James 2

3115 Words
"Mencari seseorang?" Tanyaku dengan gugup. "Mack menyuruhku untuk datang kesini." Katanya dengan suara dingin dan tegas. Aku tidak tahu siapa dia dan apa hubungannya dengan ayah tiriku yang sedang berbulan madu di luar sana. "A-apa.. " "Setidaknya ijinkan aku masuk dulu kedalam, udara diluar dingin dan aku butuh makan!" Memang benar udara diluar sana sangat dingin, tapi aku tidak bisa begitu saja membiarkannya masuk kedalam rumahku dengan aku sendirian disini. Seperti tahu dari arti tatapanku yang ragu padanya, dia menjelaskan secara singkat tentangnya yang membuatku terkejut. "Aku James, adik dari Mack yang sekarang jadi ayahmu. Dia menyuruhku untuk tinggal disini sampai dia pulang dari kegiatan bercintanya" Tuhan. Orang ini begitu kotor dan kasar, berbeda sekali dengan Mack yang kelihatan sopan dan lembut. "Tunggu sebentar" Aku dengan cepat menutup pintu cukup keras lalu berlari kearah telepon. Orangtua lengkapku yang baru harus tahu tentangnya jangan sampai dia pura-pura kenal dengan Mack, apalagi Mack belum pernah menyinggung keberadaan adiknya yang menakutkan. "Hei.. Buka pintunya!" Teriaknya dari luar dibarengi dengan gedoran di pintu dan jendela. Sial, dia tidak sabaran sekali. "Aku kedinginan!" Menelepon orang yang sedang berbulan madu sama dengan menunggu balasan surat dari presiden yang entah kapan akan di balas, aku sudah berusaha menelepon ponsel mereka yang jelas terhubung dengan pesan suara. Apa mereka begitu sibuknya bercinta? "Sial.. Buka pintu!" Sekarang gedoran di pintu semakin cepat dan keras. 'Angkatlah.. Kumohon?' "Hallo?" "Mommm.." Rengekku cukup keras, memberi tanda padanya jika aku tidak dalam keadaan menguntungkan. "Sayang, ada apa?" Tanyanya cukup khawatir. Aku bersyukur dia masih ingat denganku saat terdengar suara desahan dari belakangnya. "Apa Mack ada?" Aku berusaha menghilangkan pikiran tentang ketelanjangan mereka saat terdengar suara ibuku yang menyuruhnya berhenti. "Harper, ada apa?" Suara tenang Mack. "Hn.. Ada seseorang diluar sana yang mengaku sebagai adikmu" "Oh, Sial. Aku lupa" Sekarang aku tidak akan terlalu ragu dengan status darah mereka. "Dimana dia sekarang?" "Dia masih diluar" Terdengar helaan napas Mack. "Harper, kau tidak keberatan untuk mengijinkannya tinggal denganmu selama kami disini?" Pintanya. "Setelah aku pulang, dia akan pindah" Aku keberatan sekali Mack. Orang didepan sana tampak seperti berandalan. "Baiklah" Ujarku lemas. "Terima kasih" Setelah mengobrol tidak penting dengan Ibuku yang terdengar h***y, aku berusaha menenangkan diri. Tinggal dengan seorang pria yang tampaknya berusia dua puluh lima tahun dan memiliki Tatto di sekitar kulitnya yang tidak tertutup kain sudah mampu membuatku tidak tenang. Berdoa pada tuhan adalah keputusan yang paling tepat agar aku selalu aman darinya. Duk Duk Duk "Sial, buka pintunya.. Aku bisa mati!" Aku berlari kedepan dan mengatur napas senormal mungkin didepan pintu, dengan perlahan kubuka pintu dan dia berdiri dengan.. Tubuh bergetar dan kulit pucat. Tuhan, aku hampir membunuhnya. "S-sorry.. " Dia melotot padaku. "Kau.. B-bisa masuk" Kenapa aku jadi begini? Gugup hanya dengan menatap kearahnya saja. Ayo dimana keberanianmu selama ini Harper? Dia masuk kedalam dan langsung duduk di sofa favoritku. "Aku lapar" Kata pertama yang di ucapkannya saat kakinya menginjak lantai rumahku. Aku berlari kedapur untuk mencari makanan untuknya, saat membuka lemari es hanya ada beberapa buah dan minuman kaleng. Sial tidak ada makanan untuknya. Sekarang apa yang harus kukatakan padanya? 'Maaf, makanan tidak ada', dan dia bisa membunuhku lalu menggoreng dagingku yang lezat ini. Tidak bisa kubayangkan sama sekali. "Maaf.. Tidak ad-" "Sial!" Umpatnya cukup keras. Aku menyesal berdiri di ujung sofa untuk memberitahunya, harusnya aku kabur saja dari rumah lewat pintu belakang. "Kau punya uang?" Aku mengangguk lemah. "Baiklah" Aku tidak mengerti maksudnya. "Pesan makanan cina saja, aku belum makan dari pagi" Bingo! "O-oke!" Menunggu sambil terus meliriknya adalah kegiatanku selama lima belas menit terakhir, dari yang kulihat, dia memiliki rambut cokelat dan mata biru yang meninggalkan sejuta pertanyaan. Dia duduk cukup tegang di sofa dan warna kulitnya sedikit kembali normal setelah berada di ruangan yang cukup hangat ini. Tidak pucat. "Seharusnya ada pertanyaan" Ujarnya. Aku memang punya banyak pertanyaan untuknya yang sudah berputar diatas kepalaku dari pertama kali dia datang. "Terlalu banyak sampai aku tidak bisa memilah" Tubuhnya sedikit tenang saat mendengar kata-kataku. Apa aku sedang bercanda padanya? "Pilih saja salah satu dari semua pertanyaanmu" Aku harus mulai dari mana? Apa kau benar adik Mack?, Siapa nama lengkapmu? Pekerjaanmu? Dan masih banyak lagi. "Apa kau berbahaya?" Tanyaku spontan. Ini bukan pertanyaan yang ada didaftar otakku. Aku cepat-cepat menutup mulutku untuk melihat reaksinya. "Aku sudah masuk penjara" Gila. "O-oh.. O.. Ke" "Menghajar orang sampai koma" Dia begitu tenang mengatakannya seperti tidak ada penyesalan dalam tindakannya yang begitu mengerikan. "Kau takut?" Aku mengangguk. "Tidak!" Sial. "Gerakanmu tidak sinkron, tapi itu cukup wajar untuk gadis kecil dan manja sepertimu" Seringainya mampu membuatku merinding. Tuhan dia begitu menakutkan. "Hei!" Aku tidak manja dan bukan gadis kecil lagi. "Dan sedikit agressif" Katanya seakan bisa membaca pikiranku yang ingin menendangnya keluar dari rumahku. "Siapa namamu?" "Harper Grace" "Well, Harper Grace.. Kuharap kita menjadi lebih dekat dan intim" Dia tersenyum lagi dengan sorot mata yang aneh. "Maybe" Jawabku acuh tak acuh. Aku merasa tidak harus mengenalnya karena bisa memberiku dampak tidak baik. Dia memiliki sesuatu yang begitu menakutkan. "Berapa umurmu?" "Delapan belas" Dia mengangguk. "Itu cukup" Sambungnya yang membuatku tidak mengerti. Sebelum aku bisa mencari tahu apa maksud dari perkataannya bell rumah berbunyi. "Biarkan aku yang membukanya" Potongnya sambil berdiri meninggalkan rangselnya di lantai. Aku bisa bernapas dengan lega walau cuma untuk sementara sebelum dia kembali. God. Aku tidak bisa membayangkan hidup dengan dia walau cuma sementara. Dia kembali dengan makanan ditangannya, Orang itu makan dilantai dengan lahapnya, apa dia sangat kelaparan sampai hampir mau menghabiskan semua makanan. "Kita bedua disini?" Dia bertanya setelah selesai dengan acara makannya. Aku ingin sekali berbohong tapi aku tidak bisa, "Ya. Untuk sementara, sampai mereka kembali dua minggu lagi." Dia membereskan sampah dari sisa makanannya. Tidak begitu buruk soal kebersihan. "Dimana letak dapurnya?" Aku menunjuk kearah belakang dari tempat dudukku. Lirikanku tidak berhenti dari telepon yang berada di seberangku, rasanya lidahku sudah gatal sekali untuk menceritakan hal aneh ini pada, Rose. Apa tanggapannya saat pria yang tidak 'kukenal' tinggal untuk sementara waktu dirumah ini? Apalagi dia memiliki riwayat kejahatan. Aku harus cepat memberitahu, Rose, untuk mencegah sesuatu yang buruk terjadi padaku. Aku berpindah duduk untuk lebih dekat dengan telepon, sebelum aku mengambil gagang telepon dia sudah kembali dengan apelku yang sudah di gigit setengahnya. Aku tidak suka ini, apalagi mengambil barang milikku tanpa ijin. "Kenapa tidak minta ijin padaku dulu?" Aku sudah berdiri didepannya tanpa takut. Dari dekat aku bisa mencium aroma tubuhnya yang tidak bau seperti dugaanku sebelumnya. Dia kotor dan lusuh tapi tidak buruk. "Untuk apa?" Hembusan napasnya beraroma buah apel kesukaanku. "Apelku," Aku mundur sedikit untuk menghindar dari aroma napasnya. Dia terkekeh. "Apel ini sangat enak, kau mau?" Tangannya menyodorkan apel kesukaanku yang sudah di gigit dengan rapi oleh giginya, hampir setengah buah apel itu telah habis. "T-tidak," Aku semakin mundur darinya untuk mengambil jarak. "Aku harus tidur." Aku cepat berjalan kearah tangga. Kudengar dia tertawa setelah aku melarikan diri. - "Kau tampak sedikit berantakan." Aku mengakui pendapat dari Rose kali ini tanpa berdebat. Rose sudah menyeretku dari kelas setelah terdengar bell. "Harusnya kau mendengar pendapatku, aku tahu kau tidak bisa berada dirumah sendirian" Rose membukakan tutup botol air mineral untuk ku minum. "Aku baik-baik saja, hanya saja.." Seorang pria tinggal dirumahku. "Aku kurang tidur," Rose tidak percaya dengan penjelasanku namun dia tidak akan memaksaku untuk berkata jujur. "Baiklah," Aku memang kurang tidur beberapa hari ini semenjak kedatangannya. Setiap malam aku terlalu waspada di dalam kamarku, menjaga mata dan telingaku dari setiap gerakan di luar kamarku. "Kapan mereka kembali?" Tanya Rose sambil bermain ponsel miliknya. "Mereka bilang besok, " Aku memperhatikan setiap sudut ruangan kantin sekolah. Tidak sepenuh jam makan siang. "Mike tidak akan ke kantin di jam seperti ini," Tanpa sekali pun melihatku, Rose, sudah mampu membuatku tidak bisa bergerak. "Aku tidak sedang mencari Mi-" Sebelum aku bisa menjawab Rose sudah memotong terlebih dahulu. "Tapi di jidatmu tertulis nama, Mike" Tidak mungkin. "Kau sudah gila." Cibirku. Rose tersenyum lebar. Aku kembali ke kelas seperti biasa untuk mengambil beberapa barangku, saat kakiku sampai di ambang pintu ada pemandangan yang mengganggu. Mike sedang berciuman dengan gadis berambut pirang. Aku membiarkan barangku tertinggal di kelas. - "Mam, aku rindu padamu?" Aku berbaring di ranjang kamarku dengan ponsel menempel di telingaku. Setelah mengerjakan beberapa tugas, aku memutuskan untuk menelepon ibu yang sudah melahirkanku. Sudah tiga hari aku tidak mendengar suaranya. "Ibu juga rindu padamu.. Sangat rindu putri kecilku" Aku terkekeh geli mendengarnya. Sungguh ini bukan gaya kami berdua dalam mengepresikan rasa sayang. "Sorry.. Itu terdengar sedikit-" "Menjijikan?" Dia sudah terlebih dahulu mengatakannya. "Bukan aku yang bilang ya.. ?" Aku tertawa bersamanya. Sepertinya Ibuku sangat bahagia. Kami mengobrol beberapa menit kemudian dengan obrolan yang tidak begitu jelas. Aku tidak mementingkan dimana letak pembicaraan kita, hanya saja aku sudah merasa cukup hanya dengan mendengar suaranya yang berbeda-sangat bahagia. "Apa James baik?" Tanya Ibu pelan. Dia tahu aku sedikit terganggu dengan kehadiran orang baru di rumah. Namun dia tidak bisa berbuat banyak untuk memberiku kenyamanan disaat dia juga harus percaya pada suami barunya. "Well-.. Sebenarnya.. kami tidak banyak berinteraksi." Jawabku pelan. "Dia selalu pergi pagi sekali dan pulang terlambat, aku tidak tahu apa yang di kerjakannya" Empat hari sudah dia tinggal bersamaku dan selama itu aku tidak pernah bertemu lagi dengannya. Saat aku turun ke lantai bawah untuk sarapan hanya tersisa bekas sarapannya yang berantakan di meja makan-ceceran s**u. "Mom, apa Mack bilang sesuatu soal James?" Rasa penasaranku kembali tumbuh. "Soal pekerjaannya, mungkin?" "Mack bilang jika James bekerja tidak penting" Itu jawaban tidak memberi jawaban atas rasa penasaranku. "Sayang, Ibu harus menutup teleponnya ada seseorang yang mengetuk pintu" "Oke. Mom." Sambungan telepon antara kami terputus. Aku rasa perutku sedikit berbunyi setelah berbicara dengan Ibuku. Maka kuputuskan untuk turun ke bawah mencari makanan di lemari es yang nyatanya tidak akan menemukan apa-apa selain sereal dan s**u. Aku tidak menyukai makanan seperti ini selain di pagi hari. Aku harus mencari makanan di luar sana. "Kau bisa memasak?" Tanya seseorang dari belakang. Aku yang tidak punya riwayat sakit jantung akan langsung terkena serangan jantung disaat seperti ini. Demi tuhan, aku sangat terkejut dengan kedatangannya secara mendadak di belakangku. "Kau membuatku takut" Bisikku pelan mengatur napasku yang tidak begitu baik. "Aku bisa mati!" Aku bersandar pada Wastafel untuk mencegah jatuh karena terlalu lemas untuk berdiri tegak. "Tapi kau tidak mati kan?" Dia meletakan beberapa bahan makanan di atas meja. "Buatlah sesuatu, aku hanya bisa membeli ini" Di dalam tas belanjaannya hanya ada beberapa bahan untuk membuat soup, itu juga masih kurang. Tidak ada daging hanya telur. "Aku mandi dulu." Dan begitu saja interaksi kami setelah empat hari. Tidak ada yang menarik hanya aku yang harus memasak. Itu bukan pekerjaan berat hanya saja aku tidak yakin apa makanannya akan enak? Atau mungkin layak di makan. Aku termasuk gadis yang tidak baik di dapur untuk mencoba hal yang rumit. Aku lebih suka hal yang mudah dilakukan dari pada mempersulit diri sendiri, selagi ada restouran yang buka dua puluh empat jam, aku tidak akan memusingkannya. Mom, dia sendiri tidak pernah meributkan keenggananku untuk tidak terlibat di dalam dapur. "Sudah selesai?" Tanya James dari ambang dapur. "Sepertinya gas di rumah ini habis, kita pesen Pizza saja" Usulku. James mengerutkan keningnya. Aku memang tidak berbuat banyak di dapur, hanya bergerak kesana kemari sambil merenungkan alasan apa yang akan kuberikan pada James. "Biar aku yang bayar" Aku segera ke ruang tamu untuk memesan Pizza. James mengikutiku dari belakang dengan melipat kedua lengannya di d**a. "Kau tidak bisa memasak?" Tanyanya. Aku bisa merasakan jika dia menyeringai dari belakang punggungku. "Aku belum mahir saja." Aku yakin dia masih menertawakan kelemahanku. "Lain kali ku tunjukkan masakanku yang akan membuatmu tersenyum seharian" Aku berbalik padanya dengan berkacak pinggang. "Ku tunggu, nona kecil!" Bisiknya Kami masih saling berhadapan untuk beberapa saat sampai terdengar bell rumahku berbunyi. Apa Pizza kami sudah datang? Apa ini tidak terlalu cepat? "Biar aku saja." - Diam. Menakutkan. Pizza yang mulai dingin diatas meja. Aku duduk di sudut sofa sendirian. James tampak bosan dan lapar bersandar di dinding, di sebelahku. Rose dan Amber memandang kami secara bergantian di sofa depan kami. Sebenarnya, Rose yang memelototiku dan memicingkan matanya pada James. Hanya Amber saja yang diam-diam tersenyum pada James. "Aku lapar.. " Desah James. Aku juga. Tapi situasi kita tidak memungkinkan untuk makan tanpa menjelaskan pada mereka dulu. "Harper, kau tidak mau ke kamar?" Pertanyaan Rose yang bermakna perintah saat ini. "Aku sungguh-sungguh lapar, jika kalian ingin tahu tentangku. Cepatlah.. " James duduk di sampingku secara tiba-tiba. Rose dan Amber pasti berpikiran macam-macam setelah ini. "Kau-?" "James, paman dari gadis yang tidak bisa memasak ini." Penjelasan James membuatku malu. "James, kau ber-" "Teruskanlah bergossip, akum mau makan sekarang" Dia mengambil sepotong Pizza berukuran besar lalu membawanya pergi. Mungkin ke kamarnya. "Harper Grace, jelaskan sekarang pada kami?" Perintah Rose kejam. "O-Oke.. ikut aku?" Aku membawa mereka kekamarku. - "Sebenarnya.. Pamanmu itu sangat oke," Bisik Amber kemudian. Mataku berputar secara tidak sengaja setelah mendengarnya. "Rose, kau setuju denganku? Tanya Amber pada Rose yang sedang menyelesaikan tugas terakhirnya. Dua bulan lagi kami akan lulus dari sekolah ini dan memasuki dunia kuliah. Aku yang sedang minum air mineral langsung tersedak kala, Rose, Menjawab. "Aku rasa, Mike, juga kalah bersaing dengan pamanmu itu. Dia.. HOT!" "Kalian sudah gila," Ucapku tertawa. "James sangat misterius dan sedikit agak.. aneh" "Aku tidak peduli selama dia bisa membuatku teriak di ranjang" Cekikikan Amber yang di ikuti Rose. "Harper, kau tidak merasa panas saat harus satu ruangan dengannya?" Aku menggeleng tidak mengerti. "Kau aneh!" Tuduh Amber padaku. " Aku saja yang baru pertama kali bertemu bisa merasakan jika pamanmu itu menujukkan kekuasaannya sebagai ahli seks atau dominan di tempat tidur." Aku rasa mulutku terbuka bersama Rose. Diantara kita bertiga, hanya Amber yang sudah melakukannya. Jadi aku tidak punya alasan untuk mematahkan pendapat Amber mengenai James. Obrolan kami cepat berubah saat melihat Mike berjalan kearah meja kami. "Aku tidak yakin dia kesini, kecuali ada gadis seksi diantara kita." Bisik Amber. "Aku rasa aku cukup seksi." Timpal Rose. Aku mengerutkan keningku mendengar pendapat gila mereka berdua. Apa sih yang membuat mereka berpikir gila di saat aku diam-diam melirik Mike yang semakin mendekat pada meja kami. Senyum Mike yang sepanjang perjalanan membuatku salah tingkah di tempat dudukku. "Harper, apa pantatmu sakit?" Aku membulatkan mataku. "Jadi diam dan tenanglah! Jangan tunjukkan kalau kau ingin Mike mengambil keperawananmu itu?" Rose bahkan tidak repot-repot menatapku setelah mengatakan itu. Sialan.Sialan.Sialan. Mike sudah berdiri di depan meja kami. "Selamat datang di meja kami" Aku menendang kaki Amber yang mencoba bersikap ramah namun memalukan. Amber meringis. "Kalian tidak apa-apa?" Mike sepertinya merasakan keanehan pada kami. Ayolah ini kejadian cukup langka jika Mike menyambangi kami. Dua orang populer di sekolah ini yang jarang berinteraksi satu sama lain, terlihat mengobrol. "Well, cukup baik sih.. Tapi rasanya.. Harper, dia sedikit panas" Aku menghela napas pelan untuk menahan teriakkanku pada mereka berdua. Mike langsung berbalik kearahku, memperhatikan wajahku teliti. "Kau tidak apa-apa?" Dia mencodongkan tubuhnya ke arahku. "A-Aku.. B-Baikk ssekali.. " Sedikit tergagap. Memalukan Harper Grace, jeritku dalam hati. Dimana sikap tenangmu selama ini? "Kau yakin? Wajahmu sedikit merah" Sebelum tangannya berhasil menyentuh pipiku yang panas, aku sudah mundur terlebih dahulu. Mike sedikit kecewa dengan tingkahku yang menjauh darinya, tapi dia dengan cepat berubah. Tersenyum lembut padaku. "Aku ingin memberikan ini, sepertinya kau meninggalkan ini di kelas kemarin." Mike membuka tas rangselnya lalu mengambil beberapa buku milikku yang ketinggalan di kelas. Bukan ketinggalan tapi aku sengaja meninggalkannya. "Perhatian sekali," Bisik Rose tidak mendongak sedikitpun dari hadapan bukunya. Aku meringis. "Tterima kkasih?" Aku mengambil buku milikku dari tangan Mike. "Sama-sama." Senyum Mike membuatku pusing. "Aku harus bertemu dengan temanku, sampai nant." Dia berbalik dan pergi menjauh dari kami tanpa melihat ke belakang. "Seperti itu saja?" Tanya Amber tidak percaya. "C'mom Harper? Kau ini gadis paling populer di sekolah ini dan kota. Bertindaklah sedikit gila" Jelas Amber. "Carilah pemuda yang bertindak berani dan jangan terus menunggunya yang sepertinya hanya ingin menggodamu saja." Aku diam. Karena memang ada benarnya apa yang dikatakan Amber. "Maaf? Aku sedikit keterlaluan" Amber menunduk tidak berani melihat kearahku. "Aku tidak bermak-" "Kau memang benar, aku memang harus keluar dari zona amanku" Aku tersenyum. "Terima kasih, kau memang sahabat terbaikku" Aku merangkul bahu Amber. "Hei!" Rose berusaha memisahkanku."Aku yang sahabat terbaikmu" Aku mendengus geli. "Kalian sahabat terbaikku." Aku merangkul mereka berdua. Tidak peduli dengan beberapa pasang mata memperhatikan kami. Disaat seperti ini jangan pedulikan pandangan orang. - "Apa harus menyambut mereka seperti ini?" Tanya James cemberut melihatku. Aku tidak mempedulikannya. Malam ini, Ibu dan suaminya pulang dari acara bulan madunya. Maka aku sudah menyiapkan beberapa makanan yang kubeli di restouran kesukaan Ibuku, aku tidak tahu makanan kesukaan Mack. Tapi kalau dia memang benar mencintai Ibuku secara tulus, dia akan ikut makan meski makanan itu bukan seleranya. Well, kecuali memang dia lapar. "Seharusnya kita makan makanan seperti ini setiap hari" Keluh James melihat makanan enak di atas meja makan. "Diamlah!" Bentakku. "Ini tidak adil" "Jika kau tidak diam, pergilah dari sini dan lakukan apapun yang kau suka" Aku menatap tajam padanya. "Kau seksi jika sedang kesal." Bisiknya pelan. Aku menelan ludah, apa maksudnya coba? Ingin menggodaku saja? Aku pura-pura merasa tidak terganggu dengan kehadirannya. Dia bersandar pada kusen pintu, memperhatikan setiap gerak gerikku dengan sorot mata yang tidak bisa ku artikan. "Kau mengganggu" Aku memunggunginya untuk menyiapkan sesi terakhir dari merapikan meja makan. "Aku tahu." Jawabnya serak. Bisa kurasakan James mendekat kearahku. "Kau panas.. " Telingaku terasa di gigit. "Sangat panas!" Pinggangku terasa panas saat kedua telapak tangannya memegangku erat. "Ingin ku makan" Aku membeku. "Persetan, aku sudah ingin melakukan ini padamu sejak melihatmu" Bisiknya menekan punggungku dengan bagian depan tubuhnya yang keras. "Membuatmu tidak bisa bergerak!" Aku menggigit bibirku berusaha menahan suara aneh yang akan keluar dari mulutku. Leherku terasa basah dan kehangatan aneh tiba-tiba menyebar keseluruh tubuhku saat telapak tangannya mengusap kulit dibawah bagian p******a kiriku. Oh My Mind! Seluruh bagian tubuhku bersandar pada dadanya. "S-Stop.. A-Aku.. " "Aku ingin menjilatmu, Harper Grace!" Sesuatu yang keras menusuk bagian atas pinggangku. "f**k!" Aku tidak menyadari jika punggungku sudah menempel di lemari es dengan tekanan sangat kuat, bahkan bibirku terasa sakit-gigit-hisap-gigit-hisaplagi. Ciuman pertamaku tidak selembut yang kubayangkan melainkan terdesak seperti seorang primitif. Tapi jujur, aku tidak peduli sama sekali. "Angkat kedua tanganmu." Perintah suara serak dan mendesak. Aku mengangkat kedua tangaku keatas dengan patuh. Tuhan sebenarnya apa yang terjadi? Tiba-tiba saja aku merasa payudaraku menggantung dengan bebasnya. Tunggu kemana Bra ku? "Sialan sangat indah!" Sebelum aku bisa mengerti maksud dari perkataannya. Payudaraku terasa di hisap. Dan itu sudah cukup membuatku tidak ingat apa-apa lagi. - Kita harus berhenti. Telepon terus berdering dari tadi. Pintu rumahku terus di gedor. Dan aku tahu itu sebagai pemberitahu bahwa Ibu dan Mack kecelakaan pesawat dan sudah di pastikan tidak ada yang selamat sama sekali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD