My Ice Boss – 14

1712 Words
Karena Hidup Harus Terus Berlanjut Ini adalah hari minggu. Bagi Dinni setiap hari minggu akan selalu terasa lebih panjang. Kenapa? karena dia harus melihat wajah Reyhan dari pagi hingga petang. Reyhan baru saja menyuruh Dinni untuk menata ulang lemari pakaian yang menurut Dinni lebih tepat disebut sebagai sebuah kamar. Karena ruangan pakaian Reyhan itu memang adalah sebuah ruangan khusus yang dijadikan sebagai tempat penyimpanan pakaian, sepatu, tas dan segala barang-barang keperluan miliknya. Setelah menghabiskan waktu sekitar 2 jam. Dinni pun akhirnya menyelesaikan pekerjaan itu. Dinni duduk berselonjor sambil menyandarkan punggungnya ke dinding. Tatapan Dinni kini beralih pada kedua kakinya yang terasa perih. Dinni mencopot sepatunya yang memang sudah terasa sempit itu. Bagian belakang pergelangan kakinya bahkan sudah terluka. Dinni mendesah pelan, pantas saja dia merasa begitu kesakitan. “Heh, kamu!” sergah Reyhan dengan suaranya yang terdengar berat. Dinni terkejut dan langsung bangun dengan cepat, tapi karena kakinya mulai kesemutan, Dinni pun oleng dan kembali terjatuh ke lantai. “Mpphh....” Reyhan langsung menutup mulutnya menahan tawa. Walau hanya sesaat, tapi Dinni yakin bahwa Reyhan baru saja menertawakannya. Dinni pun bangun seraya berpegangan pada dinding, lalu menatap Reyhan dengan tatapan sengit. “Anda menertawakan saya?” Reyhan menatap Dinni sekilas. Raut wajah Dinni yang sedang mengambek itu bahkan terlihat lebih lucu lagi. Reyhan sampai harus membuang muka dan berdehem berkali-kali untuk meredakan tawa yang hampir lepas. “Untuk apa juga saya menertawakan kamu, ha!” bentak Reyhan kemudian. Dinni segera memperbaiki posisi berdirinya dan kembali bersikap tahu diri. “Maafkan saya. Apa ada yang bisa saya bantu?” Reyhan menatap tajam. “Ayo ikut dengan saya!” “K-kemana?” Reyhan tidak menjawab dan melangkah pergi. Dinni pun segera menyusul di belakangnya sambil berlari-lari kecil. _ Rupanya Reyhan membawa Dinni ke sebuah pusat perbelanjaan. Seperti biasa Reyhan mengitari deretan toko berkualitas dengan merk tersohor dengan gaya pongahnya. Dia berjalan seraya menunjuk apapun yang menarik perhatiannya dan salah para pelayan di toko itu akan langsung mengambil semua item yang sudah ditunjuk oleh Reyhan. Sementara Dinni hanya mengikutinya dengan wajah linglung. Reyhan mengelilingi pusat perbelanjaan itu dengan sejumlah pasukan khusus yang bertugas membawakan barang belanjaannya. Sebagai member VVIP di pusat perbelanjaan itu, Reyhan memang mendapatkan perlakuan yang sangat spesial. Adegan Reyhan berjalan dengan banyak pelayan di belakangnya itu persis seperti adegan para orang kaya yang sering Dinni lihat saat dia menonton drama Korea. “The real ice prince benar-benar ada di dunia nyata,” bisik Dinni pelan. “Apa kamu bilang!?” Reyhan yang sedang berjalan di depan Dinni tiba-tiba berbalik dan menatap tajam. Deg. Dinni kesulitan mengontrol langkahnya dan hampir saja menubruk Reyhan di depannya. Tatapan Reyhan pun tertuju pada sepatu yang dipakai oleh Dinni. “Sepatu kamu itu kw berapa sih? kenapa bunyinya begitu berisik? Klontang klanting klontang klanting membuat telinga pekak!” bentak Reyhan. Dinni menunduk pelan. Reyhan pun kembali melanjutkan langkahnya. Kali ini Dinni berusaha untuk melangkah sepelan mungkin agar tidak menimbulkan suara, tapi tetap saja. Bahan sepatunya itu memang bukan kualitas bagus dan memiliki alas yang keras. Sepatu itu pun tetap berbunyi nyaring saat menyentuh lantai. Reyhan lagi-lagi menghentikan langkahnya, lalu menghela napas gusar. Tatapannya kini tertuju pada salah satu toko sepatu khusus wanita yang ada di sebelah kanannya. Reyhan berbalik, lalu berkacak pinggang. “Kamu cari sepatu yang baru sana!” Dinni menatap bingung. “M-maksudnya?” “Saya muak mendengar suara sepatu kamu yang menyebalkan itu! jadi sekarang buang sepatu yang kamu pakai itu dan pilih sepatu baru di dalam sana.” Dinni masih menatap linglung. Reyhan pun langsung menatap tajam. “Kamu nggak denger perintah saya! ayo lakukan SEKARAAAANG ...!!!” Bentakan suara Reyhan pun sukses membuat Dinni kocar kacir berlari masuk ke dalam gerai yang menjual sepatu itu. _ Reyhan itu aneh. Itulah kesimpulan yang diambil Dinni setelah beberapa waktu belakangan ini. Reyhan selalu saja melakukan tindakan yang ambigu. Dinni kadang merasa Reyhan sedang melindungi dan merundungnya secara bersamaan. Ketika Dinni menganggap Reyhan sedang berbuat baik padanya, Reyhan selalu mengutarakan alasan yang membuat Dinni sakit hati. Dibalik sikapnya yang terkesan peduli, dia selalu mengakhirinya dengan komentar-komentar pedas yang membuat Dinni mengelus d**a. Selain itu dia pun terkadang juga kembali bersikap menyebalkan. Seperti hari ini, Reyhan kembali kumat menyiksa Dinni dengan berbagai perintah yang melelahkan. “Apa kamu lihat-lihat, ha!?” sergah Reyhan. Dinni terkejut dan segera mengalihkan pandangannya. Saat ini dia sedang disuruh Reyhan menyiapkan segala keperluannya untuk melakukan perjalanan keluar kota. “Hah... cepetan deh, perginya. Biar aku bisa istirahat dari penyiksaan ini,” bisik Dinni dalam hatinya. Reyhan berbalik membelakangi Dinni, lalu menghela napas. Raut wajah sangarnya kini terlihat bingung. Reyhan sendiri juga tidak mengerti kenapa dia selalu terusik jika ada sesuatu yang menganggu Dinni. Apa dia merasa berhutang budi karena Dinni sudah menyelamatkan hidupnya di masa lalu? Apa karena Dinni memang terlihat menyedihkan? Atau, adakah sesuatu yang lain? Reyhan memejamkan matanya, lalu mengangguk pelan. “Oke... aku harus menjaga batasan itu kembali,” batinnya. Dinni sudah selesai mengemas barang-barang Reyhan, lalu menarik retsleting koper itu. “Semuanya sudah siap. Apa mau langsung saya bawakan saja ke mobil?” tanya Dinni. Reyhan berbalik. “Nggak usah, biar nanti sekalian dijemput Pak Maman,” jawab Reyhan.  Dinni mengangguk. Dia menatap Reyhan sekilas seperti hendak berbicara, tapi tidak berani untuk bersuara. “Ada apa?” Reyhan mengangkat dagunya. “S-saya cuma mau tanya... berapa hari anda keluar kota?” tanya Dinni. Reyhan tersenyum sinis mendengar pertanyaan itu. “Kenapa? apa kamu senang kalau saya nggak ada di rumah ini?” Dinni lekas membantah, “Nggak lah. Saya cuma nanya aja, kok.” Reyhan mendekati Dinni, lalu mendorong kepala Dinni dengan jari telunjuknya. “Wajah kamu itu nggak bisa bohong,” ucap Reyhan. “K-karena kalau anda nggak ada, saya jadi bingung