Terjebak Part 2

706 Words
Botol-botol alkohol berjejer di meja itu. Busa kapuk bertebaran di mana-mana. Sofa yang letaknya sudah tidak beraturan. Tak ketinggalan bau rokok yang langsung menghujam indra penciuman. Dan di tengah kekacauan itu, seorang pria berbaring di lantai. Terdapat alat hisap, jarum suntik, dan pil-pil haram di dekatnya. Melihat semua hal itu, Kanna rasanya benar-benar ingin berteriak marah. Tetapi perasaannya saat ini tidak penting. Ia harus memastikan keselamatan kakaknya terlebih dahulu. Dengan susah payah, Kanna memindahkan tubuh saudara lelakinya itu dari lantai ke sofa di ruangan tersebut. Selanjutnya, Kanna memeriksa nadi di leher lelaki itu. Aman, walau denyut nadinya terasa lemah. “Dion? Dion? Kamu bisa mendengarku tidak?” tanya Kanna sembari menepuk-nepuk pipi tirus Dion. Tetapi Dion tidak memberikan respons berarti. Kanna memerhatikan tubuh Dion yang tampaknya semakin hari semakin mengurus. Kulitnya memucat. Rambutnya awut-awutan. Bibirnya kini berwarna ungu kehitaman. Lingkar matanya cekung dan menghitam. Air mata yang sedari tadi Kanna tahan akhirnya jatuh juga. Pertahanannya rubuh saat ia melihat bekas-bekas sayatan di lengan bawah Dion. Sembari memegang bekas-bekas sayatan tersebut, Kanna menangis sesenggukan. “Nnngghh…” Kanna segera menghapus air matanya saat ia mendengar erangan Dion. “Dion? Kamu sudah sadar? Kamu haus? Atau mau kubuatkan makan?” Mata Dion hanya terbuka setengah. Ia menatap Kanna sesaat lalu tertawa terbahak-bahak. “Dion?” tanya Kanna khawatir. “KANNAAA~! Penyanyi muda berbakat kita hari inii~! Kau sudah pulang? Berikan aku uang untuk menyambung hidup!” Amarah dan kekecewaan bercampur aduk menjadi satu di benak Kanna saat itu juga. Orang di depannya, satu-satunya anggota keluarganya yang tersisa, kini berantakan karena barang haram. Kanna lelah.    *** Seusai tampil mala mini, Kanna meminta Andre untuk langsung mengantarnya pulang ke kediamannya. Andre tampak sedikit keheranan karena biasanya Kanna akan meminta Andre menemaninya makan untuk mengganti energinya usai tampil di panggung. Kanna berdalih bahwa hari ini ia lelah dan ingin segera tidur. Melihat gelagat Kanna yang terlihat tidak ingin ditanyai lebih lanjut, Andre menurut kemauan Kanna dan langsung pulang. “Andre,” panggil Kanna di perjalanan pulang. “Hm?” sahut Andre tanpa menoleh dari setirnya. “Seingatku jadwalku kosong untuk tiga hari ke depan bukan?” Pertanyaan Kanna tersebut kali ini mau tidak mau membuat Andre menoleh ke arah Kanna. Tidak biasanya. Andre kembali fokus menatap jalanan Ibukota. “Ya. Tidak ada perubahan. Ada apa?” “Bagus. Aku akan pergi mengunjungi keluargaku di Bandung selama tiga hari itu,” ujar Kanna. Andre melirik sekilas ke Kanna dan tidak berkata apa-apa. Setelah bekerja selama hampir empat tahun dengan Kanna, Andre menyadari bahwa topik keluarga adalah topik yang sensitif bagi Kanna. Kanna memang tidak pernah mengatakan hal itu secara langsung, tetapi Andre dapat melihat dari sikap dan tingkah laku Kanna. Perempuan itu tidak pernah berbicara jauh mengenai keluarganya. Hal paling dalam yang pernah didengarnya dari Kanna adalah saat mereka mengitari festival musik tahun lalu, usai Kanna tampil. Saat itu Andre ingin membelikan permen kapas untuk adik perempuannya di rumah. Sembari menunggu jajanan manis itu dibuat, Kanna berkata, “Kakakku seringkali membelikanku permen kapas saat aku kecil. Akibatnya, aku sudah tidak menginginkannya lagi saat beranjak dewasa.” Andre ingat itulah pertama dan terakhir kalinya Kanna menyinggung tentang kakak. Ekspresi wajahnya melembut, seperti merindukan seseorang. “Andre,” “Ya?” “Selamat ulang tahun.” Andre menoleh bingung. “Ulang tahunku sudah lewat.” “Aku tahu.” ujar Kanna.  “Tiba-tiba aku hanya ingin mengucapkannya saja.” sambung Kanna sembari tersenyum misterius. *** “Aku datang.” Semilir angin menyapu wajah Kanna yang berpakaian tertutup dan longgar serta mengenakan topi yang hampir menutupi seluruh wajahnya. Ia berdiri di sebuah rumah yang tampak tak terawat. “Dion, apa kau melihat langit Bandung dipenuhi kembang api kemarin?” bisik Kanna kepada angin. Kepala Kanna tegak, tetapi matanya menunduk. Kedua tangannya terkepal menjadi satu di depan mulutnya. “Aku harap kau juga melihat pemandangan indah itu.” Kanna menarik napas, berusaha menahan tangis yang siap turun kapan saja.     “Selamat ulang tahun, Dion.” Kedua mata Kanna terpejam. Dengan suara lirih ia membubuhkan satu kalimat terakhir untuk kakak tercintanya itu. “Entah di mana dirimu saat ini, aku harap kau…” “… menemukan kebahagiaan yang kau cari.” Sebulir air mata jatuh menyusuri pipi kanan Kanna. “Selamat ulang tahun, Dion.” The End
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD