Sinar kemerahan yang menyala sudah sepenuhnya mengecil dan bisa dikendalikan. Mia menambahkan satu kayu kering hanya untuk mempertahankannya tetap hidup sampai kembali dibutuhkan. Kembali membuatnya terang sangat memakan waktu dan Mia tidak akan membiarkannya padam secara percuma.
"Liana, bisa ambilkan aku sesuatu di sebelah sana?" saat dirinya berbalik Arata si pengembara duduk dengan kepala menyandar pada daun pintu yang terbuka. Sedangkan Liana sedang bergurau, bermain bersama salah satu pasien yang berusia lebih muda darinya. "Dia sedang sibuk."
"Kau butuh apa?"
Mata mereka bertemu dan Mia lekas menggeleng. "Tidak."
"Kau juga berlatih ilmu yang sama dan bela diri," gemerisik dari ujung kimono Arata mengusik perhatian Mia yang canggung. "Mengapa tidak meneruskannya?"
"Aku menyukai pekerjaan ini sekarang," balasnya singkat berjalan mundur setelah mencuci tangan. "Menjadi tabib lebih memberi banyak hal baik dari pada menjadi seorang pendekar."
"Kau mengetahui dasarnya, kan?" tanya Arata datar dan sebelah alisnya terangkat naik. "Liana juga sedang berlatih penuh. Gadis itu bisa menjadi pejuang yang hebat nanti."
"Dia yang akan meneruskan mimpiku."
Mia terburu menambahkan sebelum pria itu salah paham. "Kau tahu, sebagai seorang perempuan yang sewaktu bisa menjadi sasaran kapan saja. Aku memintanya berlatih dan bisa melindungi diri sendiri. Dunia berubah setiap harinya dan tidak melulu harus berpihak pada kita. Aku hanya berharap dia bertahan."
Kepala Mia tertunduk dan melihat ujung sarung benda milik Arata terlihat gelap dan penuh rahasia. "Kau juga seorang ahli, benar?"
"Ini katana," balasnya. "Aku belajar menggunakannya sudah lama sekali. Sama sepertimu, ini untuk berjaga melindungi diri."
Liana mendekat dan menatap keduanya bergantian, lalu berjalan turun untuk menuangkan air dari guci dan memberikannya pada gadis kecil itu. Dia kehausan yang membuat Liana mengambilkan minum.
Mia berpaling untuk melihat pemandangan hangat di depannya dalam diam. Sudut bibirnya tertarik naik, mengamati Liana yang tampak bebas berbicara dan sama sekali tidak merasa takut atau kurang percaya diri.
"Aku akan kembali malam ini," ucap Arata setelah dirasa melamun terlalu lama menatap gadis itu. "Asakusa tempat yang menarik. Lain kali aku akan mampir mengunjungi kota kecil ini lagi jika ada kesempatan."
"Apa alasanmu mengembara?"
"Mencari jawaban," jawab Arata asal dengan dengusan kecil. "Aku hanya menyukai setiap perjalanan. Rasanya membosankan karena tidak memiliki pekerjaan tetap. Aku dan dirimu berbeda, kau dibutuhkan sementara aku tidak."
"Kau tidak memiliki rumah? Maksudku, tempat tinggal tetap."
Arata terdiam sesaat sebelum menggeleng. "Aku bahkan tidak ingat di mana tepatnya aku dilahirkan."
"Kau manusia yang bebas," ucap Mia dengan senyum kecil. "Asakusa jarang didatangi manusia sepertimu dari kota lain. Kota ini tidak punya akses besar seperti wilayah lain. Tetapi penduduk mencintai desa ini sepenuh hati."
Arata bangun setelah mengucapkan terima kasih dan kembali ke kamarnya sendiri. Membiarkan Mia kembali seorang diri, melamun menatap sosoknya yang perlahan menjauh.
"Kenapa dia pergi? Apa dia baru saja berpamitan padamu?"
"Dia harus kembali," sela Mia menjawab pertanyaan Liana yang penasaran mendengarkannya bercerita. "Dia bukan penduduk asli Asakusa dan tidak bisa menetap lebih lama."
"Dari mana asalnya?"
Gadis itu menggeleng acuh. "Dia tidak memiliki rumah dan kurasa keluarga pun sama."
"Sangat misterius."
Liana kembali bangkit, memeriksa pasien lain dan duduk mengobrol dengan para gadis sembari menemani mereka menepis kebosanan suntuk.
***
"Kau serius tidak memberinya kamar untuk tidur?"
"Dia siapa?" Mia menatap Liana dengan ringisan. "Aku memberinya ruang, selimut dan futon semalam. Dia bilang ingin pergi kembali mengembara ke tujuan berbeda."
"Guru berkata kalau dia selalu berjalan tanpa arah."
Gerakan memasukkan campuran daun herbal terhenti kala menatap mata cokelat Liana yang serius. "Paman bicara begitu padamu?"
"Mereka berdua tampak serius sejak tadi," balas Liana dengan alis naik turun. "Aku penasaran dan tidak bisa mengintip. Mungkin saja guru melihatnya sebagai mantan pejuang hebat yang memilih pensiun muda."
"Dia punya katana," kata Mia datar dan kembali sibuk dengan obat herbalnya.
Gadis kecil itu beranjak, menatap saung yang sepi setelah para pasien pulang untuk memilih pulih di rumah tanpa lagi harus menginap.
"Aku punya kayu dan ketapel karena belum mahir memegang benda yang serupa seperti milik guru." Liana menoleh kepada Mia yang tertunduk. "Kalau kau punya uang lebih banyak, berikan saja padanya. Ongkos kapal penumpang tidak sedikit."
"Kemari," panggil Mia singkat.
Gadis itu mendekat dengan senyum manis. "Kau mau apa?"
"Masukkan semua sisanya sampai warna itu berubah."
"Apa kau bilang?" gadis itu tampak syok dan tak tahu harus berbuat apa.
Liana melihat Mia berlari, melesat setelah mengambil sesuatu dari dalam kamarnya, segera memakai sandal dan membuka gerbang begitu saja. Tatapan gadis itu terus mengamati sampai sang guru hadir, terlihat kebingungan.
"Mengapa Mia berlari sekencang itu?"
"Dia melewatkan sesuatu yang sesuai," timpal Liana dengan geli. "Arata berpamitan pergi dan Mia lupa memberitahunya hal penting."
"Apa Mia memintanya tetap di sini?"
Kening itu berkerut gundah. "Aku rasa tidak. Arata tidak mau tinggal di kota yang sama lagi?"
Guru Saito hanya mengangkat bahu. Memberikan tatapan ramah sekaligus rahasianya pada Liana yang menganga terkejut.
"Halo, kau yang di sana."
"Hei, tunggu dulu. Aku belum selesai."
"Kau," Mia berlari dan melihat langkah pria itu semakin jauh. "Seseorang yang berpakaian serba hitam. Tolong, jangan berjalan terlalu cepat."
Arata menahan langkahnya untuk berhenti. Melihat tabib muda itu tengah mengejarnya, dia lekas memeriksa barang pribadi dan tidak ada satu pun yang terlewat, semua sudah aman di dalam tas.
"Apa kau menemukan sesuatu di kamar yang kutempati?"
Gadis itu menggeleng dengan kesiap panjang. Menyadari jarak mereka terlalu dekat, Mia mengambil langkah mundur dengan cengiran. "Aku tidak tahu, oh maksudnya tidak ada. Kamar itu bersih seperti sedia kala."
"Oh," Arata nampak lega.
"Pamanku bilang kau berkeliling tanpa tahu tujuan sebenarnya," kemudian mengulurkan lengan dan menyematkan sesuatu pada tangan Arata yang terbuka. "Ini sebagai bentuk terima kasihku. Jangan berpikir aneh soal apa pun."
"Koin emas?"
Mia terlihat gelisah. "Ongkos kapal cukup besar dan naik. Kau tidak bisa pergi dari Asakusa selain menumpangi kapal penyeberang."
"Tetapi aku memilikinya di sini," kata Arata setelah tersadar.
"Aku mau kau menerimanya," gadis itu menyahut setelah membungkuk. "Kau sudah banyak membantu kami kemarin. Aku juga merasa bersyukur atas nama gelangnya. Itu tidak begitu banyak, tetapi kuharap cukup."
"Tuan Saito yang memintamu melakukannya?" tanya Arata datar.
"Bukan, tapi Liana." Mia melihat manik gelap pria itu melirik koin dan dirinya saling bergantian. "Kau harus menyimpannya. Semoga perjalananmu menyenangkan."
Belum sempat Mia berbalik, sesuatu kembali terdengar lebih keras selayaknya gemuruh pada mendung. Sebuah kejadian baru saja terjadi, berhasil membuat satu rakit yang tidak membawa penumpang atau pemilik mendadak terhempas. Murni kosong tanpa ada yang tersisa lagi.
Semua orang kembali histeris dan panik. Intensitas suara yang sedang membuat permukaan air bergelombang dan riaknya tampak kacau. Mia secara spontan menunduk, berusaha melindungi diri dan bersiap kembali ke rumah.
Lalu ketika kedua matanya membuka, bayangan tinggi dan tegap menghalangi pandangan. Mia tercenung, menyadari Arata menghadang dari efek tersebut yang membuat bagian rakit lepas dan tersisihkan ke segala penjuru arah.
"Liana pasti menunggu di rumah. Tidak mungkin dia tak mendengarnya."
Mia tentunya tidak akan berpikir dua kali untuk lekas mencari aman.
***
Liana menghampirinya saat Mia melihat pamannya, Saito yang nampak tenang duduk sembari menjaga Liana sendirian tanpa ekspresi.
"Apa yang terjadi di sana, Mia? Mengapa suaranya membuatku gemetar?"
"Salah satunya mendadak dan begitu cepat," katanya terbata dan Mia menutup pintu, meraih tangan gadis kecil itu untuk ikut menghela napas. "Kau tidak bisa berjalan sembarangan mulai saat ini. Ke mana pun pergi, kau harus mendapat izinku. Aku harus tahu semuanya."
Alis Liana tertaut satu sama lain. Mata bundarnya yang lugu memandang Mia dan pada guru Saito yang diam. "Kau mencemaskanku terlalu berlebihan."
"Usiamu baru sepuluh tahun, Liana. Berhentilah menyela kalimatku."
Mia berlutut di depan gadis itu dengan raut sepucat kertas. Saito menatap keduanya dengan senyum tipis, menenangkan Liana dan Mia bergantian dengan santun.
"Liana tidak akan keluar kemana pun, Mia. Dia belum hebat dan ilmunya tidak selihai itu," ucap Saito menepuk bahu keduanya. "Aku tidak berniat membiarkan Liana maju di barisan paling depan."
Gadis kecil itu mencicit pelan, memandang Mia dengan pandangan dalam dan sang tabib baru bisa mengembuskan napas lega. Berjalan menaiki saung, mencoba istirahat dengan gelengan lemah.
"Kau bertemu Arata tadi?"
"Aku langsung melarikan diri setelah mendengarnya," balas Mia. "Kuharap tidak ada yang mendapat penanganan serius."
"Itu semua itu hanya gertakan, semacam peringatan tersembunyi."
Saito mendengus kecil, memejamkan mata dengan raut lelah saat Mia dan Liana menatapnya penuh tanya. Terutama gadis kecil itu, sangat bersemangat mendengarkan ceritanya. Tak peduli kekacauan apa yang mungkin terjadi lagi di masa mendatang.
"Ya, karena Asakusa menampung banyak pejuang hebat yang mendapat penolakan dari tim khusus milik pemerintah. Barisan pasukan mereka bukan kelas sembarangan, semua berbakat dan luar biasa."
"Mereka menginginkan pembersihan nama?"
Saito menarik napas singkat. "Jika boleh kusebutkan, itu lebih dari bayanganmu. Kebanyakan dari mereka terjun ke dalam organisasi sebaliknya dan secara jelas berniat berbuat lain dengan pasukan terbaru. Mereka menginginkan kebebasan, tetapi tidak dengan cara mengecewakan seperti ini."
"Kenapa mereka harus sejauh itu melakukannya?"
"Karena pejuang tak bisa dikendalikan. Kebanyakan dari mereka adalah bebas dan memegang prinsip luhur yang kuat. Keyakinan itu tidak mudah goyah," papar Saito menjelaskan.
"Apa ini alasan guru memilih pensiun setelah tahu?"
"Kau benar," mata Saito melirik Mia yang melamun. Gadis manis itu menekuk kedua tangannya ke dalam jaket, menunduk dengan kedua mata terpejam. "Aku sempat mengabdi pada sebuah keluarga hebat yaitu bangsawan. Mereka tidak pernah memintaku menyentuh orang lain, terutama bagian yang tidak memiliki alat melindungi diri dan lemah. Keluarga populer itu sangat baik."
"Ke mana perginya mereka?" tanya Liana antusias, terdengar polos yang semangat.
Saito mengernyitkan alis, memandang Liana dengan senyum sebelum mengusap ringan rambut pendeknya. "Mereka telah kembali ke surga, tempat seharusnya. Dan aku melanjutkan pengabdianku dengan menjadi guru. Aku mungkin sudah melupakan rasanya berdiri di paling awal dan menang atas nama luhur dan prinsip dari budaya setempat. Keyakinanku sedikit goyah sebenarnya."
Mia menoleh, melihat senyum tipis sang paman tampak berbeda. Pria paruh baya itu terbatuk lemah, meminta Liana mengambilkan herbal dan air minum hangat untuknya. Lalu meninggalkan dirinya bersama Mia hanya berdua saja.
"Apa aku terdengar sengaja membuka luka lamamu, Mia?"
Gadis itu berdiri dengan gelengan tipis. "Tidak. Aku sama sekali tak mempersalahkan hal itu. Semua sudah lama terjadi dan aku mencoba bertahan."
***
"Mia."
Para penduduk mungkin mulai terbiasa dengan aturan yang menginginkan sebagian dari mereka tidak lagi ada di dunia ini. Terutama mantan pendekar yang kabur ke Asakusa setelah mimpi buruk karena mereka berupaya menolak sikap sang pemimpin dan meminta kebebasan sebagai individu tunggal.
Malam ini, rakyat Asakusa merayakan hari bulan dengan menyantap semangkuk sup panas yang berukuran cukup dalam sebuah restoran. Hanya satu restoran yang terkenal di Asakusa, memiliki lima pekerja cantik yang sempat bekerja sebagai pembuat obat pada zaman keterbalikan.
"Paman?"
Saito menorehkan senyum tipis untuk Mia. "Aku yang mentraktir kalian makan di sini. Ayo, lega rasanya karena melihat penduduk mulai bangun dan bersemangat membela keutuhan wilayahnya sendiri. Asakusa memang tempat terbaik dan sempurna."
Liana memamerkan kekehan senang.
"Apa mereka tidak takut dengan suara itu? Karena sebagian penduduk Asakusa serupa denganmu sebelum lepas, mereka menganggap itu hanya berisi kata kosong. Wah, luar biasa sekali."
Mia menatap Liana dan Saito bergantian sebelum mengambil napas pendek, menggeleng singkat. "Ini belum seberapa. Aku hanya gelisah jika aturannya berlanjut ke ranah yang lebih jauh dari sekadar urusan pelik sebelumnya."
"Kalau kami terluka, akan selalu ada tabib cantik yang siap mengobati."
Sebuah suara disusul sahutan serta siulan lain membuat Mia mendengus. Tatapan hangat Liana melirik, melihat kebanyakan dari para pria tidak tahu diri sedang mencicipi santapan makan malam mereka yang secara jelas tertarik kepada Mia. Beberapa dari pria itu juga memberikan pandangan berminat dan tidak pernah ditanggapi.
"Tangannya ternyata diberkati."
Saito menggeleng masam. Merasakan kuah tahu dan isian saat memiringkan kepala pada Liana, meminta Mia untuk fokus pada lauk makan malam dari sekumpulan pria di sebelah sana.
Liana memegang mangkuk dan sumpit untuk Mia. Gadis kecil itu menoleh dan masih mendengarkan mereka meracau tentang Mia, tabib muda yang masih sendirian serta belum menikah. Dia tidak pernah terlihat bersama pemuda mana pun selama ini.
"Asakusa juga memiliki duri dalam selimut," kata salah satunya dan Mia berdeham. "Kenapa sesama pejuang harus saling membelakangi satu sama lain? Apakah itu terdengar pantas dan keren?"
"Aku mendengar ada pengembara asing yang baru mampir ke Asakusa. Dia selalu muncul saat kekacauan berlangsung. Pertama, saat pesta kepala desa dan kedua yaitu rakit. Sebagian bicara jika dia saat ini sedang bersama sang tabib."
Semua orang kembali menatap ke arah Mia dengan wajah penasaran. "Apa itu benar?"
Saito melihat semua orang dengan helaan napas berat dan panjang. Walau penduduk Asakusa ramah dan memiliki kelebihan lain, tapi beberapa lainnya malah bersikap sama. Contohnya adalah malam ini. Mereka tidak merasa segan menyudutkan Mia secara langsung hanya karena gadis itu terbuka terhadap siapa pun.
"Dia hanya seorang manusia biasa."
"Pengembara tidak memiliki alat itu, kau tahu?" salah satunya mencemooh Mia dengan sengaja. "Dia seorang yang terlatih ilmu. Apa dia utusan dari pemerintah pusat untuk kami di Asakusa?"
Liana terburu menelan sisa nasi dan tahunya. Gadis itu berusaha berdiri dan Mia mengulurkan tangan, menahan tubuhnya untuk tetap tenang dan santai.
"Aku tidak mau mengulang kalimatku. Dia hanya orang biasa yang kebetulan berada di tempat ini."
Dua orang dari kelompok tersebut ikut menghampiri Mia dengan tatapan aneh yang membuat merinding. Sama sekali tidak melihatnya sebagai perempuan. Saito menurunkan gelas minumnya, menatap datar ke arah mereka dengan penuh perhitungan.
"Kau tidak mungkin melindungi teman yang salah, kan?" tanya salah satunya dengan senyum miring. "Aku percaya denganmu, tabib. Tetapi kalau keberadaan pria itu sangat mengusik kami, ini tidak lagi bisa dibiarkan."
Mia hanya menengadah, sorot matanya mendingin dan kepalanya terangguk. Sesungguhnya dia hanya malas berdebat. Liana memintanya datang untuk makan malam bersama dan bukan meladeni kumpulan pria di seberang meja.
"Tidak ada gunanya orang sepertiku pergi ke Asakusa."
Sebuah suara mengejutkan mereka dengan singkat. Suasana berubah senyap saat Mia berbalik, melihat Arata menghadap tepat dari belakang. Memulai makan malam dengan tenang.
"Kau Arata?" Liana bertanya.
"Kaum mereka akan melakukan cara yang lebih konyol selain mengirim anggota kurang terlatih. Karena itu sangat kuno dan pasukan mereka tidak bisa mengejar sehebat itu. Tidak seperti yang sebelumnya."
"Ah, kebetulan sekali kau di sini ternyata."
Keduanya berpindah untuk menatap Arata yang masih sibuk makan, sama sekali tidak terusik setelah mengucapkan kalimat penuh tanya.
"Di mana asalmu?"
Mia beralih dan melihat mereka menyentuh Arata bergantian untuk berbincang. Bahkan ada yang sengaja berbuat lebih hanya agar pria itu membuka suara.
"Hei, kalian semua mau apa?" suara Mia terdengar dingin.
"Kenapa diam saja? Kau sungguh hanya manusia biasa tanpa pekerjaan dan bukan pejuang yang mendukung kelompok lain?"
Saito mengangkat sebelah alis kala mendapati salah satu mereka membuka sarung kesayangan, berbisik di telinga Arata dengan ujung yang berkilat, seolah telah siap menunaikan tugas.
"Kenapa mereka malah mengeluarkannya?" Liana penasaran dan situasi berubah jauh lebih gelap.
"Nyaris saja."
Arata bangun dan menepis tangan keduanya hingga terhuyung. Meraih benda berikut dengan sarungnya, membuat kedua pria itu sekarang ketakutan.
"Aku hanya berwisata tanpa tujuan. Simpan barang kalian sendiri yang benar. Tidak ada gunanya berkata kepada orang lain dengan julukan kalian terdahulu." Kembali mengembalikan sisanya ke sang pemilik dan mulai berjalan pergi, mentraktir makan malamnya dan mengucapkan maaf karena sudah membuat kegaduhan di dalam restoran.
Liana mendesis memandang kedua pria tak tahu diri itu dipermalukan. Gadis itu berdeham ceria, menatap Saito yang memberi isyarat dengan seulas anggukan tipis.
Sementara Mia berdiri, mencoba untuk mengejar Arata yang perlahan pudar. Langkahnya terhenti saat melihat pria itu melamun melihat rembulan.
"Kau hanya pergi tanpa tujuan dan seolah tersesat," kata Mia setelah mendapatkan keberaniannya di tangan. "Apa kau menginginkan untuk menetap di Asakusa sebentar saja?"
Arata memutar tubuhnya guna memandang gadis itu datar. "Mengapa perlu?"
"Aku bisa memberimu tempat untuk tidur dan beristirahat. Saung sebelumnya tidak lagi terpakai, kau bisa kembali menggunakannya." Mia seolah kehilangan kendali suaranya dan tertatih. "Mungkin para penduduk akan percaya kalau kau bukan orang suruhan dari anggota elit yang sebenarnya menyamar."
Lama jeda terbentang hingga pria itu mendengus dengan sebelah alis naik, balas menatap Mia yang menanti dengan cemas.
"Pastikan saja kau tidak mengunci pagar rumahmu."
Senyum Mia lekas merekah mendapati Arata berjalan berlainan arah dengan keyakinan bahwa ia akan kembali.