ADA beberapa persiapan yang harus dilakukan untuk kelancaran acara pernikahan nanti. Salah satunya yaitu fitting baju. Ini adalah kali ketiganya aku dan Hugo melakukan kegiatan tersebut dan fitting hari ini merupakan fitting terakhir untuk memastikan bahwa konsep gaun serta jas yang telah direvisi telah sesuai seperti keinginan kami.
Aku mengikuti pegawai butik wanita, sedangkan Hugo mengikuti pegawai butik pria menuju ruang ganti. Napasku tersekat begitu melihat sebuah gaun pernikahan berwarna babyblue yang amat cantik dengan gradasi putih di tepiannya. Bagian bawah gaun tersebut menjuntai lebar hingga ke lantai, bagai sebuah ombak pantai.
"Bagaimana, Nyonya? Apa kau menyukainya?"
Aku tersenyum lebar pada desainer yang merancang gaun tersebut. "Ya! Aku sangat-sangat menyukainya!
"Senang mendengarnya. Silakan, bergantilah."
Aku mengangguk. Dua pegawai wanita membantuku mengenakan gaun pernikahan tersebut, memindahkan dari manekin pada tubuhku. Gaun tersebut cocok di tubuhku dan bahannya pun nyaman, tetapi terasa berat, apalagi saat berjalan.
Begitu gaun melekat sempurna di tubuh, aku berdiri depan cermin, lalu berputar untuk melihat penampilanku. Aku benar-benar terpukau dengan desain gaun ini. Rasanya, seperti sedang menjadi seorang putri kerajaan besar.
"Mari, Nyonya, saya bantu." Pegawai wanita itu menjinjing bagian belakang gaun, memudahkanku berjalan. Aku berjalan pelan keluar dari ruang ganti untuk bergabung dengan Hugo yang sepertinya sudah selesai juga.
Hugo yang tampak begitu terkejut melihat penampilanku. Aku juga sama terkejutnya ketika melihat penampilan Hugo. Pria itu tampak lebih berwibawa dengan setelan jas berwarna senada dengan gaunku. Postur tubuh yang tinggi serta ideal, tidak terlalu kurus dan gemuk, amat mendukung penampilan pria itu.
"A-apa ini benar Vanya?"
Aku tertawa geli mendengar pertanyaan konyol Hugo. "Menurutmu?" balasku dengan senyum tertahan.
Hugo tersenyum penuh arti. Pria itu tak henti-hentinya memandangku dengan kagum. "Rasanya, aku ingin meresmikanmu sekarang juga, Vanya," ujarnya seraya menangkup kedua pipiku.
"Jangan berlebihan!" Aku meraih kedua tangan Hugo yang semula berada di pipiku, lalu menggenggamnya dengan erat. Pandanganku terpusat pada kedua mata Hugo. Mata yang diam-diam menawarkan ketenangan.
Hugo merapatkan posisi denganku. Ujung kaki kami bahkan sampai bersentuhan. Hal itu membuatku menelan ludah dengan berat. Aku menunduk, tak sanggup membalas tatapan Hugo. Jantungku berdegup kencang saat sebelah tangan Hugo menggapai satu sisi wajahku. Tanpa perintah, aku sedikit menelengkan wajah ke kanan dengan dua mata yang perlahan memejam. Sentuhan lembut nan hangat menyapa bibirku beberapa saat kemudian. Gerakan lembut di bibir menguji hasrat dalam diri. Hugo menciumku tanpa memedulikan keberadaan pegawai butik serta CCTV di ruangan. Namun, sebenarnya aku tidak terlalu memedulikannya juga.
Sentuhan bibir Hugo merangsang diriku untuk membalas perbuatan pria itu. Kami saling menyesap bibir satu sama lain dengan penuh kelembutan, menjamah kembali kenikmatan yang telah lama hiatus. Ya, ini bukan ciuman pertama kami karena kami sudah pernah melakukannya sebelumnya, tetapi bukan di tempat umum seperti sekarang.
Hugo mengurai peraduan mesra bibir kami untuk meladeni ponsel yang berdering nyaring. Aku mengulum bibir, membersihkan jejak Hugo yang tersisa di sana.
"Saya ke sana sekarang." Hugo memasukkan ponsel ke saku celana. Pria itu lantas menatapku. "Maaf, Vanya. Aku ... harus pergi sekarang. Asistenku baru saja mengabari kalau pimpinan pusat datang berkunjung ke kantor," paparnya dengan raut bersalah.
Bukannya marah atau kecewa, aku justru tersenyum. Hal seperti ini sudah sering terjadi yang mana Hugo tiba-tiba harus pergi untuk urusan pekerjaan saat kami sedang menghabiskan waktu berdua. Di awal hubungan kami, aku sempat kesal dan tidak terima. Namun, seiring berjalannya waktu, aku pun menyadari bahwa Hugo seorang pekerja keras. Sifat itu juga yang membuatnya berkesempatan mengemban tanggung jawab lebih besar di lingkungan kerjanya. Aku juga percaya, Hugo melakukannya dengan tujuan yang jelas, mengusahakan kehidupan yang mapan demi masa depannya bersamaku maupun keluarga yang akan kami bina nanti. Walaupun kenyataannya, kami berdua sama-sama mengusahakan kehidupan mapan dengan jalur berbeda.
"Tidak apa-apa, Hugo. Biar aku yang mengurus sisanya," kataku, berusaha menenangkan Hugo.
"Terima kasih selalu mengerti aku, Vanya."
Aku membalas dengan senyuman. Setelahnya, Hugo kembali ke ruang ganti untuk mengganti setelannya seperti semula, celana jogger krem dengan atasan turtleneck hitam.
"Biar kutelepon asisten untuk mengantarmu pulang."
"Tidak perlu, Hugo," cegahku cepat. "Lagipula, setelah dari sini, aku ingin mampir ke mal."
Hugo mengembuskan napas berat. "Maaf, tidak bisa menemanimu ke sana."
"Aku bisa ke sana sendiri, Hugo."
"Seharusnya, aku bisa benar-benar memberikan waktu khusus untukmu."
"Sudahlah, Hugo. Jangan terlalu banyak minta maaf atau menyesal. Aku muak mendengarnya. Pergilah, mereka pasti sudah menunggumu."
Hugo mengangguk. Pria itu menarik tubuhku mendekat, membawaku dalam dekap hangat. Aku membalas dekapan tersebut, menghirup aroma tubuh Hugo sebanyak mungkin agar bisa aku ingat terus sebelum kami berpisah.
"Jaga dirimu, ya. Jika terjadi sesuatu—"
"Aku pasti langsung mengabarimu," selaku. "You're first in my mind, Hugo."
Hugo tersenyum manis dan secepat kilat, mencuri kesempatan mengecup bibirku sebelum keluar dari ruangan.
"Hugo!" desisku gemas dengan senyum tertahan.
Sesuai janji, aku melanjutkan urusan dengan butik hari ini. Tidak perlu banyak perubahan dari gaun serta jas yang telah dicoba. Semuanya sudah sesuai dengan konsep. Jadi, aku bisa segera pergi dari tempat itu.
Keluar dari butik, aku melanjutkan perjalanan menuju mal dengan berjalan kaki. Memang, butik yang aku dan Hugo pilih letaknya strategis, salah satunya dekat dengan mal.
Tujuanku datang ke mal adalah ingin membeli beberapa keperluan lukis dan tulis di stasionary store. Selain itu, aku juga ingin mencari inspirasi untuk karya lukisku berikutnya. Sudah beberapa hari ini, ideku membeku saking sibuknya mengurus acara istimewaku dan Hugo.
Begitu mendapatkan peralatan yang aku butuhkan, aku melanjutkan pencarian inspirasi dengan pergi ke foodcourt mal. Kebetulan sudah waktunya jam makan siang juga.
"Oh, sepertinya kita pernah bertemu, Nyonya."
Aku mendongak untuk mencari tahu siapa yang baru saja berbicara. Kedua mataku terbuka lebar begitu menyadari siapa orang tersebut. Aku segera berdiri menyambut. "Selamat siang, Tuan Jovan," sapaku sambil tersenyum canggung karena tidak menyangka akan bertemu dengan vendor acara istimewaku dan Hugo.
"Kebetulan sekali, ya, kita bertemu di sini."
"Iya. Silakan duduk."
"Ya, ya. Terima kasih."
Aku baru mendaratkan p****t di kursi setelah Jovan duduk di kursi seberangku. "Sudah pesan?"
"Ah, kebetulan aku baru saja selesai makan. Ketika akan pergi, aku melihat seseorang yang ... menarik perhatian. Jadi, aku memutuskan untuk menghampirinya terlebih dahulu."
Aku menanggapi perkataan Jovan dengan senyum canggung. 'Menarik perhatian?' batinku. Frasa dari kalimat Jovan entah mengapa mengusik pikiranku. Namun, akhirnya fokusku teralih oleh kedatangan pelayan yang mengantarkan pesananku. Merasa tak enak hati, aku pun menambah pesanan minuman yang sama untuk Jovan meskipun pria itu sempat menolak.
"Terima kasih traktirannya, Nyonya. Omong-omong, di mana Tuan Hugo?"
"Hugo sedang mengurus pekerjaan di kantor. Jadi, aku hanya sendiri di sini."
"Sendiri? Astaga! Bagaimana bisa pria itu membiarkan wanitanya sendirian di tempat seramai ini, padahal kalian akan menikah sebentar lagi?"
Aku tertawa renyah menanggapi gerutuan Jovan. Pria itu sudah seperti teman akrab Hugo saja. "Sebenarnya, kami memang sudah berniat pergi bersama, tapi Hugo terpaksa harus pergi," terangku, meluruskan situasi.
Jovan manggut-manggut. "Calonmu orang sibuk ternyata, ya."
Aku mengangkat bahu. "Ya ... begitulah. Tapi, aku memahaminya. Toh, aku terkadang juga sibuk ketika Hugo benar-benar ada waktu untuk kami."
"Oh, ya? Kalau boleh tau, apa kesibukanmu?"
"Melukis."
"Wow! Jadi, kau punya galeri pribadi?"
Aku tersenyum tipis, padahal hati bergejolak bahagia ingin menunjukkan prestasiku memiliki galeri lukisan pribadi. "Masih proses," ralatku.
Jovan bertepuk tangan. Senyumnya terkembang lebar. Pria itu tampak begitu bahagia. "Apa kau tidak keberatan jika nanti aku berkunjung saat peresmian galerimu?"
"Tentu saja tidak. Bagaimana mungkin aku menolak kehadiran orang yang telah membantu banyak dalam acaraku dan Hugo."
"Ah, kau terlalu berlebihan."
Aku tertawa kecil sebagai tanggapan.
"Emmm ..., bagaimana kalau kita bertukar kontak?"
Sebelah alisku terangkat mendengar tawaran Jovan.
"Maksudku, untuk memudahkan komunikasi saat membahas acaramu dan Tuan Hugo atau saat kau benar-benar akan mengundangku ke acara peresmian galerimu," papar Jovan. "Aku tidak memaksa. Kau bisa menolaknya jika keberatan, Nyonya Vanya."
Aku tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Entahlah, kemunculan Jovan seperti memberi aura hangat hanya melalui perbincangan seperti ini. Eh, apa yang baru saja kukatakan? Astaga! Sadar, Vanya, sadar!
Perlahan, aku mulai mengeluarkan ponsel dari dalam tas, mengizinkan tukar kontak. Jovan mulai menyebutkan kontaknya, lalu aku menyimpannya di ponsel. Setelah itu, aku menghubungi kontak tersebut melalui pesan singkat.
"Sudah terhubung?" tanyaku, memastikan.
Jovan tersenyum, lalu mengangguk. "Terima kasih, Nyonya. Oh, aku lupa! Aku harus segera pergi! Emmn, terima kasih sekali lagi untuk traktirannya." Pria itu berdiri dan mengangguk hormat padaku.
"Tidak masalah, Tuan."
Jovan kini diam dengan pandangan terpusat ke arahku. Aku yang dipandangi seperti itu pun bingung. Apa yang tengah terjadi pada pria itu?
"Panggil saja Jovan, Vanya. Embel-embel 'tuan-nyonya' seolah-olah membuat kita begitu ... berjarak."
Pernyataan Jovan yang ambigu itu membuatku termangu. Cara bicara pria itu pun entah mengapa lebih serius dan ... dalam. Apa ini? Mengapa ... hatiku tiba-tiba berdenyut?
BERSAMBUNG ....
• • • • •
Follow me on i********: @pe.naka and also this account too @penaka