mau ngerjain apa. Toh, anda sendiri yang menugaskan saya untuk hanya mengikuti perintah anda saja dan tidak perlu mengerjakan yang lain lagi.” Dinni mengarang alasan yang indah. Reyhan mencibir, lalu menggeleng pelan. “Sejak kapan kamu jadi pintar ngomong seperti itu?” Dinni menyunggingkan senyumnya. Dia sudah membayangkan hari-hari santai tanpa Reyhan. Dia sudah memiliki banyak rencana yang ingin dia lakukan selama Reyhan pergi keluar kota. Dinni sudah tidak sabar ingin merasakan kebebasan dari sosok yang mengerikan itu. “Kenapa kamu senyum-senyum, ha?” bentak Reyhan. Dinni tersadar dan langsung mengkondisikan raut wajahnya. Reyhan menyipitkan matanya menatap Dinni, lalu mengusap-usap dagunya pelan. “Jadi kamu ngerasa bingung mau ngerjain apa karena saya nggak ada?” “I-iya,” jawab Dinni sambil menampilkan raut sedih yang palsu. Reyhan menyembunyikan senyumnya. Dia tidak menduga kalau Dinni sekarang sudah pandai berbohong. Dia berjalan pelan ke balik meja kerjanya, lalu mengambil sesuatu dari dalam laci. “Sebenarnya tadi saya ingin pergi begitu saja,” ucap Reyhan seraya menatap sebuah kertas di tangannya. “Tapi karena kamu merasa sedih dan tidak tahu apa yang akan kamu kerjakan nanti... kamu bisa mengerjakan ini semua.” Reyhan menyeringai sambil menyerahkan kertas itu pada Dinni. Dinni menelan ludah. Dia mengambil kertas itu dengan jari bergetar. Kertas itu ternyata tebal dan terlipat. Ketika Dinni melonggarkan pegangannya, kertas itu langsung memanjang hingga menyentuh lantai. “Itu adalah daftar yang pernah aku buat ketika ingin menyingkirkan dia di masa lalu. Ternyata sekarang ada gunanya juga,” bisik Reyhan dalam hati. “I-ini apa?” Dinni melotot dengan wajah cemas. “Itu adalah daftar tugas yang harus kamu selesaikan sebelum saya kembali.” Reyhan tersenyum penuh kemenangan. “S-semua ini...!?” mata Dinni menjalar melihat daftar tugas yang tiada ujung itu. Reyhan mendekat sambil melipat tangannya di d**a. “Kenapa? katanya kamu sedih karena nggak tahu apa yang harus kamu kerjakan nantinya?” Dinni meringis sambil memejamkan matanya. Bualan bibir manisnya kini berbalik menjadi bumerang. “Harusnya kamu sekarang kamu senang, iya kan?” tanya Reyhan. Dinni menarik bibirnya untuk tersenyum, tapi hatinya kini mulai menjerit. “Tuhan... lepaskan aku dari siksaan iniiiiiiiiii...!” _ Dinni melahap bakso di depannya seperti kesurupan setan lapar. Ini sudah mangkok yang ketiga dan sepertinya masih akan bertambah. Ishaya yang duduk di depannya pun menggeleng heran melihat tingkahnya itu. Dinni terus menancapkan garpunya dengan penuh emosi, lalu mengunyah bakso itu seperti seorang pelahap maut. “Kamu kenapa sih, Din?” tanya Ishaya. “Aku lagi bete,” jawab Dinni dengan mulut terisi penuh. Ishaya menghela napas. “Apa lagi sekarang?” “Bos aku itu aneh banget tau, nggak. Kadang dia itu sok baik, jadi seperti malaikat. Tapi, kadang dia jadi jahat banget kayak iblis.” Dinni menggeleng heran. “Apa jangan-jangan dia berkepribadian ganda?” tanya Ishaya. Dinni terbelalak sambil mengacungkan bakso yang masih menancap di garpunya. “Bener juga. Apa mungkin dia memiliki kelainan itu?” Ishaya melihat kiri-kanan, lalu memajukan wajahnya untuk berbisik pada Dinni. “Apa jangan-jangan dia punya tujuh kepribadian yang berbeda? lalu, kemudian dia berjuang untuk membunuh kepribadian itu satu-persatu?” Dinni mendesah, lalu menatap Ishaya dengan wajah prihatin. “Orang-orang yang overdosis nonton drama Korea ya, model begini,” ledek Dinni. Ishaya mencibir. “Biarin... yang penting bahagia. Eh, tapi ngomong-ngomong kamu udah dapat kabar dari Juan?” Pertanyaan itu membuat gerakan sendok Dinni terhenti. Senyum di wajahnya beringsut surut. Dinni terdiam dengan tatapan kosong. Sekelebat bayangan tentang Juan langsung memenuhi pikirannya.  Ishaya pun mulai jadi merasa bersalah. “Maafin aku ya, Din,” ucapnya lirih. Dinni mengangkat wajahnya. “Nggak apa-apa, kok. Life must go on,” jawabnya. Ishaya berusaha keras menghibur Dinni dengan bacotan konyolnya hingga wajah ceria Dinni kembali terlihat. Mereka sibuk berbicara tentang banyak hal. Sekarang keduanya sedang asyik bergosip tentang sosok Bos Dinni alias Reyhan. Mulut nyinyir Dinni begitu lancar mengungkapkan keburukan majikannya itu. “Wah... kalau aku nggak bakalan betah, Din... kerja di sana.” Ishaya bergidik ngeri. “Aku bertahan juga terpaksa kali, Is. Keadaan kadang memang mengharuskan kita melakukan apa yang nggak kita sukai.” Ishaya mengangguk setuju. “Emang nggak ada ya, sisi positif bos kamu itu?” Dinni menerawang sebentar. “Selain wajahnya yang tampan, kayaknya nggak ada lagi deh.” “Aku penasaran sama sosok bos kamu itu,” ucap Ishaya. “Hmmm... dia itu tinggi, badannya atletis, kulitnya putih bersih gitu. Terus... dia selalu memakai pakaian warna hitam. Oh iya, rambutnya juga selalu rapi mengkilat.” Dinni mencoba mendeskripsikan penampilan Reyhan. Ishaya menelan ludah. Sedari tadi tatapannya tidak lagi fokus pada Dinni yang masih terus berbicara. “Tapi terlepas dari penampilannya yang sempurna, dia itu bener-bener ampas. Nggak ada apa-apanya. Hih... aku ngerasa kasihan sama jodohnya nanti. Betapa malangnya wanita itu mendapatkan pria seperti dia.” Dinni bergidik ngeri. “Din... apa mungkin Bos kamu itu mempunyai tatapan yang sadis?” tanya Ishaya setengah berbisik. Dinni mengangguk cepat. “Bener banget!” “Apa dia mempunyai kebiasaan mengusap-usap dagunya?” tanya Ishaya lagi. “I-iya, dia emang sering seperti itu, tapi kenapa kamu bisa tahu, Is?” Ishaya menelan ludah. Bibir gadis itu kini berubah pucat. Pupil matanya bergetar menatap ke arah lain. “Kenapa Is...? kenapa kamu bisa tahu?” Dinni mengulangi pertanyaannya. Bukannya menjawab, Ishaya malah mengambil handphone dan tasnya, kemudian langsung kabur dari sana. “Kamu kenapa, Is?” Dinni menatap bingung. Tak lama kemudian dia merasakan sebuah sentuhan maha dingin di pundaknya. Dia tercekat dan bergidik ngeri seiring gerakan lehernya yang menoleh pelan. Glek. “P-Pak Reyhan....” Dinni menelan ludah. Semua persendiannya langsung terasa lemah.  Reyhan mencengkeram bahu Dinni lebih kuat. Bibirnya tersenyum, namun sorot matanya terlihat menakutkan. Dia mendekatkan wajahnya, lalu berbisik lirih ke telinga Dinni. “Ayo ikut saya sekarang....” _ Bersambung...   HALO SEMUANYA. APA KALIAN MASIH SUKA DENGAN KISAH DINNY DAN REYHAN. SEMOGA KALIAN SUKA YA!  SEE YOU ON NEXT EPISODE
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD