok di depannya. "Apa yang lo lakuin?" Dara mulai panik. Akriel tak menjawab, cowok itu malah mencoba untuk membetulkan tali sepatu Dara yang terlepas. Dara tercekat di tempatnya ketika Akriel mulai mengikat tali sepatunya. Akriel berdiri lagi lalu menatap Dara yang masih geming. "Kenapa? Saya melakukan hal yang benar, kan? Saya tidak akan melupakan ketika saya mengikat tali sepatu kamu sepuluh tahun ke depan." Kata Akriel namun Dara masih tertegun di depannya. Cewek itu membuat Akriel kebingungan karena tiba-tiba diam dan membisu. "Kamu kenapa?" Tanya Akriel. "Kenapa harus gue yang gak bakal lo lupain sepuluh tahun ke depan?" Tanya Dara dengan nada datar dan pelan namun tatapannya begitu dalam pada Akriel. ** Sheryl berjalan di sepanjang trotoar jalan dengan tudung hoodie yang menutupi seluruh kepalanya. Cewek itu juga sadar kalau dirinya jadi pusat perhatian semua orang yang dijumpainya di sepanjang jalan. Bahkan tak segan dari mereka yang berbisik dan menggunjingi Sheryl terang-terangan di sana. Namun, Sheryl sama sekali tak menghiraukannya. Cewek itu tetap berjalan ke tempat yang ingin ditujunya. Sheryl tentu belum terbiasa dengan kehidupan barunya menjadi seseorang yang dijauhi bahkan dikucilkan oleh banyak orang. Lama kelamaan, cewek itu mungkin bisa depresi karenanya. Sampailah Sheryl di sebuah mini-market. Cewek itu langsung masuk ke dalam dan tentu saja semua orang yang ada di sana menatap Sheryl dengan aneh. Sheryl tetap menghiraukannya dan langsung pergi menuju rak snack di ujung sana. "Dia bukannya anak dari Si Pembunuh itu, ya?" "Pembunuh siapa?" "Kalo gak salah sih anak dari Renita Adinatya." Sheryl dapat mendengar dengan jelas orang-orang di dekatnya tengah membicarakannya. Sesekali mereka melayangkan tatapan menjijikkan ke arah Sheryl. Seolah cewek itu adalah sampah kotor yang harus dijauhi. Sheryl menghela napas panjang. Cewek itu mencoba untuk tetap tidak peduli. Dia lalu berjalan ke arah kasir setelah mengambil snack yang ingin dia beli. "Apa-apaan ini? Saya tidak bisa membeli barang di toko yang sama dengan seorang anak penjahat." Kata seseorang di samping Sheryl yang tengah menyindirnya. "Benar, saya juga tidak mau. Lebih baik saya pergi." Sahut seseorang di sampingnya lagi. Akhirnya kedua orang itu keluar dari toko. "Apa urusannya sama gue?" Gumam Sheryl sambil berdecak kesal. "Kenapa kamu ke sini?!" Kini, kasir di depannya baru saja membentak Sheryl dengan lantang. "Kamu membuat pelanggan lain pergi karena kehadiran kamu." "Lalu kenapa gue yang disalahin? Salah mereka sendiri yang rewel dan ganjen!" Sheryl balas membentak sang kasir tersebut. "Sekarang kamu cepat pergi dari sini! Sebelum pelanggan yang lain juga akan pergi karena kehadiran kamu di sini!" Sang kasir itu memaksa Sheryl yang memberontak untuk keluar dari tokonya. Terpaksa dia harus menyeret Sheryl dan mengeluarkannya secara paksa dari sana. Sheryl terjerembab ke tanah setelah dia berhasil dikeluarkan dengan tidak sopan. Napas Sheryl menggebu. Dia sangat emosi menatap pintu mini-market yang baru saja ditutup oleh kasir tersebut. Sheryl mencoba berdiri. Baru pertama kali dia diperlakukan seperti itu oleh orang lain. Dia sangat muak dengan kasir yang tidak sopan itu. Sheryl hendak pergi ke tempat lain. Namun, tiba-tiba ada beberapa orang yang membawa microphone dan kamera tak jauh dari tempat Sheryl berdiri. Sepertinya mereka wartawan. Mereka menatap Sheryl. "Bukankah kamu anaknya Renita Adinatya?" Ucap seorang wanita yang memegang mic di tangannya sambil meneliti Sheryl. "Itu benar dia. Nyalakan kameranya! Dia benar-benar anaknya Renita Adinatya." Sheryl tercekat ketika orang-orang itu malah mendekati Sheryl dan mencoba meliputnya. Sheryl panik dan terkejut saat itu. "Kamu anaknya Renita Adinatya, kan? Bagaimana kehidupan sehari-hari kamu setelah ibu kamu dipenjara?" Wanita itu terus menodongkan mic-nya ke arah Sheryl. Sheryl mencoba untuk menjauh namun orang-orang itu tak mau menyingkir dari hadapannya. Mereka terus memaksa Sheryl untuk mengatakan sesuatu untuk dijadikan bahan media pemberitaan mereka. "Minggir, saya harus pergi!" Bentak Sheryl dan mencoba untuk pergi dari sana. Sheryl berlari sekuat tenaga setelah berhasil menjauh dari kerumunan orang-orang itu. Namun, mereka terus mengejar Sheryl dan tak mau berhenti. Sheryl terus berlari sejauh mungkin dari mereka sampai pada akhirnya Sheryl berhasil lepas dari kejaran para wartawan itu. Sheryl bersembunyi di balik tembok sebuah rumah. Sheryl kelelahan, napasnya sampai terengah-engah. Sheryl meluruhkan dirinya sendiri. Dia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Cewek itu kini tengah menangis. Dia tidak menyangka hidupnya akan semakin berat hari demi hari sebagai anak dari seorang pembunuh. Sheryl tidak kuat kalau harus menjalani kehidupan seperti ini setiap hari. Sheryl tidak sanggup hidup sendirian. "Mama, aku ingin menyerah." Lirih Sheryl dengan nada sangat pelan sambil menangis tanpa suara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD